Friday, 22 November 2024, 02:15

Para dosen penganjur perkawinan antar-agama berusaha meruntuhkan bangunan hukum Islam dalam soal perkawinan. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-235

Oleh: Adian Husaini

ImageBeberapa hari lalu, saya mendapat hadiah buku kecil yang menarik dari seorang tokoh Islam di Bekasi. Judulnya, “Perkawinan Antar Pemeluk Agama Yang Berbeda“. Penulisnya seorang guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Muhammad Daud Ali (alm.). Buku setebal 32 halaman ini ditulis tahun 1992.

Setelah menguraikan pandangannya berdasarkan hukum Islam dan sejumlah peraturan hukum di Indonesia, Prof. Daud Ali menarik beberapa kesimpulan, diantaranya:

(1) Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama dengan berbagai cara pengungkapannya, sesungguhnya tidaklah sah menurut agama yang diakui keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia. Dan, karena sahnya perkawinan didasarkan pada hukum agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama, tidak sah pula menurut Undang-undang Perkawinan Indonesia.

(2) Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini, kendatipun merupakan kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan tersendiri, tidak perlu dilindungi oleh negara. Memberi perlindungan hukum pada warga negara yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila sebagai cita hukum bangsa dan kaidah fundamental negara serta hukum agama yang berlaku di Indonesia, pada pendapat saya selain tidak konstitusional, juga tidak legal.

Demikianlah kesimpulan Prof. Daud Ali tentang perkawinan antar agama di Indonesia. Penegasan guru besar UI itu perlu kita renungkan, mengingat saat ini sejumlah guru besar liberal yang mengajar di sejumlah kampus Islam, seperti Prof. Musdah Mulia dan Prof. Zainun Kamal, justru aktif membongkar dasar-dasar hukum Islam dalam soal perkawinan, dan menciptakan hukum baru. Buku Fiqih Lintas Agama yang ditulis oleh sejumlah profesor di UIN Jakarta dan aktivis liberal juga terus-menerus disebarkan di tengah masyarakat Indonesia. Seperti kita tulis dalam CAP-234 lalu, buku Fiqih Lintas Agama ini bukan hanya membolehkan perkawinan antar agama, tetapi melangkah lebih jauh lagi dengan menganjurkan masyarakat Indonesia agar melakukan perkawinan antaragama.

Kata buku terbitan Paramadina dan (edisi Inggrisnya oleh) International Center for Islam and Pluralism (ICIP) ini: “Di tengah rentannya hubungan antar agama saat ini, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih dan tali sayang, kita rajut kerukunan dan kedamaian.”

Sebagai umat beragama, kita tentu sulit memahami logika macam apakah yang bercokol di otak para guru besar bidang agama ini, sampai tega-teganya menganjurkan umat Islam melakukan perkawinan antar-agama, demi membangun kerukunan umat beragama. Lagi pula apakah mereka juga melakukan hal itu pada keluarga mereka sendiri; pada anak-anak mereka sendiri?

Lihatlah, apakah nama-nama yang tercantum sebagai penulis Buku Fiqih Lintas Agama dan penyebar buku ini — seperti Zainun Kamal, Nurcholish Madjid, Kautsar Azhary Noer, Syafii Anwar, dan sebagainya — juga bersedia menikahkan anak-anaknya sendiri dengan orang yang beragama lain?

Kita patut bertanya-tanya, mengapa sebagian mereka aktif menikahkan orang lain dengan pasangan beda agama, tetapi justru mereka sendiri tidak menerapkannya. Ketika putrinya, Nadia Madjid, akan menikah dengan seorang Yahudi Amerika, Nurcholish Madjid mengirimkan surat keberatannya. Diantara isinya ialah mensyaratkan calon mantunya itu harus masuk Islam. “Kalau memang jadi, dia mutlak harus masuk agama kita,” tulis Nurcholish Madjid dalam surat bertanggal 13 Agustus 2001.

Bahkan, lebih jauh lagi, Nurcholish memberi syarat yang lebih berat untuk calon mantunya waktu itu: “Dan yang lebih penting, bahwa pengislaman itu tercatat, dengan surat keterangan/tanda bukti yang mencantumkan nama-nama para saksi resmi (biasanya dua orang, lebih banyak lebih baik) dan tanda tangan mereka. Karena itu, acara pengislaman tersebut harus dilaksanakan di sebuah lembaga yang diakui, seperti Islamic Center setempat, dan dibimbing oleh yang berwenang di situ.”

ImageKita tahu, apa yang kemudian terjadi pada kasus perkawinan antara Nadia Madjid dengan David, seorang Yahudi Amerika. Kita tidak pernah tahu, bagaimana sebenarnya sikap Nurcholish Madjid terhadap buku Fiqih Lintas Agama ini. Yang jelas buku ini diterbitkan sebelum dia meninggal dunia. Namanya tercantum sebagai salah satu Tim Penulis di buku ini. Yang kita tahu kemudian, tahun 2006, ICIP yang dipimpin Dr. Syafii Anwar – sahabat dekat dan pengikut setia Nurcholish Madjid – malah menerbitkan edisi bahasa Inggris dari buku yang jelas-jelas merusak aqidah dan syariat Islam ini. Dalam edisi bahasa Inggris yang diberi judul “Interfaith Theology” ini, nama Nurcholish Madjid tetap dicantumkan dalam jajaran penulis, setelah nama Zainun Kamal, seorang guru besar UIN Jakarta yang juga berprofesi sebagai ‘penghulu swasta’ dalam perkawinan antar-agama.

