Pemilu kali ini beda! Begitulah bunyi iklan yang kagak bosen-bosennya nongol menjelang pesta rakyat berlangsung. Se-telah delapan kali pelaksanaan pemilu (tahun 1955, 1971, 1977,? 1982, 1987, 1992, 1997, 1999) . Tahun 2004 ini emang beda. Tahu dong bedanya?
Pertama, kali ini para rakyat bisa milih langsung wakilnya yang duduk di lembaga perwakilan rakyat maupun duet pemimpin negeri ini. Kalo dulu, kita cuma nyoblos tanda gambar parpol. Lalu, parpol yang bakal nentuin siapa wakilnya yang duduk di kursi �basah’ MPR/DPR. Makanya dalam pemilu kali ini kita banyak nemuin tempelan foto-foto wakil rakyat dan pasangan capres-cawapres nampang di tembok, angkot, sampe telepon umum (untungnya nggak ada yang nempel di sampul buku surat Yaasin. Hehehe…)
Kedua, pemilu kali ini berjalan 3 putaran. Pemilu legislatif (milih wakil rakyat) tanggal 5 April yang diikuti 24 partai. Dan â€?semi final’ pemilu eksekutif (milih presiden) tanggal 5 Juli yang diikuti 5 pasang peserta. Kalo di semi final nggak ada pasangan yang memperoleh suara lebih dari 50%, maka berlangsung babak final pada tanggal 5 September yang hanya diikuti dua kandidat. Itu berarti 3 kandidat kudu tereliminasi alias angkat koper dari bursa ca (wa) presiden. Dan perlu dicatat, nggak ada perebutan juara ketiga lho! (emangnya turnamen sepakbola hehehe…).
Hiruk-pikuk kampanye Pemilu
Masa kampanye menjadi saat yang paling dinanti oleh masyarakat. Di sinilah tempatnya untuk ngasih dukungan kepada para kontestan pemilu. Sekaligus ajang yang pas buat nyari kaos atau souvenir gratisan. Asyiknya lagi, banyak calon wakil rakyat yang tiba-tiba jadi dermawan. Mereka rela merogoh kocek buat rehab mushola, bantuan sembako, sampe biaya bangun TPS demi menjaring simpati masya-rakat. Para peserta pemilu juga gencar bikin acara bakti sosial, panggung musik, tempel stiker, pasang spanduk sampe konvoi kenda-raan bermotor. Pokoknya meriah euy!
Biar kampanye sukses, pasti yang satu ini nggak boleh ketinggalan dan kudu ngalir deras. Yup, apa lagi kalo bukan: duit! Benda ini memang ajaib. Bisa masang spanduk, nempelin poster, diriin warung, bikin souvenir sampe pengerahan massa. Makanya nggak heran kalo tim sukses kontestan pilpres getol berekspe-disi mencari penampakkannya. Hasilnya bisa kita lihat. Pasangan Mega-Hasyim Rp 103,096 miliar, Wiranto-Wahid Rp 49,491 miliar, Sby-Kalla Rp 60,385 miliar, Amien-Siswono Rp 22,007 miliar, dan Hamzah-Agum Rp 2,75 miliar (Kompas, 05/07/04). Semuanya duit lho. Asli tanpa campuran daun. Gile beneer….dari mana ya duit sebuanyak itu?
Kalo menurut UU Pemilihan Presiden No. 23/2003, dana kam-panye Pilpres 2004 berasal dari 3 sumber yaitu dari capres sendiri, dari parpol yang mencalonkan dan dari pihak lain yang tidak mengikat seperti perseorangan dan badan usaha. Dari semua sumber, kayaknya aliran dana dari pihak ketiga yang mendominasi. Malah bisa meli-batkan pihak asing. Nah lho? Nggak bo’ong.
Sekjen Government Watch (GOWA) Andi Syahputera menuturkan, aliran dana asing dalam pemilu sudah menjadi rahasia umum, karena sudah terjadi sejak zaman Soeharto berkuasa. “Cuma permasalahan-nya, untuk membongkar aliran dana asing ini sangat sulit dilakukan dan susah dicari pembuktiannya�.? Biasanya aliran dana asing itu berasal dari pengusaha-pengusaha Cina, AS, dan Eropa yang punya kepentingan bisnis di Indonesia. Mereka ini sangat menginginkan pemimpin Indonesia yang bisa menstabilkan kondisi ekonomi dan keamanan di dalam negeri, untuk mengamankan bisnis mereka di Indonesia. (Eramuslim, 18/06/04).
