gaulislam edisi 576/tahun ke-12 (27 Shafar 1440 H/ 5 November 2018)
Jujur aja nih, saat menuliskan judul untuk edisi kali ini, inspirasinya adalah dari masa lalu. Lho? Iya. Sekira saya kelas 2 atau kelas 3 SMK (kalo dihitung dari tahun sekarang ya 27 or 28 tahun yang lalu—ih, jadi ketahuan deh usia yang nulis). Saya bermain ke tempat kos teman saya (sesama anak kos tapi berbeda daerah asal). Ketika ngobrolin soal cinta dan pacaran, teman saya ini cerita bahwa ketika dia SMP, sempat ngumpulin teman senasib sepenanggungan yang punya pengalaman ditolak cintanya sama perempuan. Halah!
Sebenarnya itu hal yang biasa, ya. Tetapi menjadi unik bagi saya waktu itu adalah dia bikin gang alias kelompok. Nama gang-nya, ReTAC, yakni akronim dari Remaja Tanpa Amarah dan Cinta. Ciee… saya waktu itu tertawa lepas karena teman saya dan kawan-kawannya kok ya kepikiran bikin kelompok begituan. Tapi, ya sudahlah. Itu masa remaja yang sudah tertinggal jauh di belakang masa lalu kita.
Nah, kenapa pake judul ini? Saya ingin mengambilnya bukan karena tema tulisan gaulislam edisi kali soal cinta dan pacaran. Nggak untuk kali ini, entah esok nanti. Hehe.. bener. Sekadar menggunakan judulnya untuk topik yang lain. Ada kemiripan sih, yakni soal amarah dan cinta. Tetapi… ini soal harga diri sebagai muslim, lho. Apa itu?
Jadi begini, kalo untuk masalah cinta sama perempuan tapi tak berbalas, dan gara-gara itu kemudian kamu putus asa dan baper, bahkan bikin perkumpulan yang isinya cowok-cowok ngenes, itu soal biasa, Bro. Beneran. Nah, tema buletin kita pekan ini, jauh lebih serius.
Mau tahu? Sebelum ngasih jawaban langsung, saya mau tanya, apakah kamu tidak merasa cinta kepada Islam? Jika jawabanmu cinta, tentu kamu kudu nunjukkin kecintaan kamu kepada Islam.
Pertanyaan berikutnya: apakah kamu marah ketika Islam dilecehkan atau dihina? Jika kamu memiliki amarah alias rasa marah, mestinya akan melakukan pembelaan terhadap Islam. Bener apa betul?
So, pembahasan kita kali ini erat kaitannya dengan kecintaan kita kepada Islam. Eh, kenapa sih selalu Islam yang kita bahas? Idih, memangnya kamu nggak suka ya? Eit, bukan begitu kayaknya. Tapi mungkin kamu ngerasa kok selalu menjadikan Islam sebagai tolok ukur. Iya, memang harus demikian kalo kita sebagai muslim. Harus mau diatur sama Islam, mau ngikut apa kata Islam. Istilahnya, sami’na wa atho’na alias kami dengar dan kami taat. Bukan sami’na wa pikir-pikirna. Waduh, kagak bener itu sih, dengar tapi masih mikir-mikir. Apalagi kalo sami’na wa ‘ashaina alias kami dengar dan kami abaikan (baca: bermaksiat). Bahaya bingitz!
Marah dan cinta karena Allah
Sobat gaulislam, benci dan cinta itu karena Allah. Kita benci yang ditunjukkan dengan rasa marah ketika ada pihak yang melecehkan Islam dan kaum muslimin. Memang itu sepantasnya yang harus kita lakukan. Jangan diem bae. Bengong en ngacay. Di mana harga diri kita ketika Islam dan kaum muslimin dilecehkan tapi kita tak juga marah?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam sudah mencontohkan. Kalo untuk masalah pribadi beliau, tak akan marah. Tapi kalo pelecehan dan penghinaan itu kepada perkara agama, beliau akan marah.
