Sanksi eliminasi ternyata nggak cuma menimpa akademia yang terendah persentase polling SMS-nya. Jurinya pun kebagian juga. Nggak percaya? Lihat aja penampilan Mbak Trie Utami sekarang. Meski bukan kedudukannya sebagai juri yang tereliminasi, tapi ada salah satu ciri khasnya yang tereliminasi. Bukan, bukan penilaian �pitch control’-nya yang menghilang. Coba lihat lagi gaya busana Mbak Iie sekarang. Yup, kini penyanyi bertubuh mungil ini tak lagi mengenakan penutup kepala (menyerupai daleman kerudung) yang selalu identik dengan pakaiannya. Ada apa neh dengan Mbak Iie?
Semenjak perceraiannya dengan sang suami, Andi Ananta, penampilan Mbak Iie memang beda! Doi memutuskan untuk menanggalkan penutup kepalanya dan beralih pada wig dengan beberapa helai rambut yang berwarna emas. Bahkan kini Mbak Iie tidak lagi takut untuk berpenampilan funky dengan tindikan di hidung dan lima buah tindikan di telinga kanan dan kirinya. Wuih, mo jualan anting Mbak? (maaf lho… karena sol ini sudah diketahui umum, jadi bukan sedang ngegosip, tapi sekadar ngasih komentar aja)
Otomatis perubahan yang terjadi pada penampilan juri killer AFI ini mengundang kontroversi. Banyak yang menyayangkan walau nggak sedikit yang mendukungnya. Yang mendukung punya pendapat, itu hak Mbak Iie untuk mengubah penampilan. Ngapain juga orang lain kudu sewot. Sementara yang menyayangkan mungkin merasa kehilangan salah satu sosok selebriti yang konsisten dengan pakaian �sopan’-nya. Gimana komentar Mbak Iie? Doi mengaku menyukai hal-hal yang aneh-aneh dan belum menjadi tren. Jadi ia selalu bereksperimen dengan dirinya sendiri (indosiar.com). Hati-hati lho Mbak dengan eksperimen, ntar jadi mutant lho! Hehehe…
Fenomena perubahan penampilan Mbak Iie, sebelumnya pernah terjadi juga pada Tya Subiakto setelah berstatus janda. Tahu dong Tya? Yup, doi adalah seorang conductor (bukan penghantar listrik lho) sekaligus pimpinan T&T Orchestra. Meski keputusannya menuai kontroversi. Tya tetep dengan pilihannya. “Saya tahu, saya punya hak pribadi untuk bisa memutuskan� ujar Tya saat ditanya komentarnya. (SCTV Online, 10/02/05)
Sobat, seandainya Mbak Iie atau Tya bukan selebriti, tentu sorotan media massa nggak akan tertuju pada mereka. Itu artinya, kecil kemungkinan ada yang meneladani �hijrah’ mereka. Tapi, berhubung mereka �bukan wanita biasa’ alias seorang public figure, besar kemungkinannya dijadikan teladan oleh para penggemarnya. Atau malah dijadikan penguat opini yang mengatakan bahwa terikat dengan syariat bagi seorang muslim, itu sebuah pilihan, bukan kewajiban. Gaswat kan?
Sebuah pilihan atau kewajiban?
