Thursday, 21 November 2024, 20:56

  gaulislam edisi 368/tahun ke-8 (17 Muharram 1436 H/ 10 November 2014)

 

Siapa di antara kamu yang nggak ngeh dengan istilah ini? Ada? Nggak masalah. Pada ngeh semua? Ok. Kamu rajin update info, Bro en Sis. Oya, sengaja lho saya tulis judulnya dengan hashtag #sakitnyatuhdisini dengan alasan supaya unik dan kali aja jadi trending topic di twitter (*ngarepdotnet). Yups, istilah ini pasti sudah sangat familiar di telinga kita. Bisa jadi bahkan di antara kamu ada yang suka banget sama penggalan lirik lagu ini? Waduh, jangan-jangan kamu hobi sakit-sakitan setelah demen dengerin lagu yang dipopulerkan Cita Citata ini. Hati-hati lho! Sakitnya jangan sampai kebablasan jadi sakit jiwa. Hadeeeuh!

Umm… istilah ‘sakitnya tuh di sini’ emang sering digunakan untuk mengungkapkan kegalauan yang memuncak di dalam hati. Misalnya, ketika ada di antara kamu yang udah berusaha sekuat tenaga untuk move on dari si dia yang telah melukai hatimu, tapi pada akhirnya mantanmu menyapa kembali lewat chat, dengan sapaan: HAI! Gara-gara tiga huruf tadi, eh kamu malah gagal move on. Bukan mustahil kalo kemudian terjalin komunikasi tidak penting antara keduanya. Mulai dari bercanda sana-sini, lalu menjurus pada flashback tentang kisahmu bersamanya di masa lampau. Tapi, tiba-tiba mantanmu menghilang tanpa kabar dan tidak pernah kembali lagi. Walhasil, habis galau terbitlah ‘sakitnya tuh di sini’ (sambil nunjuk dada dan pasang ekspresi super duper kucel)

Ya keleus, gini doang pake sakit hati segala! Yang lebih lebaynya lagi nih, ada lho beberapa teman kita yang menunjukkan sakit hatinya menggunakan gambar yang diberi tulisan atau yang sering kita dengar dengan istilah meme (malah ada website khusus meme generator). Coba ngaku, siapa nih yang pernah bikin meme, lalu di-upload ke media agar banyak yang simpati? Atau, meme itu dijadikan sebagai alat modus supaya si ‘dia’ jadi peka?

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Berdasarkan fakta di atas bisa kita lihat betapa mirisnya para remaja sekarang yang mudah tumbang hanya karena ditinggal gebetan. Bukankah sebagai remaja muslim yang baik dan berkualitas, kita justru harus merasa #sakitnyatuhdisini ketika melihat kawan-kawan kita getol banget bermesraan dengan selain mahromnya? Tapi, mengapa kita malah turut berpartisipasi dalam menikmati kerusakan yang tengah mengakar pada setiap diri teman-teman remaja kita?

Lalu, muncul pertanyaan: Lho, emangnya kenapa sih kita harus ikut-ikutan merasa #sakitnyatuhdisini ketika melihat teman-teman kita berpacaran? Hehehe, pastikan bukan karena kita ngiri, Bro en Sis. Sori ya, seharusnya kita nggak punya tampang buat ngiri dalam hal kemaksiatan yang dilakukan orang lain. Justru, kita seharusnya merasa #sakitnyatuhdisini adalah bagian dari kepedulian kita. Nyesek dada kita ngeliat banyak teman kita berbuat maksiat karena hal itu artinya mereka nggak taat sama Allah Ta’ala. Kasihan sama mereka. Iya, karena kita berpikir: “Kok, bisa-bisanya sih seorang muslim pacaran atau berbuat maksiat lainnya? Apakah nggak takut murka Allah?” Ya, ini soal kepedulian. Peduli? Emang sipa elo? Yee.. gue peduli itu karena kasihan sama kamu yang berbuat maksiat.