Masa kampanye pemilu pun nggak luput dari pelanggaran. Ini yang bikin KPU pusing tujuh keliling lapangan senayan. Dalam pemilu legislatif aja, Mabes Polri telah menerima laporan 1.009 kasus pelanggaran selama masa kampanye dan hari H Pemilihan Umum (Pemilu) 5 April di seluruh tanah air. (Tempo interaktif, 08/05/04). Sementara dalam masa kampanye pemilu eksekutif, panwaslu mencatat 267 pelanggaran administrasi dan 63 pelanggaran pidana. (Panwaslu, 02/07/04).
Nggak ketinggalan, janji-janji surga dari para kontestan pun mewarnai masa kampanye. Mewujudkan cita-cita reformasi, penyediaan lapangan kerja, meminimalisasi biaya pendi-dikan, pemberantasan KKN, peningkatan taraf ekonomi, sampai upaya pengentasan kemis-kinan begitu laku �dijual’ oleh para jurkam (juru kampanye lho bukan juragan kambing!). Sayangnya, nggak ada satu pun partai politik Islam atau kontestan pilpres yang terang-terangan berani menyuarakan Islam dan mengkritisi sistem sekular. Gaung penerapan syariat Islam nyaris tak terdengar saat kampanye. Padahal mereka punya kesempatan untuk itu. Apa karena �dagangan’ syariat Islam nggak laku �dijual’ di atas panggung kampanye? Hmm…bisa jadi tuh!
Udah gitu, masa kampanye yang idealnya jadi ajang untuk mengenal lebih dekat calon yang akan dipilih, minim dari pemaparan visi, misi, dan program yang akan dijalankan. Malah salah satu peserta pilpres dari moncong putih menuturkan tak perlu menyampaikan visi, misi, serta prog-ram yang akan dilakukan ca (wa) pres jika terpilih mengingat masa kam-panye yang hanya satu bulan. (Republika, 19/06/04). Lha, piye iki?
Perbaikan di bawah panji demokrasi?
Sobat muda muslim, pemilu dan perubahan udah dinobatkan jadi dua sejoli dalam pemerintahan demokrasi. Nggak ada perubahan formasi para pejabat pemerintahan tanpa melalui proses pemilihan wakil rakyat ini. Baik anggota dewan, presiden, wakilnya, maupun? susunan kabinet. Melalui pemilu, diharapkan para new comer emang orang yang dikehendaki oleh rakyat. Biar mampu menyalurkan aspirasi rakyat dan nggak lupa memperjuangkan hak-hak rakyat yang terkikis oleh para kapitalis. Sesuai mottonya, “dari rakyat-oleh rakyat-dan untuk rakyat.�
Sayangnya, motto pemerintahan rakyat itu sering nggak muncul dalam pemerintahan pascapemilu. Para kapitalis yang ikut �patungan’ untuk membiayai kampanye bakal minta bagian. Dari jatah jabatan pemerintah yang strategis, kewenangan mengelola sumber daya alam, hingga kekebalan hukum atas bisnis yang mereka jalankan. Para wakil rakyat pun akan mendapat banyak �rezeki nomplok’ dari para kapitalis itu agar kebijakan pemerintah yang dikeluarkan berpihak padanya. Sementara kewajiban mengurusi rakyat yang ada di pundak anggota dewan cuma masuk daftar tunggu prioritas. Makanya pas banget kalo kita bilang motto itu diubah menjadi “dari rakyat kecil (masyarakat) oleh rakyat menengah (para wakil rakyat) dan untuk rakyat besar (para konglomerat)�. Akur? Kudu!
Sobat muda muslim, pelaksanaan pemilu dalam bingkai demokrasi di setiap negeri Islam khususnya, semata-mata untuk melanggeng-kan sistem sekular itu. Buktinya, parpol pemenang pemilu atau wakil rakyat yang terpilih nggak boleh ngotak-ngatik falsafah negara dan UUD yang menjadi asas negara. Apalagi sampe menggantinya dengan aturan yang nggak sekular. Bisa berabe urusannya. Karena bertentangan dengan UU pemilu dan UU parpol yang udah disahkan. Karena itu, kita nggak akan pernah menjumpai perbaikan kondisi di bawah bendera demokrasi. Percaya deh!
