Sunday, 24 November 2024, 09:18

Banyak orang menyambut gembira kemenangan Barack Hussein Obama. Apakah mungkin seorang Obama akan mampu mengubah kebijakan terhadap Israel semacam ini? Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-248

Oleh: Adian Husaini

Rabu (6 November 2008) siang waktu Indonesia, Barack Hussein Obama akhirnya jadi Presiden Amerika Serikat ke-44. Dunia gembira. Sorak sorai di mana-mana. Tak sedikit yang mengucurkan air mata. Anak imigran berkulit hitam keturunan Afro-Amerika berhasil menjebol tembok rasialis yang kokoh tertanam 232 tahun sejak Amerika merdeka, 1776.

Tak terkecuali di Indonesia. Sejumlah stasiun TV menayangkan saudara-saudara dan kawan-kawan Obama yang bersuka cita, bangga, berurai air mata bahagia menyambut kemenangan Obama. Dia pun dapat julukan mentereng: ‘anak Menteng’. Syahdan, dia pernah tinggal 3,5 tahun di Indonesia.

Ya, Obama membuat sejarah. Di Amerika dan di dunia. Umat Islam pun turut gembira. Sejumlah tokoh yang biasa muncul di media mengumbar kata-kata penuh harap. Obama akan beda dengan pendahulunya, George Bush, yang sering dijuluki sang pengumbar angkara. ??Obama akan mau bicara; bukan hanya mengumbar senjata.

Obama muncul ketika dunia? sedang sakit. Amerika sakit. Eropa sakit. Indonesia juga sakit.? Krisis ekonomi, kerusakan lingkungan, perang yang tiada henti, semakin membuat banyak penduduk bumi frustrasi. Cara apalagi yang bisa digunakan untuk menyulap dunia menjadi rumah damai? ?Banyak yang kemudian putus asanya. Patah arang.

Padahal, dunia sedang merindukan obat ?mujarab untuk keluar dari krisis. Dan Obama muncul pada saat yang tepat. Penampilannya luar biasa. Pidatonya menyihir milyaran umat manusia. Dia mengawali pidato dengan kata-kata memukau: “If there is anyone out there who still doubts that America is a place where all things are possible, who still wonders if the dream of our founders is alive in our time, who still questions the power of our democracy, tonight is your answer”.

Luarrr biasa! Jika ada yang masih ragu bahwa di Amerika segala sesuatu bisa terjadi, kata Obama, maka dia sudah membuktikannya! Dia bisa jadi Presiden Amerika dalam usia belia. Keturunan warga kulit hitam yang ratusan tahun dijadikan sebagai budak dan diinjak-injak, justru kemudian membalik sejarah. Dia menjadi pemimpin negara adikuasa. ?Itu Obama bin Hussein!

Jangan terlalu berharap!

Kemenangan Obama tentu menyiratkan harapan besar. Setidaknya, masih ada yang bisa diharap. Tapi, untuk mengubah kebijakan luar negeri AS, bukanlah perkara mudah. Mantan pejabat Deplu Amerika, William Blum, dalam bukunya Rouge State: A Guide to the World’s Only Superpower (2002), pernah mengajukan resep untuk mengakhiri kemelut internasional dan menciptakan rasa aman bagi warga AS: (1) minta maaf kepada semua janda dan anak yatim, orang-orang yang terluka dan termiskinkan akibat ulah imperialisme AS, (2) umumkan dengan jiwa tulus ke seluruh pelosok dunia, bahwa? intervensi global AS telah berakhir (3)? umumkan bahwa Israel tidak lagi menjadi negara bagian AS yang ke-51 (4) potong anggaran belanja pertahanan AS, sekurangnya 90 persen.

Kata Blum, itulah program tiga harinya di Gedung Putih, andaikan dia diangkat menjadi Presiden AS. Hanya saja, katanya, “On the fourth day, I’d be assassinated.”