Kita perlu benar-benar memperhatikan pemikiran dan perilaku para penganjur perkawinan antar-agama dari kalangan dosen-dosen UIN dan aktivis liberal ini. Sebab, sadar atau tidak, melalui pemikiran dan tindakan tersebut, mereka sebenarnya sudah melakukan sebuah tindakan yang merobohkan bangunan masyarakat Islam dari dasarnya, yaitu merusak institusi keluarga Muslim. Padahal, dari keluarga inilah diharapkan akan lahir generasi masa depan yang tangguh, yang tentu saja harus didasari dengan keimanan yang kokoh. Jika di tengah keluarga ini kedua orang tuanya berbeda keimanan, bagaimana mungkin akan terbangun generasi anak yang shalih menurut Islam?

Karena itulah, perkawinan antar-agama bukan hanya menjadi masalah bagi Islam, tetapi juga bagi agama-agama lain. Dalam bukunya, Prof. Daud Ali mengutip ketentuan perkawinan antar-agama pada sejumlah agama di Indonesia. Agama Katolik dengan tegas menyatakan bahwa “Perkawinan antara seorang Katolik dengan penganut agama lain tidak sah” (Kanon 1086). Namun demikian, bagi mereka yang sudah tidak mungkin dipisahkan lagi karena cintanya sudah terlanjur mendalam, pejabat gereja yang berwenang, yakni uskup, dapat memberi dispensasi (pengacualian dari aturan umum untuk suatu keadaan yang khusus) dengan jalan mengawinkan pemeluk agama Katolik dengan pemeluk agama lain itu, asal saja kedua-duanya memenuhi syarat yang ditentukan dalam kanon 1125 yakni:

1. yang beragama Katolik berjanji (a) akan tetap setia pada iman Katolik, dan (b) bersedia mempermandikan dan mendidik semua anak-anak mereka secara Katolik.

2. Sedangkan yang tidak beragama Katolik berjanji antara lain (a) menerima perkawinan secara Katolik (b) tidak akan menceraikan pihak yang beragama Katolik, (c) tidak akan menghalangi pihak yang Katolik melaksanakannya imannya dan (d) bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik.

Karena akan menimbulkan berbagai konflik dalam keluarga, maka menurut agama Katolik, perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama hendaklah dihindari. Demikian kutipan dari buku Prof. Daud Ali.

Dr. Al. Purwohadiwardoyo MSF, dalam bukunya yang berjudul “Perkawinan Menurut Islam dan Katolik, Implikasinya dalam Kawin Campur“, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), menulis sebagai berikut:

“Menurut hukum gereja katolik, perkawinan mereka (kawin campur.pen) itu bukanlah sebuah sakramen, sebab salah satu tidak beriman kristen. Hukum gereja katolik memang dapat mengakui sahnya perkawinan mereka, asal diteguhkan secara sah, namun tidak mengakui perkawinan mereka sebagai sebuah sakramen (sebuah perayaan iman gereja yang membuahkan rahmat berlimpah. Pen). (hal. 18-19).

Lebih jauh dikatakan dalam buku ini:

“Kesulitan lain muncul dalam hal memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka. Pihak Katolik mempunyai kewajiban untuk mendidik anak-anak dalam semangat katolik, bahkan ia harus berusaha sekuat tenaga untuk membaptis mereka secara katolik. Padahal kewajiban yang sama juga ada pada pihak yang beragama Islam.”(hal. 77).

Karena memandang penting dan strategisnya soal perkawinan ini, maka pada awal tahun 1970-an, umat Islam Indonesia telah mengerahkan segala daya upaya untuk menggagalkan RUU Perkawinan sekular yang diajukan pemerintah ke DPR ketika itu. Prof. HM Rasjidi, menteri agama pertama RI, dalam artikelnya di Harian Abadi edisi 20 Agustus 1973, menyorot secara tajam RUU Perkawinan yang dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan:

“Perbedaan karena kebangsaan, suku, bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.”

Pasal dalam RUU tersebut jelas ingin mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 16 yang menyatakan: “Lelaki dan wanita yang sudah dewasa, tanpa sesuatu pembatasan karena suku, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk kawin dan membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dengan hubungan dengan perkawinan, selama dalam perkawinan dan dalam soal perceraian.”

Dalam tulisannya tentang Perbandingan Hak-hak Asasi Manusia Deklarasi PBB dengan Islam, khusus tentang pasal 16 tersebut, Hamka menulis kesimpulan yang sangat tajam: “Oleh sebab itu dianggap kafir, fasiq, dan zalim, orang-orang Islam yang meninggalkan hukum syariat Islam yang jelas nyata itu, lalu pindah bergantung kepada “Hak-hak Asasi Manusia” yang disahkan di Muktamar San Francisco, oleh sebagian anggota yang membuat “Hak-hak Asasi” sendiri karena jaminan itu tidak ada dalam agama yang mereka peluk.” (Hamka, Studi Islam, (1985:233).

