Sunday, 24 November 2024, 14:06

gaulislam edisi 489/tahun ke-10 (7 Jumadil Akhir 1438 H/ 6 Maret 2017)

 

Capek nungguin keputusan pengadilan bagi si penista agama yang ternyata tak jua dihukum? Ya, pengadilan dalam sistem kehidupan saat ini bisa dibeli, bisa dikendalikan sesuai pemilik aturan. Jadi, nggak usah capek dan heran. Begitulah tantangan dakwah dan perjuangan. So, seharusnya kian kuat energi untuk melawannya.

Makin gerah karena pergaulan bebas remaja malah kian marak? Ya, begitulah kita hidup dalam sistem demokrasi dimana liberalisme alias paham kebebasan sangat diagung-agungkan. Itu sebabnya, nggak usah merasa capek dan bingung. Beneran. Jadikan saja sebagai bahan evaluasi kita untuk mencari cara agar perjuangan dakwah tetap berlangsung.

Nggak usah merasa capek dan bingung bin heran? Ya. Sebab, bila sudah peduli dan terjun, capek itu hanya ‘hiasan’ dan keheranan atau kebingungan sekadar melengkapinya. Perlawanan harus terus berjalan, perjuangan dakwah tetap dilakukan. Mengapa? Sebab di bagian ini sekaligus untuk mengukur seberapa kuat kita berjuang untuk melawan semua bentuk pelanggaran terhadap syariat Islam. Ya, memang harus kuat. Bila tidak kuat artinya, kalah? Bisa jadi. Mungkin lebih halus: gagal. Kita memang membuat aturan demikian, ada menang dan kalah, ada untung ada rugi. Itu bagian dari sebuah perjuangan, termasuk di arena dakwah. Semoga kita kuat menjadi pejuangnya dan tetap istiqomah dalam perjuagan dakwah ini. Insya Allah.

Alla Ta’ala berfirman (yang artinya), Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS Fushshilat [41]: 30)

 

Untung-rugi dalam berbuat   

Sobat gaulislam, dalam teori pertukaran sosial (social exchange theory) disebutkan bahwa selama hidupnya manusia selalu berpikir untung-rugi atas apa yang akan diperbuatnya. Itu sebabnya kemudian muncul variabel cost and reward (biaya dan imbalan). Dengan kenyataan seperti ini, sudah saatnya  kita mulai memahaminya dan menjadikan kita bisa lebih peka terhadap berbagai masalah manusia dan berusaha mencari inovasi yang terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jika kita mengingat masa lalu, ketika kita memilih mengkaji Islam dan bahkan serius terjun dalam perjuangan dakwah pasti sudah memikirkan ‘untung-rugi’ atas perbuatan yang akan kita ambil. Dari mulai penilaian dengan persepsi yang terendah, sederhana, sampai yang tertinggi dan kadang tak bisa diukur dengan materi.

Mengukur untung-rugi sepertinya memang naluriah manusia. Ketika akan menentukan suatu perbuatan yang akan dikerjakan kita akan berpikir dengan serius: Apa keuntungan jika kita melakukan perbuatan itu? Berapa harga yang harus ditebus? Sebandingkah dengan keuntungan yang didapat? Jika lebih banyak untungnya, kita pasti akan melakukannya. Tapi kita akan meninggalkan perbuatan tersebut jika ruginya lebih besar dari keuntungan yang akan kita dapatkan.

Perlu dicatat bahwa pertimbangan untung-rugi atas dasar cost and reward itu pasti dipengaruhi oleh persepsi kita masing-masing saat itu. Persepsi yang muncul sesuai dengan latar belakang budaya kita, tingkat pendidikan kita, wawasan kita, dan informasi yang kita terima selama ini. Dan menurut saya, pertimbangan ‘untung-rugi’ yang paling benar adalah menyandarkan kepada aturan Islam. Bukan yang lain.

Sobat gaulislam, dengan konsekuensi seperti ini, semoga kita menjadi lebih peka dan terbuka dalam menghadapi umat yang akan kita ajak untuk mengenal Islam. Sampaikan sedetil mungkin berbagai informasi yang bisa memberikan keputusan terbaik yang akan diperbuatnya. Mustahil mereka akan merasa perlu untuk melakukan apa yang kita tawarkan jika kita sendiri tidak mengkomunikasikannya dengan benar, baik, dan bijak. Kesabaran dan keikhlasan kita dalam mengemban amanah dakwah ini menjadi nilai tambah untuk meraih dukungan banyak pihak terhadap dakwah kita. Semoga setelah kita mengetahui sisi-sisi manusiawi calon penerima dakwah kita, akan menjadikan kita lebih pandai dan terus belajar untuk menghasilkan inovasi dalam dakwah.

Memang bukan perkara gampang meyakinkan orang agar mau seperti kita. Tak mudah untuk menyulap seseorang agar mengikuti apa keinginan kita. Selalu saja ada benturan, sekecil apa pun. Setidaknya memang demikian. Karena dalam diri setiap manusia, berdasarkan kajian para psikolog ada tahapan ketika manusia akan menentukan ‘jalan lain’ dalam hidupnya. Ada proses untuk meyakinkan dirinya dengan jalan baru yang akan dipilihnya.

Dalam kajian ilmu psikologi disebut dengan cognitive dissonance/disonansi kognitif, meski teori ini masih diperdebatkan di kalangan ilmuwan psikologi sendiri, tapi setidaknya bisa dijelaskan bahwa unsur kognitif (pikiran, sikap, kepercayaan) berada dalam hubungan ketakcocokan. Sederhananya, disonansi kognitif adalah untuk menggambarkan perubahan sikap yang terjadi ketika terjadi ‘benturan’ tentang apa yang kita pahami selama ini dengan apa yang akan kita perbuat setelah mendapat informasi baru tentang perbuatan yang seharusnya kita lakukan.