Blum menggambarkan betapa peliknya problem politik luar negeri AS. Sifat ofensifnya sudah sangat mencengkeram dunia. Tidak mudah bagi Presiden siapa pun untuk mengubah tradisi imperialistik semacam itu.? Film JFK garapan Oliver Stone menggambarkan bagaimana terbunuhnya John F. Kennedy juga tak lepas dari benturannya dengan ‘kepentingan besar’? tersebut. Mampukah Obama membuat sejarah baru dalam hal ini? Kita tunggu saja! Toh, dia sudah berpidato: “America is a place where all things are possible.”

Rumus serupa juga pernah disampaikan perumus teori dependensia dan strukturalisme, Prof Johan Galtung, dalam wawancaranya dengan harian Kompas di Jakarta (17/11/2002).? Ketika itu, Galtung ditanya tentang? penyelesaian soal peristiwa 11 September 2001 dan program perang melawan terorisme yang dipimpin Amerika Serikat (AS). Jawab Prof. Galtung: “Dibanding serangan yang pernah dilakukan teroris, terorisme negara yang dilakukan AS jauh lebih berbahaya karena menggabungkan fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Serangan AS terhadap Afganistan memenuhi kriteria tindakan teroris.”

Penerima Right Livelihood Award tahun 1987 ini mengaku berulangkali menjawab pertanyaan soal serangan 11 September 2001: “Tangkap pelakunya dan ubah kebijakan luar negeri AS!” ??Ia juga berkirim surat kepada Presiden AS George W Bush – yang isinya meminta AS mengubah politik luar negeri, mengakui negara Palestina, meminta maaf karena sering mencampuri urusan negara lain, melanggar hukum internasional, dan tidak menghormati Islam. Tapi, suratnya, memang? tidak digubris. “Saya tidak tahu apakah Bush membaca surat itu. Tetapi, yang dilakukan justru sebaliknya,” ujarnya.

Imperialisme Barat yang melahirkan kezaliman global, seperti yang dinyatakan Blum bukanlah isapan jempol belaka. Mengutip pendapat Prof. Noam Chomsky, dalam bukunya, Year 501: The Conquest Continues, Ketua Just World Trust (JUST) Malaysia, SM Mohammed Idris menulis:

“Penaklukan bagi Dunia Baru, dalam sejarah peradaban, telah berakibat pada dua katastrofi demografik yang sangat luas, yang tidak saling berkaitan: pemusnahan yang sungguh-sungguh atas penduduk susku-suku asli yang tinggal di kawasan Barat dan penghancuran bangsa-bangsa Afrika dengan memperbudak penduduknya dan memperjualbelikannya dalam ekspansi besar-besaran demi memenuhi keserakahan para penakluk… Ketika keadaan telah berubah, tema fundamental dari penaklukan tetap bertahan dalam vitalitas dan daya lentingnya, dan akan terus berlanjut sedemikian sehingga dalam kesadaran tentang sebab-sebab ketidakadilan nan ganas yang betul-betul dikemukakan secara jujur dan terbuka.” (Lihat, Candra Muzaffar dkk., Human’s Wrong: Rekor Buruk Dominasi Barat atas Hak Asasi Manusia, (Yogya: Pilar Media, 2007), hal. 446).

Untuk mempertahankan hegemoninya, berbagai instrumen – politik, ekonomi, budaya, ideologi, militer – digunakan. Hingga kini, meskipun didesak sebagian besar negara-negara dunia, AS dan sekutunya tetap enggan melepas hak istimewa ‘veto’ di PBB. Hak istimewa atas penguasaan persenjataan nuklir juga terus dipertahankan. Sebab, AS dan sekutunya memang memposisikan diri sebagai “malaikat” dan musuh-musuh mereka diposisikan sebagai “poros setan” (axis of evil). Dalam kasus dunia Islam, hak istimewa Negara Yahudi Israel tetap dilindungi, meskipun laporan kebiadaban dan pelenggaran HAM Israel telah? menumpuk di markas PBB.? Setiap Presiden AS – baik dari Partai Demokrat atau Republik – masih tetap menjalankan politik luar negeri yang tidak masuk akal? dalam membela negara zionis tersebut.

