“Apakah konsep syakhshiyah sudah ada pada zaman shahabat?” Ini pertanyaan menarik dan kritis yang memerlukan jawaban yang tepat agar kedudukan konsep syakhshiyah dapat dipahami secara proporsional. Pertama-tama perlu dipahami bahwa konsep syakhshiyah adalah konsep tentang fakta, khususnya fakta tentang struktur kepribadian manusia. Dengan demikian, konsep syakhshiyah sepenuhnya didasarkan pada penelaahan yang cermat terhadap fakta manusia, misalnya tentang bagaimana manusia berpikir dan bagaimana manusia mengatur perilakunya. Dari situlah maka muncul uraian tentang unsur-unsur penyusun kepribadian manusia, yakni aqliyah (cara berpikir) dan nafsiyah (sikap jiwa), atau muncul uraian tentang kebutuhan jasmani (al hajat al udhwiyah) dan naluri (al ghara`iz).
Dengan kata lain, konsep syakhshiyah bukanlah konsep tentang nilai, yang perumusannya harus didasarkan pada nash-nash Al Qur`an dan Al Hadits. Konsep syakhshiyah berbicara fakta apa adanya (das sein), bukan berbicara tentang apa yang seharusnya (das sollen). Konsep syakhshiyah mencoba merumuskan struktur kepribadian manusia secara universal. Artinya, konsep tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan struktur kepribadian manusia siapa saja tanpa mempedulikan agama, ideologi, bangsa, asal-usul, dan identitas lainnya. Dengan demikian, kedudukan konsep syakhshiyah sama halnya dengan konsep berpikir atau definisi akal. Telah diketahui, bahwa akal atau berpikir adalah proses pemindahan fakta melalui indera ke dalam otak disertai dengan informasi sebelumnya yang digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut. Definisi ini diperoleh dari fakta kegiatan berpikir manusia, tidak dirumuskan dari ayat atau hadits tertentu. Dengan kata lain, definisi ini bersifat universal atau dapat diberlakukan kepada manusia secara umum.
Definisi dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah ada 2 (dua) macam : Pertama, definisi syar’i (at ta’rif asy syar’i), Kedua, definisi non-syar’i (ta’rif ghair asy syar’i). Definisi syar’i adalah definisi yang perumusannya didasarkan pada dalil-dalil syar’i, misalnya definisi sholat, shaum, zakat, haji, jihad, dan seterusnya. Pengertian dari masing-masing kata-kata ini tidak dapat disandarkan pada makna bahasanya, karena syara’ telah menggunakan kata-kata tersebut dengan kandungan makna baru. Sholat, misalnya, arti bahasanya adalah do’a (ad du’a). Namun secara syar’i –yakni berdasarkan nash-nash syar’i khususnya nash-nash as sunnah– sholat adalah “aqwaalun wa af’aalun muftatahatun bit takbiir wa mukhtatamatun bit tasliim” (sekumpulan perkataan/doa dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam).
Dengan demikian, definisi syar’i seperti ini sebenarnya adalah hukum syara’, karena didasarkan pada dalil syar’i. Hanya saja ia merupakan hukum kulli (hukum menyeluruh) yang dapat diterapkan untuk banyak hukum, bukan hukum juz’i (hukum parsial) yang hanya menerangkan satu macam hukum. Adapun definisi non-syar’i adalah definisi yang perumusannya tidak didasarkan pada dalil-dalil syar’i. Perumusannya bisa didasarkan pada fakta, urf (kebiasaan), atau kesepakatan para ahli dalam suatu disiplin ilmu, atau yang lainnya. Misalnya saja berbagai definisi dalam ilmu nahwu dan sharaf, seperti definisi fa`il, fi’il, maf’ul bihi, isim fa’il, isim maf’ul, dan seterusnya. Fa`il, misalnya, didefinisikan sebagai “isim yang di’rab rafa’ yang menunjukkan pelaku suatu perbuatan yang terletak setelah fi’il mabni ma’lum.” Definisi ini tidak didasarkan pada ayat ini atau hadits itu, tapi didasarkan pada fakta bagaimana orang-orang Arab menggunakan lafazh-lafazh Arab yang berkedudukan sebagai fa`il. Meskipun tidak didasarkan pada dalil syar’i, namun perumusan definisi non-syar’i tetap disyaratkan tidak bertentangan dengan Aqidah Islamiyah, yang terwujud dalam dalil-dalil syar’i, yang terlahir dari Aqidah Islamiyah. Bila kandungan makna suatu definisi non-syar’i bertentangan dengan dalil syar’i, maka definisi itu tidak boleh digunakan. Bila tidak bertentangan, maka boleh digunakan, meskipun definisi itu baru ada pada masa sekarang dan sama sekali belum dikenal pada masa Rasulullah dan shahabat, ridhwanullah ‘alaihim.
