Thursday, 21 November 2024, 21:30

gaulislam edisi 626/tahun ke-13 (22 Shafar 1441 H/ 21 Oktober 2019)

Eh, besok Hari Santri Nasional, lho. Tanggal 22 Oktober. Kok bisa? Ya, bisa aja sih. Emang kamu belum tahu? Begini ceritanya. Berdasarkan informasi yang udah nyebar sejak lama, bahwa tanggal 22 Oktober dipilih sebagai Hari Santri Nasional karena menjadi tanggal bersejarah, yakni ketika pendiri NU, Hadratus Syaikh Hasyim Asya’ri, memaklumatkan fatwa yang monumental, yang disebut dengan Resolusi Jihad.

Fatwa itu menginspirasi perlawanan masyarakat terhadap Pasukan Sekutu (NICA) pada tanggal 10 November 1945. Inti dari fatwa ini ialah membela tanah air dari penjajah hukumnya fardlu’ain (wajib) bagi setiap individu.

Wah, berarti memang berdasarkan perjuangan ya. Betul. Perjuangan tentu terkait dengan keberanian dan juga pengorbanan. Selain itu, kalo berani berarti memang militan, tuh. Eh, kamu jangan sensi ya kalo baca or dengar istilah militan. Biasa aja, lagi!

Ya, nggak perlu dipermasalahkan sebagai sesuatu yang buruk, apalagi menakutkan. Justru istilah militan kudu dimiliki oleh setiap santri. Hmm.. ngomong-ngomong, sebenarnya apa sih arti sesungguhnya dari militan?

Militan itu keren!

Sobat gaulislam, kalo kamu mau rajin baca-baca buku or surfing di internet nyari istilah tentang militan, insya Allah bisa kamu dapatkan datanya. Enak kan bisa tambah wawasan? Selain itu, kamu jadi lebih bijak memandang persoalan, utamanya dalam menyikapi istilah militan ini. Kalo sebelumnya, istilah militan dipahami sebagai sikap yang selalu berhubungan dengan kekerasan, selalu berhubungan dengan kengototan, dan berkaitan dengan sikap selalu pengen menang sendiri. Tambahannya, orang yang militan nyaris selalu identik dengan kesan garang. Walah? Padahal tak selamanya cap itu benar. Sebab, dalam kondisi tertentu, ternyata kita kudu punya semangat dan memiliki gairah dalam belajar dan bekerja. Itu juga bisa disebut militan. Nah, lho.

Oke deh, jika kamu baca Kamus Besar Bahasa Indonesia, bakalan menemukan definisi militan. Di situ disebutkan bahwa militan adalah bersemangat tinggi, penuh gairah, dan berhaluan keras. Wah, oke banget kan kalo jadi orang yang militan?

Kalo pengen lebih mantep, ada definisi dari kamus lainnya. Misalnya dalam MiriamWebster Dictionary tertulis, bahwa istilah ini termasuk kata sifat dan kosakata ini dimasukkan ke dalam kamus pertama kali pada abad ke-15. Dalam kamus ini, militan didefinisikan sebagai, “engaged in warfare or combat” (disibukkan dalam peperangan atau pertempuran). Dalam kamus ini juga disebutkan militan adalah menunjukkan sikap yang agresif dan aktif banget.

Hal serupa dijelaskan pula dalam Cambrige International Dictionary, istilah militan sebagai kata sifat didefinisikan sebagai, “active, determined and often willing to use force” (aktif, tekun, dan acapkali sudi untuk menggunakan kekuatannya).

Militan sebagai kata sifat juga didefinisikan dengan berjuang atau berperang. Arti lainnya, memiliki karakter bertempur, agresif, khususnya dalam menghadapi (suatu) perkara. Militan sebagai kata benda, didefinisikan sebagai perjuangan, pertempuran, atau agresivitas; baik individu ataupun partai. (The American Heritage® Dictionary of the English Language, Fourth Edition. Published by Houghton Mifflin Company)

Dan, militan juga didefinisikan sebagai “self-assertive” (ketegasan diri) dan memiliki semangat yang tak pernah henti, seolah ada di mana-mana. (WordNet ® 1.6, © 1997 Princeton University)

Dari semua definisi yang disebutkan tadi tentunya kamu udah mulai paham. Seterusnya, tentu bisa membedakan, mana yang pantas dan tidak pantas dalam hidup ini. Mana yang benar dan mana yang salah. Jadi, istilah militan ini bisa diterapkan dalam kasus yang baik-baik. Sebab, militan lebih identik dengan individu atau kelompok yang selalu bergairah, tekun, gigih, punya semangat tinggi, pantang menyerah, tidak mudah untuk putus asa meski banyak rintangan dan hambatan. Bahkan acapkali, rintangan yang ada di hadapannya dianggap sebagai tantangan. Nah, untuk sikap-sikap seperti itu, tentunya juga berlaku umum alias untuk siapa saja dan dari kalangan mana pun; bisa seorang pekerja, seorang pendidik, seorang tentara, pelajar, atau profesi lainnya.