Udah gitu, dosa lagi. Ibnu Taimiyah dalam “Majmu al-Fatawa� mendefinisikan tahkim (at-Tahaakum) sebagai sebuah aktivitas ibadah dan berkata, “Jika seseorang memutuskan perkara dengan selain agama Allah Swt. adalah musyrik.� Jadi, jika seseorang berargumen bahwa dia tidak tahu bahwa memilih suatu kekufuran ataupun memilih orang muslim namun berideologi dan bercita-cita tidak ingin menegakan syariat Islam adalah suatu hal yang serius, hendaknya dia mengambil pelajaran dari Abdullah bin Abbas r.a. yang berkata “Dan orang akan men-jadi kafir karena ketidak-tahuannya.� Sehingga hal ini dipandang sebagai syirik akbar yang tidak dapat diampuni. Naudzubilahi min dzalik!
Berjuang tegakkan syariat Islam
Kedigjayaan Islam pada masa lalu terjadi justru karena dijadikannya Islam sebagai ideologi negara. Sementara dalam demokrasi, agama (Islam) wajib dipisahkan dari peme-rintahan. Itu artinya, kalo kita ingin mengubah kondisi negeri? ini dan negeri-negeri Islam yang tengah terpuruk kuncinya cuma satu, ya kunci mas eh, tegaknya pemerintahan Islam alias Daulah Khilafah Islamiyah. Pemerintahan yang dikomandani oleh khalifah ini yang akan mengurusi dan mengayomi sepenuh hati rakyatnya dengan aturan Allah. Sehingga kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, keamanan, keluarga dan ibadah kita akan terjaga. Gimana nggak ngangenin coba?
Untuk sampai pada tegaknya kekhilafahan Islam, kita bersama umat kudu menggalang kekuatan. Sebagai pengemban dakwah, kita jelaskan pemahaman keliru tentang Islam yang berkembang di masyarakat. Kita ubah standar perbuatan mereka dari manfaat bin materi menjadi halal dan haram. Nggak lupa juga kita tanamkan keyakinan umat terhadap syariat Islam sebagai satu-satunya solusi dari setiap masalah yang menghampiri kita. Dengan begini, perubahan kondisi yang kita kehendaki nggak cuma janji. Pasti jadi!
Sobat muda muslim, pemilu boleh berlalu, tapi perjuangan kita nggak boleh surut. Kudu tetep berlanjut. Iya dong, selama hayat masih dikandung badan, selama itu pula dakwah Islam kita kobarkan. Sehingga hari-hari kita dipenuhi aktivitas yang mulia dan bertaburan pahala. Makanya rugi banget buat orang yang hidup tanpa aktivitas dakwah. Oke deh. Pokoknya, tiada kemuliaan tanpa Islam, tiada Islam tanpa syariat, dan tiada syariat tanpa tegaknya Khilafah Islamiyah. Yo’i gak Coy? Huhuy!
Tapi inget, kita juga kudu siap ngadepin masalah dalam dakwah. Terutama dengan lingkungan tempat kita berdakwah. Rumah, keluarga, sekolah, kampus, atau tempat kerja. Apalagi saat kita coba istiqomah dengan aturan Islam. Akan selalu ada pihak yang beda pendapat dengan kita. Dari yang biasa sampe yang bikin sewot. Ada yang ngomong kalo saat ini udah waktunya hukum Islam menyesuaikan dengan realitas yang terjadi. Buat apa tereak-tereak mau diriin negara Islam kalo kebanyakan masyarakat lebih akur dengan demokrasi. Ringan sih, tapi dalem kan?
Lebih dalem lagi pas ada yang bilang perjuangan menegakkan khilafah itu utopia alias khayalan belaka. Padahal kalo kita piki-piki, yang berjuang dalam jalan salah, justru itulah yang utopia. Soalnya jalan yang kita pilih udah terbukti berhasil seperti yang dicontohkan Rasulullah saw. hingga tegaknya Daulah Islam di Madinah. Sementara jalan yang lain, cuma trial and error! Yakin deh.
Yang penting buat kita, adalah berjuang untuk Islam semaksimal mungkin dengan apa yang kita miliki. Perkara hasil dan risiko yang bakal terjadi, serahkan kepada Allah. Yakinlah bahwa Allah akan selalu bersama kita. Jadi nggak usah minder apalagi pusing mikirin suara sumbang dalam aktivitas dakwah. Kita berharap bisa seperti Rasulullah saw. dan para sahabat yang gigih mendakwahkan Islam. Pantang mundur walau selangkah. Meski penganiayaan, boikot, hingga fitnah senantiasa menghujani mereka. Pemilu boleh berlalu, tapi dakwah Islam kudu tetep maju. Di mana kaki berpijak atau oksigen dihirup, di sanalah dakwah Islam kita serukan. Tetep istiqomah![hafidz]
(Buletin Studia – Edisi 204/Tahun ke-5/19 Juli 2004)