Wednesday, 4 December 2024, 00:55

gaulislam edisi 359/tahun ke-7 (13 Dzhulqa’idah 1435 H/ 8 September 2014)

 

Wuuuiiih, judulnya udah kayak nyaingin Hijabers in Love aja ya? Tahu kan yang saya maksud? Ya itu emang jadi salah satu alasan kenapa tulisan ini dibuat. Alasan lainnya, tentu aja karena kami di gaulislam peduli ama temen-temen rohis (kerohanian Islam).

Ngeliat maraknya kegiatan rohis sebenernya bikin hati seneng. Para pemuda dan pemudi Islam bahu membahu membangun keshalehan. Sejumlah pakar pendidikan bahkan menganggap rohis sebagai kegiatan ekstrakurikuler yang terbukti ampuh meredam tawuran, narkoba dan kenakalan remaja lainnya. Anak rohis lebih doyan ngumpul di masjid en ngadain kajian fiqih dibanding dugem. Anak rohis lebih doyan ngomongin isi al-Quran dibanding ngomongin ‘isi’ sekolah lain. Nah, output = input kan? Kalo yang dimasukin ke otak informasi yang positif, so hasilnya juga positif. Artinya, kalo ngumpul aja di masjid, yang dibahas tentang isi al-Quran, maka harusnya anak rohis dianggep paling ngerti tentang agama. Anak rohis itu tingkah lakunya kudu lebih baik dari yang awam (baca: bukan aktivis rohis). Makanya pas ada isu bahwa rohis itu sarang teroris, waduh, rasanya bikin mangkel setengah hidup. Tuduhan yang luar biasa keji, sadis, kejam dan tak tahu aturan.

Rohis itu wadah untuk belajar lebih dalam tentang Islam. Namun di sisi lain, perlu diperhatikan juga soal interaksi di antara mereka yang bisa menjerumuskan ke sisi negatif. Misalnya nih, banyaknya kegiatan, koordinasi dan interaksi antara aktivis ikhwan dan aktivis akhwat, ternyata mau nggak mau bikin gonjang ganjing hati nih. Si ikhwan jadi tahu kalo si akhwat ternyata kalo ngaji suaranya bagus banget. Meski terlihat lembut, ternyata si akhwat mandiri lho. Maka segala keindahan, keanggunan seolah-olah berputar en berpusat padanya. Si akhwat nggak mo kalah. Suara si ikhwan tiba-tiba jadi begitu berwibawa. Udah rajin sholat, piawai memimpin lagi. Apalagi kalo ternyata seiring dakwahnya yang yahud, si ikhwan nilai-nilainya juga tetep good. Huuuaah! Mendadak si ikhwan jadi sosok impian pendamping ideal. Mendadak semua info tentang dia jadi penting. Mendadak harapan-harapan dengan si dia mulai berdenting. Aduuuhh, gimana nih?

Tahu sih Islam nggak kenal pacaran. Tahu sih Islam nggak ngijinin ikhwan bergaul terlalu deket ama akhwat. Tapi mo gimana lagi. anak rohis kan juga manusia. Bukan malaikat yang nggak goyah dengan virus cinta. Terus gimana dong? Mo nikah? Kan sekolah nggak ngijinin anak didiknya nikah pas masih masa belajar. Yang udah kuliah? Sama aja! Ortu nggak bakal ngasih lampu hijau deh untuk nikah sebelum lulus kuliah en dapet kerja. Lagian nikah itu kan berat. Kudu bertanggungjawab en terikat.

Akibat ‘konflik’ itu, nggak sedikit yang galau, nggak sanggup lagi mengekang yang namanya cinta (baca: nafsu), Akhirnya, banyak anak rohis yang memilih menjalani HTS (hubungan tanpa status). Nggak pacaran sih, tapi sms mesra, telepon-telponan dan lirik-lirikan saat rapat. Untuk yang lebih nekat, berani ngasih label status hubungannya dengan label ‘pacaran islami’. Katanya, pacaran ini semata-mata sebagai sarana untuk meningkatkan rasa empati dan berbagi. Bahkan ada yang nekat nulis buku-buku yang memberikan panduan pacaran islami. Hasilnya? Meski banyak yang tetep bertahan en stay cool, nggak sedikit pula anak rohis yang akhirnya bablas en gugur di medan tempur eh medan dakwah. Nggak hanya gugur, tetapi juga terhina.

 

Aktivis Rohis juga manusia

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Kalo masih ada yang berpikiran, ‘anak rohis kan juga manusia’, punya hati punya rasa, wajar aja bisa kesandung cinta. Nah, justru karena anak rohis itu manusia, makanya anak rohis kudu ngikutin aturan Yang Menciptakan Manusia. Islam itu turun dengan aturan yang udah lengkap banget. Masalah bersuci aja diurusin, apalagi masalah yang terkait dengan pergaulan. Catet tuh!

Dalam Islam, berzina adalah perbuatan haram yang sanksinya berat banget. Jangankan berzina, sudah termasuk dikatakan berdosa meski hanya mendekati zina. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya banyak yang mengharamkan zina, termasuk semua pendahuluan ke arah perbuatan zina. Meski pun hanya berupa sentuhan yang kerap dianggap sepele saat ini.

Hubungan tanpa status (bak yang mengaku ‘pacaran Islami’ atau yang bebas) itu bagaimana pun adalah perbuatan mendekati zina. Meski sekadar sms-an mesra sekali pun, tetep aja disebut gerbang masuknya zina. Nah, dengan pacaran model kayak gini, ada nggak yang berani jamin kalo ini nggak akan berkembang jadi pergaulan bebas? Nggak ada kan?