Sobat muda muslim, terikat dengan aturan Allah Swt. dalam setiap perbuatan kita sehari-hari merupakan konsekuensi dari keislaman kita. Allah Swt. berfirman:
?????„?§?? ?ˆ???±???¨?‘???ƒ?? ?„?§?? ?????¤?’?…???†???ˆ?†?? ??????‘???‰ ????????ƒ?‘???…???ˆ?ƒ?? ???????…???§ ?´???¬???±?? ?¨?????’?†???‡???…?’ ?«???…?‘?? ?„?§?? ?????¬???¯???ˆ?§ ?????? ?£???†?’?????³???‡???…?’ ????±???¬?‹?§ ?…???…?‘???§ ?‚???¶?????’???? ?ˆ???????³???„?‘???…???ˆ?§ ?????³?’?„?????…?‹?§
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS an-Nis?¢ [4]: 65)
Mengomentari ayat ini, al-Jashash (seorang ahli tafsir) berkata: “Ayat ini menunjukkan bahwa siapa pun yang menolak salah satu perintah Rasulullah saw. telah keluar dari Islam: sama saja apakah penolakan itu disebabkan karena ragu, tidak menerima, atau menolak untuk tunduk. Inilah pendapat para sahabat ketika mereka menghukumi murtad orang yang menolak membayar zakat, membunuh mereka, dan menawan tawanan mereka. Sebab, Allah telah menetapkan bahwa siapa saja yang tidak menerima keputusan Nabi saw. dan hukumnya tidak termasuk ahl al-im?¢nâ€? (aj-Jashash, Ahkam al-Quran, Vol. 3, Beirut, Dar al-Fikr, 1993, hlm. 302)
Gencarnya serangan gaya hidup individualis bin egois yang dihembuskan musuh-musuh Islam bikin sebagian dari kita jadi males untuk saling mengingatkan dan saling menasihati antar saudara. Takut disangka turut campur privasi orang lain. Hasilnya, sodara-sodara kita ada yang dengan seenaknya mempermainkan aturan Allah Swt. karena nggak ada yang ngoreksi. Ikutan aturan hidup Islam disikapinya sebagai sebuah pilihan yang kadang-kadang bisa diambil atau dicuekkin seenak udel. Padahal Allah Swt. mengingatkan: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.� (QS al-Ahzab [33]: 36)
Jadi, terikat dengan aturan Allah dalam keseharian kita merupakan kewajiban, bukan sebuah pilihan. Nggak ada alasan buat kita yang udah dewasa untuk menghindarinya. Kecuali karena 3M: Masih kecil, Menjadi orang gila, atau Murtad.
Dorongan untuk terikat syariat
Sobat, secara umum kita begitu hormat kepada temen-temen yang berani en semangat nunjukkin identitasnya sebagai seorang muslim. Mulai dari cara berpakaian, perkataan, hingga perbuatannya yang berusaha meneladani Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Busananya rapat menutup aurat, pergaulannya terjaga dari kontaminasi gaul bebas, atau perkataannya yang penuh hikmah dan nggak sungkan untuk ngingetin sodaranya. Pokoknya karakter ikhwan atau akhwat banget deh. Tapi….
Ada juga lho di antara mereka yang bikin kita kecewa. Bukan karena doi lupa bayar hutang atau jarang nraktir kita. Justru karena keistiqomahan mereka yang nggak awet. Nggak ada angin nggak ada hujan, dia berani menanggalkan busana muslimahnya demi mengubah penampilan. Nggak ada gempa nggak ada tsunami, pergaulan bebas dilakoninya dalam aktivitas bernama berpacaran. Nggak ada banjir apalagi longsor, aktivitas dakwahnya kian meredup. Sikapnya yang terkesan plin-plan nggak cuma mencoreng nama baiknya, tapi ajaran Islam sering jadi sasaran komentar miring dengan perilaku mereka. Disangkanya terikat dengan syariat dalam lingkungan sekuler kayak sekarang cuma makan ati. Makanya banyak yang gugur di tengah jalan. Coba, gimana jadinya ini?
Menurut Muhammad Muhammad Ismail dalam �Bunga Rampai Pemikiran Islam’, dorongan seorang muslim untuk terikat syariat tergantung pada kekuatan yang dimilikinya. Semakin besar kekuatan yang dimilikinya, semakin kuatlah untuk tetep istiqomah. Kekuatan itu di antaranya: kekuatan materi/fisik, kekuatan moral/jiwa, dan kekuatan rohani.
Kekuatan materi/fisik bisa berupa dukungan harta yang disubsidi ortu atau adanya teman-teman senasib yang membakar semangatnya untuk tetep istiqomah. Tapi ketika subsidi mulai dicabut, nggak sedikit dari temen kita yang mempertaruhkan keistiqomahannya di dunia kerja. Lingkungan sekuler bin kapitalis di dunia kerja lambat laun menuntutnya untuk steril dari syariat. Ketika kita bercerai dengan temen senasib atau terpisah dari �sang target’, kekuatan itu seolah hilang. Kita merasa sendiri. Dan tak ada semangat untuk tetep istiqomah.
Kekuatan moral/jiwa sedikit lebih awet dibanding materi/fisik. Sebab berasal dari dalam diri kita untuk meraih kebersamaan, ketenangan, penghargaan, atau menumbuhkan jiwa pahlawan. Sayangnya, kekuatan ini lebih didominasi oleh perasaan yang tentu saja bisa berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya. Persis kayak jadwal televisi atau harga barang yang tercantum dalam brosur penjualan. Ketika kekuatan rasa itu sulit diraih, keistiqomahan pun kian tersisih.