Hah, pacaran itu maksiat? Tentu saja, karena berpacaran adalah salah satu perbuatan yang berpotensi besar mendekati zina yang memang diharamkan Allah Ta’ala, dan termasuk dosa besar yang sekarang tersebar secara legal di tengah-tengah kita. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Israa’ [17]: 32)

So, kita kudu merasa #sakitnyatuhdisini ketika melihat teman-teman kita hobi ngegalauin gebetan yang masih belum tentu yang digalauin itu jodohnya di masa depan (nah lho, jadi bingung). Jangan cuma ngerasa #sakitnyatuhdisini kalau lagi mencret (tunjuk perut dan pantat). Eh, sori! Ooppss…

 

#sakitnyatuhdiakhirat

Sobat gaulislam yang selalu semangat. Banyak media massa yang dari dulu senang nge-judge bahwa agama Islam adalah agama yang radikal, keras, tak mengenal toleransi, ataupun kejam. Opini ini telah menyebarkan racun bagi dunia, bahkan bagi penganut agama Islam sendiri. Banyak saudara kita yang justru malah minder sama agamanya sendiri. Takut belajar Islam lebih dalam lagi, karena nggak mau dianggap teroris. Lalu, apalah gunanya sebuah agama jika hanya dijadikan sebagai identitas, tanpa kita memahaminya lebih rinci?

Hati-hati lho, akibat gagal paham ini, kita malah buta dengan keyakinan kita sendiri. Gawatnya lagi, kita malah terombang-ambing di dalamnya, dan ikut-ikutan mempercayai sesuatu yang belum pasti–apalagi yang udah jelas nggak benar. Padahal Allah Ta’ala berfirman di dalam al-Quran (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS al-Israa’ [17]: 36)

Nah, itu sebabnya kita merasa #sakitnyatuhdisini jika Islam terus-terusan dipandang sebelah mata dan dinilai buruk serta dicap sebagai ajaran terorisme. Mengapa? Karena Islam memang bukan agama yang keras. Islam adalah agama yang senantiasa menjaga pemeluknya dan memberikan ketenangan yang memuaskan akal, hati, dan jiwa. Jadi, tuduhan-tuduhan itu jelas fitnah. Hanya mereka saja yang belum paham dan telanjur keder sama Islam, dan akhirnya memvonis ini dan itu yang tidak jelas kebenarannya.

Itu sebabnya, wajib bagi kita untuk belajar Islam lebih serius lagi. Supaya apa? Supaya kita memiliki pengetahuan tentang Islam sekaligus memahaminya. Selain itu, kita bisa memperluas wawasan kita tentang Islam yang sesungguhnya. Tidak hanya tahu tentang ibadah mahdoh saja, tapi juga tentang bagaimana penerapan syariat Islam sehari-hari dalam seluruh aspek kehidupan. Perlu kita ketahui, bahwa belajar Islam akan membawa seorang muslim ke surga. Asalkan kita belajar Islam dengan niatan ikhlas karena mengharap keridhoan Allah Ta’ala. Jangan sampai nih, kita malah merasa #sakitnyatuhdiakhirat karena tidak mau belajar Islam dan kecemplung di neraka. Naudzubillahiminzalik!

Lalu, gimana sih caranya supaya kita tidak merasakan #sakitnyatuhdiakhirat? Yup! Kamu harus kuat menahan godaan hidup yang terpampang nyata di depan matamu (backsound: ngomong ala Syahrini, nih). Tidak hanya godaan buat belanja barang diskonan di mall bagi para wanita yang hobi belanja, tapi juga menahan godaan untuk berbuat maksiat. Jangan sampai deh, kita terjerumus pada lubang maksiat yang di dalamnya memang dipenuhi dengan kenikmatan duniawi yang melenakan. Yakinlah, surga lebih indah meski dibandingkan dengan dunia dan seisinya. Siapa yang di sini kepengen masuk surga? Ayo, tunjuk jarinya dan buat tanda like!

Gimana sih caranya supaya kita bisa dengan mudah menghindari hal-hal negatif, yang ujung-ujungnya malah membuat kita bersimbah dosa? Perlu kita ketahui, berbuat baik bukanlah sebuah perkara yang mudah. Nah, karena berbuat baik itu memang susah, namun hadiahnya wah, biasanya godaannya berat. Gimana nggak wah—atau kalo ada ungkapan lainnya yang lebih keren boleh ditulis. Apa hadiahnya? Yup, hadiahnya surga, Bro en Sis. Coba kalau berbuat baik itu mudah, ya mungkin hadiahnya cuma kupon makan siang di warteg! (sori buat para penggemar makan di warteg.)