Hanya saja, saat ini istilah militan makin menyempit. Terbukti, saat ini istilah militan ‘cuma’ ditujukan dan selalu identik dengan orang atau kelompok yang kadang diberi label ‘garis keras’. Ini yang kemudian menempatakan istilah ini tidak pada tempat yang semestinya. Bahkan cenderung dibumbui sinisme kepada individu atau kelompok tertentu.

Ambil contoh kasus penyerangan Menkopulhukam Wiranto di Pandeglang awal bulan ini juga dihubungkan dengan aktivitas kelompok Islam garis keras, radikal, kelompok Islam militan. Wah, wah, wah.

Akibatnya, opini yang terbangun menjadi tidak berimbang, alias njomplang. Walhasil, masyarakat jadi alergi dengan istilah militan. Ya, lain di kamus lain pula dalam pandangan masyarakat. Celakanya, istilah militan dalam pandangan masyarakat yang nampaknya lebih mendominasi pengertian istilah ini. Gaswat memang.

Nah, kalo ngomongin santri, mestinya memang kalangan santri yang pas menyandang gelar militan. Gimana nggak, santri kan dididik agama dengan benar baik secara rutin dan maksimal. Ya, jika dibandingin dengan mereka di usia yang sama namun belajar di sekolah biasa. Bukan pesantren. Keren banget, mestinya para santri militan ini!

Tapi kok banyak yang phobia?

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Lain di definisi (kamus) secara bahasa, lain pula secara fakta di lapangan. Akibatnya masyarakat dibuat bingung. Kok, bisa?

Ya, kadang masyarakat memang kejam. Meski tidak memiliki aturan secara tertulis, tapi tajamnya kecaman bisa berdampak buruk. Santri militan (atau remaja masjid pada umumnya), dalam kondisi masyarakat yang seperti sekarang ini, seperti sebuah kanker ganas yang harus segera disingkirkan.

Pandangan masyarakat seperti ini jelas merugikan perjuangan Islam. Bahkan memadamkan semangat yang mulai menyala dalam dada setiap remaja Islam. Padahal, gampang-gampang susah menumbuhkan rasa cinta kepada Islam di kalangan remaja. Eh, yang baru tumbuh malah dibabat. Apa nggak kejam tuh?

Anehnya lagi, dalam waktu yang bersamaan, masyarakat seringkali menutup mata, atau tepatnya cuek dengan maraknya remaja yang gaul bebas, kejerat narkoba, bahkan yang doyan berantem antar temannya. So, untuk semua itu, nggak ada kampanye dalam rangka menyadarkan mereka. Sebaliknya, ya itu tadi, dibiarkan. Pokoknya, dipandang sebelah mata deh. Ah, masak beraninya kepada yang benar? Masak kepada yang nakal takut? Tapi inilah faktanya, Bro en Sis. Aneh bin ajaib memang.

Pertanyaannya, kenapa masyarakat (termasuk negara) bisa seperti itu? Nah, ini yang kudu kamu tahu, Bro en Sis. Sebab, nggak mungkin dong orang ujug-ujug benci kalo nggak ada alasan yang menurut mereka ‘wajib’ dibenci. Orang yang cinta saja kudu ada alasannya, kenapa ia mencintai. Tul nggak?

Nah, kalo ditelusuri ternyata masyarakat (dan pemimpin negara) kita mengidap sejenis penyakit Islamophobia, alias ketakutan terhadap Islam. Ambil contoh, ada anak puteri yang ‘cuma’ pakai kerudung ke sekolah aja dicurigai.

Lucunya, banyak prasangka yang nggak-nggak di kalangan guru sendiri. Dibilangin ikut aliran ini dan itu. Kalo kebetulan kegiatan remaja masjid sekolah di sekolah umum marak, mereka mulai dimata-matai. Bahkan pihak sekolah nggak segen untuk menghentikan, dengan alasan, ini bukan sekolah agama, padahal hanya mengibarkan bendera tauhid. Konon kabarnya nggak rela kalo di sekolah umum justru yang maraknya adalah kegiatan keagamaan, khususnya Islam. Walah?