Literatur yang mengupas hubungan spesial antara AS dan Israel sangat melimpah. Bernard Reich, misalnya, ?dalam artikelnya berjudul ?The United States and Israel: The Nature of a Special Relationship (yang dimuat dalam buku The Middle East and The United States:? A Historical and Political Reassessment (ed. David W. Lesch), Westview Press, 1996),? menggambarkan tradisi tiap Presiden AS untuk membuat pernyataan berisi komitmen untuk mempertahankan hubungan spesial antara AS dan Israel. Berbagai upaya perdamaian Israel-Palestina pertama kali harus menjamin kepentingan Israel. untuk

Presiden Bill Clinton, misalnya, membuat pernyataan: “In working for peace in the Middle East, a first pillar is the security of Israel.”

Bantuan-bantuan AS terhadap Israel yang sangat fantastis diungkap oleh Paul Findley dalam bukunya Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the US-Israeli Relationship.? Setiap tahun, negara Yahudi berpenduduk sekitar 6 juta jiwa ini menerima bantuan AS yang jumlahnya melampaui bantuan yang diberikan pada negara-negara lainnya. Sejak tahun 1987, bantuan ekonomi dan militer langsung berjumlah 3 milyar USD atau lebih. Antara 1949 sampai akhir 1991, pemerintah AS telah memberikan dana senilai 53 milyar USD kepada Israel dalam bentuk bantuan maupun keuntungan-keuntungan istimewa. Jumlah itu setara dengan 13 persen dari semua bantuan ekonomi dan militer AS ke seluruh dunia dalam kurun yang sama. Sejak perjanjian damai Mesir-Israel tahun 1979 sampai 1991, jumlah total bantuan AS ke Israel mencapai 40,1 milyar USD, atau setara dengan 21,5 persen dari semua bantuan AS, termasuk semua bantuan bilateral maupun multilateral. Tahun 1992, Senator Robert Byrd dari Virginia Barat, mengungkapkan data-data yang menunjukkan begitu royalnya bantuan AS kepada Israel. Dia katakan: “Kita telah memberikan bantuan luar negeri kepada Israel selama beberapa dasawarsa dengan jumlah dan syarat-syarat yang belum pernah diberikan kepada satu negeri mana pun di dunia ini. Sekutu-sekutu Eropa kita, sebagai perbandingan, hampir tidak memberikan apa-apa.”

Apakah mungkin seorang Obama akan mampu mengubah kebijakan terhadap Israel semacam ini?? Hingga kini, tanda-tanda itu belum ada sama sekali! Kondisi internal politik AS, kekuatan lobi Yahudi, dan dinamika politik dalam negeri Israel sendiri, beberapa kali menjadi faktor penghambat pembentukan negara Palestina merdeka. Perjanjian Camp David II? di Presiden Clinton berakhir? dengan kegagalan. Presiden George W. Bush sempat? berkoar akan merealisasikan pembentukan negara Palestina tahun 2005. Tapi, ujungnya juga kegagalan. Memang, secara substansial, Obama diduga akan sama saja dengan pendahulunya. Tapi, apa salahnya berharap ada perubahan. Toh Obama sudah terlanjur bicara: “America is a place where all things are possible.”

Soal Palestina dipandang oleh berbagai kalangan sebagai isu terpenting dalam penyelesaian masalah terorisme. Berbagai pemimpin dunia Islam sudah mengimbau agar AS mengubah kebijakan anti-terornya yang jelas-jelas menganakemaskan Israel. Kelompok perlawanan Hamas dicap sebagai teroris. Sedangkan Israel justru diangkat sebagai sekutu utama dalam pemberantasan terorisme. Bahkan, Prof. Chomsky sendiri tak segan-segan mengkritik negaranya: “We should not forget that the US itself is a leading terrorist state.

Masalahnya lebih pelik ketika isu terorisme bukanlah isu yang harus diselesaikan, tetapi justru isu yang direkayasa untuk memberikan justifikasi keberlangsungan industri persenjataan di AS. Jika tidak ada musuh lagi, peperangan tiada lagi, bagaimana nasib industri senjata? Maka, tidaklah berlebihan, ketika Huntington menulis dalam buku populernya, The Clash of Civilizations and the Remaking of ?World Order (1996), bahwa keberadaan musuh harus tetap dipertahankan. “For self definition and motivation people need enemies,” tulis Huntington.