 

#nikmatnyatuhdiakhirat

Sobat gaulislam, bagi kita kaum muslimin, biarlah #sakitnyatuhdisini dalam pengertian tidak bisa bebas berbuat di dunia sesuai hawa nafsu buruk kita. Iya, apalagi kita-kita ini kan masih remaja, Sob. Namanya remaja ya seringkali berkhayal bisa pacaran, bisa makan enak di resto kelas wahid (meskipun makanannya tak jelas halal-haramnya), bisa jalan-jalan kemana suka (termasuk ke tempat maksiat), hangout bareng teman cowok dan cewek (baca: campur-baur) di suatu tempat favoritmu dan aktivitas bernuansa kebebasan lainnya. Umumnya itu yang diinginkan. Bebas tanpa ada yang melarang (termasuk ogah diatur sama syariat Islam). Tetapi ketika ada yang melarang, rasa-rasanya banyak yang terkekang lalu bilang, #sakitnyatuhdisini. Ya, nggak apa-apa, Bro en Sis. Meskipun #sakitnyatuhdisini, yakni di dunia ini gara-gara nggak bisa berbuat maksiat, yang penting #nikmatnyatuhdiakhirat. Betul nggak?

Nah, supaya bisa #nikmatnyatuhdiakhirat kamu kudu menghindari semua hal negatif karena umumnya bisa berujung dosa. Dosa, adalah beban dan penderitaan. Tentu saja dosa akan menjadi tabungan keburukan bagi kita. Iya, tabungan keburukan kalo terus berbuat dosa. Meski banyak amal baiknya, kita pantas khawatir kalo amal buruk kita justru melebihi banyaknya amal baik kita. Naudzubillahi min dzalik. Aduh, ngeri. Ayo istighfar rame-rame!

Itu sebabnya, ada peribahasa yang sepertinya bagi sebagian dari kita sudah akrab, “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Nah, itu artinya kalo kita ingin mendapatkan kesenangan di akhirat, yakni kenikmatan di kehidupan yang kekal tersebut, maka harus berani bersusah payah di dunia. Ya, bersusah payah di sini artinya kita harus beriman kepada Allah Ta’ala, bertakwa, beramal shalih, mengajak orang lain berbuat baik dan sekaligus mencegah orang lain berbuat maksiat atau kemunkaran, menghindari dosa dan maksiat (walaupun perbuatan tersebut menurut hawa nafsu membuat kita senang). Semua itu butuh pengorbanan tak sedikit, lho. Itu sebabnya, bersusah payah karena ingin mendapatkan kesenangan di akhirat harus berani ninggalin kesenangan yang bertabur maksiat di dunia. Supaya apa? Supaya #nikmatnyatuhdiakhirat. Sip. Deal!

Sobat gaulislam, kita perlu meyakini bahwa upaya kita untuk menjauhi maksiat, akan dibalas dengan pahala dari Allah Ta’ala. Tentu saja, kita sangat menanti-nantikan kehidupan sejati kita di dalam surga. Jangan malah mengejar kesenangan bertabur maksiat di dunia, karena kalau masuk neraka… ih, #sakitnyatuhlamabanget! [Noviani Gendaga | Twitter @gendagaaa]

2 thoughts on “#sakitnyatuhdisini

  1. Assalamu’alaikum. izin buat referensi di buletin sekolah ya min, launching perdana soalnya :D. Sebagian saya kutip., (sumber gak bakal lupa kok). terima kasih. SKI Man 3 Kediri. Wassalamu’alaikum

    Wa alaikumsalam
    ok semoga bermanfaat.
    Nuhun Wassalamu’alaikum

  2. Assalamu’alaikum. izin buat referensi di buletin KAMPUS ya min, launching perdana soalnya :D. Sebagian saya kutip., (sumber gak bakal lupa kok). terima kasih. IAIN RADEN INTAN LAMPUNG Wassalamu’alaikum

    ‘alaikumussalam
    Ya, silakan. Semoga bermanfaat. Yup, sumbernya tolong dicantumkan. Syukron
    redaksi gaulislam

Comments are closed.