Itu sebabnya, ketika mendakwahkan Islam kepada seseorang akan terjadi benturan dan bagi orang tersebut terjadi proses disonansi kognitif. Baik orang yang sudah mengkaji Islam, maupun bagi orang yang nol mengkaji Islam tapi lebih banyak menerima informasi di luar Islam. Ini butuh kelihaian kita sebagai pengemban dakwah. Selain mengandalkan semangat, kita juga harus mampu menjadi negosiator ulung untuk menjelaskan maksud kita menyampaikan dakwah kepadanya. Kita bisa menekankan bahwa kita tidak memaksa, hanya memberikan ilmu yang kita yakini kebenarannya. Sehingga diharapkan terjadi proses dialog (yang mungkin saja berulang sampai puluhan kali) untuk menyamakan persepsi. Di sinilah, sekali lagi, dituntut kesabaran, keikhlasan, dan ilmu yang cukup untuk memahami karakter calon penerima dakwah kita.

Pasa saat disonansi kognitif inilah peran penguatan dari lingkungan sekitar akan ikut mempengaruhi keputusan. Jika pengaruh lingkungan baiknya lebih besar, maka insya Allah ia akan memutuskan ke arah yang baik. Teman yang sabar dan ngemong, pengemban dakwah yang tak kenal lelah menyampaikan, juga dukungan pihak keluarga yang bagus akan sangat membantu seseorang yang berada dalam posisi untuk memilih ‘jalan baru’ bisa mengambil keputusan yang tepat benar. Semoga kita bisa melakukannya dengan baik dan benar.

 

Pejuang tangguh

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Semoga tulisan ini mampu menggerakkan semangat kamu semua. Mampu menciptakan inspirasi tambahan dalam perjuangan dakwah ini. Karena saya yakin, tsaqafah saja belum cukup, semangat saja belum cukup, jika tak ada hubungan yang paling akrab sesama pejuang dakwah. Hubungan yang menghargai kita sebagai manusia. Pejuang dakwah yang baik, sebagaimana teladan kita semua, Muhammad saw. yang mampu menjadi pembina sejati, yang pandai memotivasi para sahabatnya, menularkan semangat dan mentransfer ilmu, dan bahkan tanpa merasa harus turun derajat karena sering menghormati sahabatnya yang jauh lebih rendah levelnya dari beliau. Semoga beliau tetap menjadi teladan kita dalam kehidupan ini, termasuk menjadikannya idola dan pahlawan kita dalam perjuangan dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam yang telah beliau rintis ratusan tahun silam.

Oya, hidup kita kian berat. Tantangan kian beragam. Harus dihadapi dengan kesungguhan. Maka, menjadi tangguh adalah pilihan. Pejuang Kapitalisme terus menggencarkan tekanannya kepada kita. Bahkan para pengemban Sosialisme-Komunisme merasa harus berjuang lagi untuk menghancurkan dominasi ideologi yang ada di dunia ini. Kita, juga tak boleh tinggal diam. Segala sarana pendukung untuk perjuangan dakwah Islam ini harus kita optimalkan perannya. Kita harus bisa meraih sebanyak mungkin pendukung dakwah ini.

Nah, agar dakwah ini semakin kuat, semakin bertenaga dan ada jaminan dilanjutkan oleh penerus kita. Karena sangat boleh jadi, perjuangan menegakkan Islam ini akan berlangsung lebih lama dan usia kita akan menggerogoti sisa tenaga untuk menggerakkan potensi yang kita miliki. Jika ada jutaan bahkan miliaran pengemban dakwah, insya Allah kita tak perlu khawatir. Bahkan jika kita dijemput lebih dulu untuk menghadap Allah Ta’ala kita tidak perlu khawatir karena telah menularkan begitu banyak ilmu dan semangat kepada para pejuang lain.

Hanya saja, jika kita berdiam diri, jangankan miliaran atau jutaan umat yang mau menceburkan dirinya dalam dakwah, mungkin ratusan saja tak akan sampai. Itu sebabnya, mumpung masih ada waktu, masih kuat tenaga dan pikiran kita, gencarkan perjuangan dakwah ini. Tak perlu merasa bahwa kita harus menuai hasilnya pada saat kita masih hidup. Bukankah para pahlawan perjuangan banyak yang tak menyaksikan hasil perjuangannya? Dan Allah pun hanya akan mencatat usaha yang kita lakukan. Bukan hasil yang kita dapat. Biarlah, anak-cucu kita saja yang akan menikmati keberhasilan upaya kita. Itu sebabnya, jadilah seorang pejuang dakwah yang bisa dikenang sejarah tanpa kita sendiri merasa harus menjadi pahlawan. Jadilah pejuang tangguh. Biarlah hanya Allah yang mencatat amal baik kita.

Sobat gaulislam, semoga kita tetap bersama dalam perjuangan dakwah ini. Semoga kita masih bisa menikmati hasil perjuangan dakwah kita. Kita bisa bertemu dalam kesempatan yang lebih baik dari sekarang. Kesempatan ketika Khilafah Islamiyah sudah berdiri. Tapi, jika pun Allah mewafatkan kita semua sebelum menikmati hasil perjuangan ini, semoga kita bisa ‘reuni’ di surgaNya yang sangat luas dan hanya diperuntukkan bagi hamba-hambaNya yang bertakwa kepadaNya dan berjuang menegakkan agamaNya. Insya Allah. Semoga Allah memberkahi kita semua agar tetap kuat dan istiqomah dalam perjuangan dakwah ini. Jangan kendur, apalagi mundur. Amin. [O. Solihin | Twitter @osolihin]