Jika kaum sekular di awal 1970-an berusaha meluluskan sebuah RUU Perkawinan sekular yang meninggalkan agama, maka kini sejumlah dosen UIN Jakarta, seperti Prof. Zainun Kamal dan Musdah Mulia, justru berusaha membuat hukum syariat baru, bahwa perkawinan antar agama adalah halal. Lebih jauh, Prof. Zainun Kamal bahkan sering bertindak sebagai penghulu swasta dalam perkawinan antar-agama.

Dengan sokongan lembaga-lembaga donor Barat seperti The Asia Foundation, apa yang dikerjakan oleh para ilmuwan agama dalam merusak hukum Islam ini adalah jauh lebih besar kadar kejahatan dan daya rusaknya. Sebab, yang mereka lakukan adalah merusak konsep kebenaran itu sendiri. Mereka berusaha menciptakan kebingungan dan ketidakpastian dalam hukum Islam.

Seperti kita ketahui, pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tahun 1974 menyatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam penjelasan pasal demi pasal menyatakan dengan tegas, bahwa: “Dengan perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Dengan legitimasinya sebagai guru besar bidang keagamaan di kampus berlabel Islam, maka para dosen penganjur perkawinan antar-agama itu berusaha meruntuhkan bangunan hukum Islam dalam soal perkawinan. Dengan posisinya itu, seolah-olah mereka memiliki otoritas di bidang hukum Islam, sehingga pendapatnya juga dianggap mewakili Islam. Toh selama ini, pimpinan kampus dan pihak pemerintah juga membiarkan saja perilaku para dosen tersebut. Sesuai dengan doktrin liberal, tidak ada penafsiran yang tunggal dalam soal hukum Islam. Mereka menyebarkan paham, perbedaan pendapat dalam soal apa saja adalah sah dan harus dihormati.

Tidak heran, setelah dikawinkan dengan Kalina (Muslimah) oleh Prof. Zainun Kamal, pesulap nyentrik Deddy Corbuzier (Katolik) merasa perkawinannya telah sah menurut agama. Ia berujar, “Yang penting, kami sah dulu secara agama.” (Tabloid C&R edisi 28 Februari-06 Maret 2005).

Memang, banyak cara merusak Islam. Tapi, kita tidak pernah risau dengan semua tindakan mereka tersebut. Toh, Islam adalah milik Allah. Masing-masing tindakan sudah disediakan balasan yang setimpal. Tindakan merusak Islam pasti akan berdampak kepada pelakunya sendiri. Jika tidak di dunia, pasti di akhirat. Wallahu A’lam. [Depok, 10 Jumadilawwal 1429 H/16 Mei 2008/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Foto: Dokumentasi pernikahan Nadia Madjid [gatra]

2 thoughts on ““Sekali Lagi, Tentang Perkawinan Antar Agama”

  1. Sistem perkawinan menurut ajaran Islam pada hakikatnya tidak memandang perbedaan suku bangsa dan warna kulit, tetapi yang terpenting ‘sama iman’-nya, seorang Muslimah sebaiknya dan bahkan wajib dengan seorang Muslim juga. Kalau pun akan menempuh suatu perkawinan yang pe;akunya berbeda agama, katakan Ahli Kitab, maka hanya kaum laki-laki Muslim saja yang diperbolehkan, sebaliknya tidak. Tetapi apakah kaum Ahli Kitab itu masih ada?. Ya para ahli agama Islam, ulama atau ustadz sajalah yang sangat mengetahuinya.

    Jika hal itu ditempuh, timbul pertanyaan bagaimana wujud pelaksanaan perkawinan seorang laki-laki Muslim dengan seorang perempuan Ahli Kitab?. Apakah boleh bapak si prempuan Ahli Kitab menjadi wali nikah anak kandungnya sendiri?.

    Menurut hemat saya, untuk pertanyaan terakhir, saya cendrung bapak si perempuan Ahli kitab bisa saja menjadi ‘wali nikah’ atas anak kandungnya tersebut. Karena, ijab qabul itu pada hakikatnya ‘bukti serah terima’ dan si wali boleh saja tidak harus seorang Muslim. Inilah wujud dan hakikat syiar Islam itu sendiri.

    Oleh karena itu, ajaran Islam itu sangat universal dan benar-benar diciptakan Allah SWT untuk hamba-hamba-Nya yang hidup di dunia ini, agar kita ini semua selamat di dunia dan di akhirat. Maha Benar Allah SWT yang telah menganugerahkan Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul-Nya.

  2. Saya sangat setuju dengan tulisan dan penjelasan ini. semoga semakin banyak orang yang membacanya dan semakin mempertegas bahwa ajaran islam itu tinggi dan tidak ada sistem manapun juga yang bisa menandinginnya !

Comments are closed.