Sebagaimana yang dituturkan Aisyah radhiallahu ‘anha (yang artinya), “Demi Allah, tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membalas sesuatu yang ditujukan kepada dirinya, kecuali ketika kehormatan agama Allah Ta’ala dilanggar, maka Beliau pun marah semata-mata karena Allah.” (HR Bukhari)
Itu sebabnya, aneh aja kalo kita ngakunya muslim yang taat, tetapi malah diam saja ketika agama kita dihina dan dilecehkan oleh orang-orang kafir atau oleh orang-orang munafik. Misalnya nih ya, Islam dituduh sebagai agama kekerasan, mengajarkan terorisme, kaum muslimin intoleran, kaum muslimin itu radikal, maka seharusnya kita marah besar. Tunjukkan kemarahan itu dengan membuat tulisan yang melawan tuduhan tersebut. Bila perlu turun ke jalan untuk menunjukkan bahwa kaum muslimin masih ada yang peduli dan melakukan pembelaan.
Kalo diam saja, berarti kita terkategori nggak punya harga diri. Lagian aneh aja, slogan yang sering mengudara adalah NKRI Harga Mati. Tapi saat urusan agama Islam dilecehkan kaum muslimin nggak boleh marah. Malah diadem-ademin dengan alasan kalo marah bukan karakter umat Islam. Hadeuuh… kalo begitu sama aja bilang, “NKRI Harga Mati, Syariat Harga Nego”. Nggak asyik banget, Bro en Sis.
Padahal, seharusnya sebagai muslim itu menunjukkan kemuliaan ajaran Islam, bangga dengan Islam, senang jika Islam berjaya. Bahagia bila banyak kaum muslimin sejahtera. Kemenangan Islam adalah kemenangan bagi kaum muslimin juga.
Masalahnya nih, akhir-akhir ini kita dihadapkan pada persoalan provokasi. Udah pada tahu kan masalahnya? Iya, Banser (Barisan Ansor Serbaguna) NU diadu ama HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Banser sering melakukan persekusi terhadap ulama tertentu dengan cara membubarkan pengajiannya. Ulama yang bersangkutan dianggap bermasalah, hanya karena tidak membela rezim penguasa saat ini.
Kalo udah diadu kayak begitu, kita jadi ribut nggak karuan. Bagi yang bingung malah nggak jelas. Mau bela siapa. Padahal, kalo imannya benar pastilah membela Islam. Membela akidah dan syariat Islam.
Tapi bagi orang munafik, mereka akan membela kepentingan musuh-musuh Islam dan menghina kaum muslimin. Lihatlah orang-orang liberal, ngakunya saja muslim tapi mereka membenci Islam. Ada di barisan mana kita?
Jangan nifaq, Bro!
Do you know nifaq? Yes, nifaq menurut syara’ itu artinya menampakkan keislaman dan kebaikan tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Ini bahaya banget karena orang bisa ketipu dengan sikap orang yang kayak gini.
Contohnya, ada orang yang menampakkan diri bahwa dirinya rajin shalat padahal sebenarnya dia malas. Hanya rajin melakukan shalat ketika di hadapan orang lain. Tapi kalo lagi sendiri di rumah nggak pernah melakukan shalat.
Beda ama riya’, karena biasanya kalo riya’ itu dia bisa jadi rajin shalat juga di rumah ketika sendiri, cuma ketika di hadapan orang lain ingin dipuji dan mendapat simpati. Tapi kalo nifaq (orangnya disebut munafiq), memang sengaja menutupi kekufuran dan kejahatan dengan menampakkan keislaman di hadapan orang lain. Wah, nggak banget deh buat kita sikap seperti ini. Jauhi yuk!
Orang yang munafik itu seperti bermuka dua alias hipokrit. Misalnya nih, kalo shalat dia itu merasa terpaksa atau malas. Karena memang secara fisik ia merasa ingin berbuat baik, tapi hatinya nggak gitu. Jadi emang nggak klop. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS an-Nisaa’ [4]: 142)
Dari ayat ini bisa kita pahami bahwa memang kalo orang yang munafik itu seolah-olah akan menipu Allah Ta’ala dengan apa yang diperbuatnya. Dulu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam ada beberapa orang munafik yang kalo di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabatnya seperti taat. Mereka shalat juga bahkan ikut bersama jamaah kaum muslimin. Bisanya sih rada-rada malas gitu. Soalnya, hati dan pikiran mereka nggak taat sama Allah Ta’ala sebagaimana orang yang beriman. Itu namanya nipu. Tapi kagak mungkin nipu Allah Ta’ala. Iya kan?