Sobat gaulislam, apa nggak kesel bin gondok digituin? Padahal, nggak jarang bahwa yang kita lakuin itu adalah sebagai wujud kecintaan kita kepada Islam. Kita bangga dong bisa menjadikan Islam sebagai identitas kita. Kita ingin menyampaikan pesan bahwa kita remaja muslim, bahwa kita santri militan.

Teman remaja puteri rapi berkurudung dan berjilbab, justru karena ingin menyampaikan pesan bahwa dirinya adalah seorang muslimah yang berusaha untuk menjalankan satu kewajiban dalam ajaran agamanya. Teman remaja putera yang aktif di kegiatan remaja masjid (termasuk para santri di pondok), pakai baju koko lengkap dengan pecinya, justru secara tidak langsung ingin menyampaikan pesan, bahwa kamilah pemuda muslim. Simbol-simbol yang dikenakan dan perbuatan yang dilakukan muncul akibat panasnya semangat yang menggelora dalam dada. Mereka, setidaknya ingin menunjukkan: inilah kami, remaja muslim yang mencintai Islam sepenuh hati; atau Kami santri milenial militan; Santri milenial shalih dan shalihah. Apa itu salah?

Mestinya sih nggak. Tapi apa boleh buat, masyarakat dan negara nggak mendukung soal itu. Hasilnya? Bisa ditebak tuh. Banyak remaja (khususnya para santri) yang takut dengan Islam. Bahkan mereka dicekoki ide liberalisme yang justru kian menjauhkan mereka dari Islam.

Mestinya didukung

Kalo dipikir-pikir memang aneh juga. Kenapa orang musti takut dengan Islam? Kenapa orang musti gerah dengan maraknya aktivitas keislaman? Kenapa masyarakat (dan negara) musti curiga dengan simbol pengamalan ajaran agama (jilbab, baju koko, dan jenggot)?

Apa ada yang aneh dengan Islam? Apa ada yang salah dengan mereka yang mau mengamalkan ajaran Islam, meski cuma sebatas berkurudung dan berjilbab? Mengapa harus murka dengan maraknya aktivitas pengajian di sekolah dan di masjid? Sungguh aneh tapi nyata. Menyedihkan banget.

Jujur saja, sikap masyarakat seperti ini bikin nggak nyaman buat mereka yang mau merasakan nikmatnya beragama. Pandangan miring dan curiga terhadap remaja-remaja yang bergairah (baca: militan) dalam agamanya itu adalah sikap kontraproduktif. Nggak baik untuk dipelihara.

Memang sih, nggak semua masyarakat berpandangan miring terhadap remaja militan di lingkungan umum, termasuk santri yang militan. Tapi sayangnya, jumlah pendukungnya kalah banyak ketimbang mereka yang menjadi penentangnya. Jadinya ya, opininya kalah. Kalah abis. Akibatnya, yang banyak diekspos adalah yang menentangnya.

Itu sebabnya, posisi teman remaja yang bergairah dalam mengamalkan ajaran Islam ini makin terpojok. Santri yang militan, pondoknya dicurigai bahkan dilaporkan lalu dibubarkan. Digempur dari sana-sini, dicurgai bak sebuah aib nasional.

Hmm… beginilah hidup di tengah-tengah masyarakat yang tidak islami. Masyarakat yang justru meyakini permisivisme (bebas nilai) sebagai jalan hidup. Sejatinya, mereka sebetulnya nggak mau diusik dalam kebebasan gaya hidupnya oleh mereka yang ingin menyegarkan kembali pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan ini. Mereka jadi menuduh remaja militan (termasuk para santri militan) sebagai musuh, sebelum mereka menjadi tertuduh. Walah, mau ditolong kok nggak mau? Mestinya didukung kok ini malah dihabisi. Piye iki!

So, di Hari Santri Nasional besok, bagi para santri tetap tunjukkan kewibawaan sebagai santri. Ketegasan dalam bersikap dengan mengedepankan aturan syariat. Tetap militan dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam dan cita-cita tegaknya keadilan di bawah naungan Islam. Jadilah the real santri, yakni santri yang militan dalam memperjuangkan agamanya.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kamilah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.” (QS ash-Shaff [61]: 14)

Bagi masyarakat dan negara, terbukalah menerima Islam. Apalagi di negeri ini mayoritas muslim (termasuk para pejabatnya). Apa yang ditunjukkan para santri militan, adalah bagian dari upaya mereka dalam mencintai Islam dan menyebarkannya. Dukunglah mereka, dan jangan diberangus. [O. Solihin | IG @osolihin]