Namanya maksiat meski tampak kecil tetep aja maksiat. Kalo dituruti makin lama makin ‘nagih’ untuk berbuat lebih. Faktanya, pergaulan bebas itu bukan hanya terjadi pada remaja yg ‘berandalan’ dan jauh dari agama lho, tapi pada anak rohis pun bisa juga melakukan hal yang sama kalo nggak tahu ilmunya. Bedanya, anak rohis dibumbui dengan alasan menjalin ukhuwah. Weleh-weleh, menjalin ukhuwah kok harus dengan lawan jenis. So, belajar tentang tata pergaulan jadi wajib jib! Nggak cuma ngandelin semangat doang. Inget-inget ya! Ini udah kategori bikin:Jleb!

 

Mencegah itu lebih baik

Sobat gaulislam, sebelum kecebur ke kolam, mending jangan maen-maen di pinggir kolam deh. Sebelum terbakar, mending jangan maen api deh. Sebelum terperangkap cinta yang nggak halal, mending dicegah deh perasaan mo deket-deket dengan lawan jenis yang bukan mahrom. Ibarat magnet nih ya, daripada didekatkan malah jadi saling tarik-menarik, mending dijauhkan sekalian. Beres!

Bener lho, ekspresi cinta itu sendiri sebenarnya bentuk dari perwujudan naluri. Nah, yang namanya naluri, rangsangannya berasal dari luar. Naluri ini akan mendorong manusia untuk mewujudkan pemuasannya. Makanya orang yang udah kadung kesandung cinta akan galau selama belum mendapatkan kepastian cintanya berbalas atau nggak. Itu seababnya, mencegah itu lebih baik daripada mengobati. So, sebelum wadah pengajian jadi ajang pacaran, ada beberapa tips untuk mencegahnya. Apa aja tuh?

Pertama, kurangi intensitas pertemuan yang nggak perlu. Sering bertemu emang bikin hati mudah goyah. Perasaan yang semula biasa-biasa aja jadi bisa tumbuh, mekar en subur (tanaman kalee) gara-gara seringnya berinteraksi. Ini tentu aja bikin hati nggak sehat. Cara menghindarinya, usahakan kegiatan antara ikhwan dan akhwat dipisah. Kalo suatu kegiatan bisa dilakukan secara terpisah, ini akan meminimalkan pertemuan antara aktivis rohis yang ikhwan dan yang akhwat. Itu artinya, pertemuan yang ‘terpaksa’ terjadi karena ada hal yang penting-penting aja.

Kedua, musti menundukkan pandangan alias gadhul bashor. Menundukkan pandangan bukan berarti menunduk terus sampai nggak liat kanan kiri, depan belakang (kan gawat kalo ketabrak). Gadhul bashor artinya tetap melihat dengan wajar dan menahan pandangannya itu dari hal-hal yang diharamkan Allah. Lihat sama sekali lho. Bukan berarti nggak melihat. Misalnya saat berbicara dengan lawan jenis. Satu sama lain jangan menikmati wajah atau penampilan lawan bicaranya. Menikmati artinya ada perasaan nafsu menjalar di pikiran dan perasaan. Bahaya itu! Firman Allah (yang artinya): “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya… (QS an-Nuur [24]: 30-31)

Ketiga, jangan berbicara dengan gaya bicara yang mendesah ato merayu-rayu. Ini bukan berarti kalo lagi bicara ama ikhwan, gaya bicara kita seperti lagi ngebentak maling yang kepergok nyuri ayam, ya hehe…berbicara sewajarnya aja. Firman Allah Ta’ala (yang artinya):”Jika kamu bertakwa, maka janganlah kamu terlalu lemah lembut (mengucapkan perkataan), nanti orang-orang yang dalam hatinya ragu (penyakit) ingin kepadamu. Dan berkatalah dengan perkataan yang baik. ” (QS al-Ahzab [33]: 32)

Keempat, jaga hati en pikiran. Di awal udah dijelasin kalo cinta itu adalah bentuk dari potensi manusia bernama naluri. Nah, ada dua faktor nih yang bikin naluri cinta ini bangkit. Pertama, fakta yang dapat diindera. Yang kedua, pikiran yang mengundang makna-makna atau benak yang diisi dengan hayalan. So, supaya naluri ini nggak terbangkitkan, nggak menuntut dipuaskan, maka kamu kudu menghilangkan salah satu atau keduanya. Melihat akhwat bagi yang ikhwan, begitu juga sebaliknya nggak akan ngaruh dan berefek apa-apa kalo hati en pilkiranmu kamu jaga supaya nggak menghayal ke mana-mana. Ingat lho, Allah menghisab alias menghitung (dan akan meminta pertanggungan jawab) atas segala perbuatan kita. seperti dalam firman-Nya: “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS al-Israa’ [17]: 36)

Jadi, saat hatimu mulai terbakar cinta, kamu bisa menetralkannya dengan beristighfar dan banyak mengingat Allah Ta’ala. Maka dengan mudah, kamu bisa move on lagi. Nah, yang terpenting dari itu semua, buktikan bahwa kamu adalah anak rohis yang nggak berbekal semangat doang. Tapi kamu adalah anak rohis yang bener-bener ngerti Islam termasuk tata pergaulannya (khususnya dengan lawan jenis).

Sobat gaulislam, Rohis in Love itu awalnya wajar alias biasa-biasa saja. Rasa cinta yang tumbuh berawal dari seringnya bertemu di antara sesama aktivis rohis adalah hal biasa. Tetapi jika diekspresikan dengan pacaran, itu menjadi luar biasa jeleknya. So, kuatkan keimananmu, luruskan niat gabung di rohis, tumbuhkan takwa dengan benar, semangat cari ilmunya, pahami juga–ini penting–seluk-beluk syariat Islam seputar pergaulan yang syar’i. [Wita Dahlia | witadahlia19@gmail.com]