Kedudukan konsep syakhshiyah, sama halnya dengan definisi non-syar’i tersebut. Dia bukan termasuk konsep yang perumusannya wajib didasarkan pada ayat ini atau hadits itu, tetapi cukup disyaratkan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i. Sebab konsep syakhshiyah adalah konsep yang perumusannya bertolak dari fakta empirik, bukan konsep yang berbicara hukum atau nilai.
Dengan demikian, selama konsep syakhshiyah tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i, ia adalah absah dan shahih serta dapat dimasukkan ke dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang menjadi milik kaum muslimin. Tidak menjadi masalah bila konsep ini sama sekali belum dikenal pada zaman shahabat, karena hal itu tidak disyaratkan dan tidak diwajibkan syara’. Keabsahan suatu konsep dalam Tsaqafah Islamiyah dinilai dari segi kesesuaiannya dengan dalil-dalil syar’i, yaitu Al Kitab dan As Sunnah, bukan ditinjau dari segi apakah suatu konsep sudah dikenal atau tidak dikenal pada masa shahabat. Jika keabsahan suatu konsep harus dibuktikan dengan dikenalnya konsep itu pada masa shahabat, niscaya banyak disiplin ilmu keislaman yang harus dianulir. Misalnya saja definisi fa’il dalam ilmu nahwu seperti dicontohkan di atas. Namun nyatanya tidak seorang pun di dunia ini yang mengatakan bahwa definisi fa’il itu batil karena para shahabat tidak pernah mengenalnya.
Benar, konsep syakhshiyah belum ada pada masa shahabat, namun konsep ini dapat digunakan untuk menganalisis syakhshiyah para shahabat. Kita dapat mengatakan Abu Bakar RA adalah sebuah sosok syakhshiyah Islamiyah, karena beliau memang mempunyai aqliyah dan nafsiyah yang Islamiyah. Ini sama halnya kalau kita menyatakan bahwa para shahabat dalam berbahasa Arab ternyata mempraktekkan teori tentang nahwu-sharaf secara tepat. Analisis suatu disiplin ilmu dengan menengok masa lalu –atau masa sebelum lahirnya suatu konsep— adalah suatu hal yang mungkin. Bahkan ini dapat menunjukkan kesahihan suatu konsep, karena konsep yang benar adalah konsep yang sesuai dengan fakta dan berlaku secara universal melintasi batas waktu dan tempat.
Formulasi atau perumusan suatu definisi pada prinsipnya adalah untuk memudahkan. Bisa dibayangkan betapa susahnya orang memahanmi suatu disiplin ilmu bila tak ada satu pun definisi yang bisa dimengerti sebagai dasar memasuki suatu disiplin ilmu. Demikian pula halnya perumusan konsep syakhshiyah. Tujuannya adalah untuk memudahkan memberikan gambaran yang jelas dalam benak mengenai realitas kepribadian manusia yang demikian kompleks. Atas dasar pemahaman yang jelas mengenai kerangka kepribadian manusia inilah, konsep syakhshiyah selanjutnya dapat digunakan untuk mengarahkan langkah bagaimana membentuk kepribadian manusia. Di samping itu, konsep syakhshiyah juga dapat digunakan untuk mencermati dan mengkritisi konsep lain tentang kepribadian manusia yang tidak sesuai dengan Islam. Misalnya teori kepribadian manusia yang dikembangkan oleh para psikolog Barat, seperti Sigmund Freud, dan lain-lain, yang keliru dalam memahami fakta kepribadian manusia (Lihat Paulus Budiraharjo (ed), Teori Kepribadian Mutakhir).
Namun perlu dicatat, meskipun konsep syakhshiyah merupakan deskripsi mengenai kerangka atau struktur kepribadian manusia secara universal, dia tetap berkaitan dengan nilai-nilai Islam, yaitu tatkala kita membicarakan standar-standar yang digunakan manusia dalam berpikir (tafkir) dan kecenderungannya (muyul). Di sinilah aspek pandangan hidup Islam masuk. Aqliyah adalah kenyataan yang bersifat universal, yang ada pada setiap orang, tetapi aqliyah Islamiyah, adalah aqliyah yang wajib dimiliki seorang muslim, yaitu berpikir terhadap suatu fakta berdasarkan perspektif Aqidah Islamiyah. Nafsiyah juga demikian. Dia adalah suatu kenyataan yang universal, ada pada setiap manusia. Tetapi nafsiyah Islamiyah, merupakan nafsiyah yang wajib dimiliki oleh setiap muslim, yakni berkecenderungan sesuai dengan tuntunan syariat atau memenuhi segala kebutuhan berdasarkan tolok ukur hukum syara’ semata, bukan yang lain. [ Muhammad Shiddiq Al Jawi ]