Pasca Perang Dingin, hubungan AS-Dunia Islam bahkan lebih pelik lagi. Strategi preemptive strike (serangan dini) yang dijalankan AS semakin menggencarkan penyebaran paham liberal keagamaan di dunia Islam. AS mengucurkan dana besar-besaran kepada kelompok-kelompok dan kalangan Muslim tertentu untuk membangun apa yang disebutnya sebagai ‘Islam progresif’. Isu-isu liberalisasi, kesetaraan gender, pluralisme agama, multikulturalisme, dan sebagainya menjadi isu-isu favorit bagi AS dan LSM-LSM bentukannya.

Dalam masalah ini, AS bertindak lebih jauh dibanding kolonial Belanda dulu. Kebijakan untuk mengubah kurikulum dan pemikiran Islam dijadikan sasaran penting oleh AS dan negera-negara Barat lain. Ini pernah diungkapkan oleh Menhan AS, Donald Rumsfeld. Dengan alasan membendung arus terorisme, Donald Rumsfeld, pada 16 Oktober 2003, meluncurkan sebuah memo: ?”AS perlu menciptakan lembaga donor untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang radikal menjadi moderat. Lembaga pendidikan Islam bisa lebih cepat menumbuhkan teroris baru,? lebih cepat dibandingkan kemampuan AS untuk menangkap atau membunuh mereka. (Republika, 3/12/2005).

Karena itu, tidak mudah bagi Obama untuk keluar dari ‘jaring-jaring kebijakan global’ seperti ini. Banyak pemimpin Barat yang menghendaki umat Islam mengubah pikirannya agar menyesuaikan diri dengan ‘dunia modern’. Dan tanpa disuruh pun, sudah banyak kalangan cendekiawan yang sudah menjalankan perintah Barat, karena keberhasilan program ‘cuci otak’.? Maka tidak heran, jika ekspor paham liberal ke tengah-tengah umat Islam tampaknya akan berjalan terus.? Apalagi, Partai Demokrat pun memiliki kebijakan moral dan agama yang lebih liberal dibanding Republik. Bisa-bisa, politik belah bambu akan terus dijalankan: kelompok-kelompok liberal di Indonesia akan semakin diangkat ke atas, dan kaum non-liberal semakin diinjak.

Identitas keislaman Obama bisa menjadi batu sandungan psikologis bagi dirinya. Tudingan bahwa dirinya akan lebih mendekat ke Islam, malah bisa membuat dia ingin menunjukkan sikap sebaliknya. Setidaknya, Obama akan bersikap jauh lebih hati-hati dalam soal Islam.? Maka, dalam kaitan ini, Obama diduga tidak akan banyak berbeda dengan pendahulunya. Politik Islam AS tetap berpegang pada norma internasional: diabdikan untuk kepentingan nasionalnya sendiri. Jadi, tidaklah realistis berharap terlalu banyak pada Obama. Hanya saja, sekali lagi, boleh-boleh saja berharap sedikit. Toh, Obama sudah terlanjur berkata, di Amerika, segala sesuatu mungkin saja terjadi: “America is a place where all things are possible.”

Jadi, dalam situasi yang berat tersebut, umat Islam sebaiknya tidak terlalu berharap serius pada seorang Obama. ?Kemenangan Obama adalah sebuah drama (tontonan) yang menarik.? Ibarat obat sakit kepala, Obama bisa meringankan pusing sejenak. Nantinya, entahlah!? Tentu, lebih menarik andaikan tontonan ini dilanjutkan ke babak berikutnya: Obama bin Hussein bertemu dengan Osama bin Ladin.? Dua tokoh puncak dunia bertemu. Dunia mungkin akan segera damai. Pabrik senjata gulung tikar. Tentara AS pulang kandang.? Ini memang mimpi. Tapi, bukankah kata Obama,? di AS semua bisa terjadi dan AS juga dibangun oleh mimpi para pendirinya?

Maka, tidak ada salahnya, kita bermimpi di atas mimpi. Toh mimpi masih bebas pajak di negara Republik Indonesia. [Depok, 7 November 2008/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

1 thought on ““Setelah Kemenangan Barack Hussein Obama”

Comments are closed.