Oya, kamu perlu tahu juga bahwa sifat nifaq ini ada dua jenis lho. Pertama, nifaq secara i’tiqadi (keyakinan) dan kedua nifaq secara amali alias perbuatan.
Untuk nifaq i’tiqadi atau keyakinan ini ada empat macam nih: Pertama, mendustakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam atau mendustakan sebagaian dari apa yang beliau bawa. Kedua, membenci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam atau membenci sebagian apa yang beliau bawa. Ketiga, merasa gembira dengan kemunduran agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Keempat, tidak senang dengan kemenangan agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.
Waduh, kalo ada satu atau malah keempat macam dari nifaq secara keyakinan ini, buru-buru bertobat, deh. Jangan sampe telat dan ajal datang menjemput kita. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari sifat nifaq secara keyakinan ini, karena ini termasuk nifaq yang berat banget. Bisa menjerumuskan kepada kekufuran. Naudzubillahi mindzalik.
Kalo nifaq perbuatan tuh kayak gini, misalnya kamu beribadah tapi malas dan nggak bergairah. Hanya merasa semangat (itu pun sedikit), yakni ketika bareng jamaah lainnya dengan harapan ingin dipuji sebagai bagian dari kaum muslimin. Duh, pokoknya ati-ati deh, jangan sampe sifat ini ngendon di pikiran dan perasaan kita semua. Setuju, kan?
Terus gimana dong kalo kita ingin tahu bahwa ada orang yang diindikasikan sebagai orang munafik di sekitar kita?
Kalem Bro, ini ada hadis yang bisa kita jadikan rujukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya), “Ada tiga perkara, barangsiapa yang memilikinya maka ia tergolong munafik walaupun ia puasa, shalat, dan beranggapan dirinya sebagai seorang muslim. Jika bicara ia dusta, jika berjanji tidak menepati, jika diberi amanah ia berkhianat.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Dalam riwayat yang lain, yakni dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya), “Ada empat perkara, barangsiapa yang memilikinya jadilah ia seorang munafik dan barangsiapa yang memiliki satu bagian darinya maka ia memiliki satu sifat munafik sampai ia meninggalkannya. Jika berbicara ia dusta, jika berjanji ia tidak menepati, jika diberi amanah ia berkhianat, dan jika bertengkar ia curang.” (HR Bukhari dan Muslim)
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.” (QS al-Baqarah [2]: 204)
Aduh berat juga ya? Ini maksudnya selalu, lho. Kalo kebetulan kita berbohong sekali, belum termasuk. Tapi kalo selalu berbohong dalam perkataan kita, ati-ati deh. Buang kebiasaan tersebut. Juga kalo misalnya kamu tidak menepati janji sekali atau dua kali, tapi dalam janji lainnya menepati hal itu belum termasuk munafik, hanya saja statusnya udah masuk “waspada” kali ye? Semoga kita dihindarkan dari sifat sedemikian.
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Sifat nifaq ini bukan cuma dalam muamalah alias berurusan dengan sesama manusia, tapi juga bisa dimasukkan ke dalam hal ibadah kepada Allah Ta’ala. Gimana pun juga, niat ibadah kita nggak bisa dicampur dengan kedustaan dalam ucapan, juga dalam berkhianat, dan tidak amanah. Ibadah kepada Allah Ta’ala memerlukan kejujuran dan niat tulus, serta senantiasa amanah dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dari Allah Ta’ala. Itulah mengapa, sifat nifaq ini yang bisa bikin rusak keikhlasan kita kepada Allah Ta’ala.
Nah, kalo memang kita punya rasa cinta kepada Islam, tunjukkin tuh kecintaan kita dengan sungguh-sungguh. Kalo memang punya rasa marah, maka seharusnya kita marah ketika Islam dilecehkan atau dihina oleh pihak musuh atau oleh kalangan orang-orang munafik. Orang munafik itu ibarat bungkusnya doang ngaku-ngaku muslim, tapi jiwa dan pikirannya membenci Islam.
So, jangan mau jadi remaja tanpa amarah dan cinta. Remaja yang nggak marah ketika Islam dihina, remaja yang nggak nunjukkin kecintaan kepada Islam. Duh, jangan sampe deh. Sebaliknya, jadilah remaja yang memiliki rasa marah ketika agamanya dihina, dan remaja yang sangat cinta kepada Islam sebagai agamanya. Harusnya, memang begitu. [O. Solihin | IG @osolihin]