Kekuatan ruhani yang lahir dari kesadarannya akan hubungan dengan Allah Swt. terbukti paling awet yang bisa bikin kita tetep istiqomah sepanjang sejarah. Ciiieee…Yup, karena Dia yang memberi kita rizki sehingga kita nggak khawatir melarat jika harus mengorbankan karir di dunia kerja untukNya. Dia akan selalu bersama hambaNya yang sholeh, sehingga kita nggak perlu bersedih jika ditinggal teman senasib atau terpisah dari �sang target’. Dia yang menyediakan pahala dan surga sebagai penghargaan atas amal baik kita di dunia baik yang biasa maupun yang ruarr biasa meski dianggap sepele di mata manusia.
Dari beberapa kekuatan di atas, kita bisa evaluasi diri. Kekuatan manakah yang bersemayam dalam diri kita. Yang paling penting, kudu ada upaya menumbuhkan kekuatan ruhani yang menyamai semboyan lampu Philips: Terus Terang dan Terang Terus!
Merawat semangat dengan ilmu
Sobat, terikat dengan syariat setiap saat memang bukan perkara mudah. Apalagi kita selaku manusia besar kemungkinan untuk berbuat lupa dan khilaf. Rasulullah saw. juga udah wanti-wanti kalo keimanan kita kadang dalam keadaan naik, kadang turun. Pas lagi turun, semangat kita jadi mengendur. Gejalanya, kita jadi malas untuk lebih terikat dengan syariat. Pada kondisi yang akut, bisa menyebabkan kita berbuat dosa besar hingga murtad. Iih tatuut! Kondisi ini yang sering disebut dengan futur. Makanya kita kudu pandai merawat semangat kita ketika keimanan sedang naik biar nggak jatuh tersungkur saat menghadapi futur. Caranya… caranya… caranya?!
Rasulullah saw. bersabda: “Setiap amal itu ada masa semangatnya, dan pada setiap masa semangat itu ada masa futur (bosan). Barang siapa yang ketika futur tetap berpegang kepada sunnahku, maka sesungguhnya ia telah memperoleh petunjuk dan barangsiapa yang ketika futur berpegang kepada selain sunnahku, maka sesungguhnya ia telah tersesat� (HR al-Bazaar)
Hadis ini ngasih kita petunjuk kalo futur menghinggapi diri kita, jalan terbaik adalah dengan tetap berpegang teguh kepada aturan Islam. Hmm.. tapi kan justru masa-masa itu kita malas untuk tetep terikat syariat?
Iya, makanya biar tetep ada semangat meski kondisi lagi sekarat kita kudu tumbuhkan kekuatan dalam diri kita. Bukan kekuatan materi, fisik, moral, atau jiwa yang lemah, tapi kekuatan ruhani alias kesadaran akan hubungan dengan Allah Swt. Kekuatan seperti yang dimiliki para sahabat Rasulullah saw. sehingga mereka rela mewakafkan dirinya, keluarganya, hartanya, pikiranya, dan seluruh waktu hidupnya untuk terikat dengan syariat. Dan kekuatan ini mereka peroleh dengan mengenal Islam lebih dalam. Menimba ilmu untuk diyakini, dipahami, diamalkan, dan didakwahkan.
Jadi, cara tepat untuk merawat semangat adalah dengan giat menimba ilmu Islam yang pasti bermanfaat. Awalilah dengan meluangkan waktu untuk hadir di tempat pengajian, bertanya tentang Islam kepada teman, baca media cetak Islam seperti buletin STUDIA kesayanganmu ini (promosi nih yee…), atau terjun dalam kepanitiaan acara-acara Islam. Kemudian songsonglah kegiatan-kegiatan di atas dengan aktivitas dakwah berjamaah. Agar ada yang mengingatkan dan menasihati kala kita terkena wabah futur. Sehingga bukan hil yang mustahal, eh kebalik, hal yang mustahil untuk tetep kobarkan semangat terikat syariat. But, semangat aja belum cukup kalo tanpa ilmu. Oke? [hafidz]
(Buletin STUDIA – Edisi 240/Tahun ke-6/18 April 2005)