Friday, 22 November 2024, 06:35

Operasi militer Israel makin menggila. Mereka melibas siapa saja yang berani melawannya. Tanda berakhirnya Peta Jalan Damai? Atau ada skenario baru dari Sharon?

Palestina, sebuah kawasan yang tidak pernah berhenti untuk menyita perhatian dunia. Sejak zaman lama dia tiada henti menorehkan goresan cerita. Kini dizaman informasi, berita tentangnya akrab menyapa kita setiap saat. Cerita duka, tangis kepedihan, kemarahan dan kebencian, kerap kali menghiasi koran-koran, majalah, televisi, radio maupun halaman sius-situs di dunia virtual.? Semua kisah yang terjadi bertolak belakang dengan kenyataanya sebagai tempat suci bagi tiga agama samawi. Kekerasan demi kekerasan, pembunuhan dan pembantaian yang dilakukan Yahudi telah menodai arti kesucianya.

Yahudi dengan bantuan Inggris pada tahun 1948 berhasil mendirikan Negara Israel di wilayah Palestina. ?Kemudian pada tahun 1967 mencaplok dataran tinggi Golan dan gunung Sinai dalam perang selama enam hari. Kini Israel telah menduduki sebagian besar tanah Palestina dan membangun pemukiman bagi bangsa Yahudi dengan menggusur warga muslim di sana. Ulah Israel tersebut membangkitkan perlawanan oleh warga Palestina. Maka munculah berbagai macam gerakan perlawanan, yang akhrnya melahirkan intifadhoh, gerakan perlawanan fisik melawan pendudukan Israel. Anak-anak Palestina yang bersenjatakan batu melawan tank dan buldoser Israel, diiringi pula letusan bom-bom syahid yang selalu menghantui Israel. Perlawanan pemuda dan pemudi Palestina tesebut menyulut kemarahan Israel, dan membalas dengan lebih kejam dan brutal.

Semua itu terjadi di depan hidung penguasa Arab, yang hanya bisa mengecam dan prihatin. Pemimpin negara-negara Arab “ogah-ogahan” mengerahkan tentaranya mengusir Israel dari tanah Palestina. Mereka bahkan rela duduk bersama-sama dengan musuh seluruh kaum muslimin di meja perundingan. Padahal setiap perundingan dan perjanjian itu tidak pernah menghasilkan apapun, kecuali sebatas tulisan di atas tumpukan kertas dan pengkhianatan. Perjanjian Camp David 1979, Perjanjian Oslo yang melahirkan Deklarasi Prinsip 1993, Why River I 1998, Why River II 1999, sampai dengan Camp David II 2000, tidak ada satu pun yang ditepati Israel. Bahkan resolusi PBB sekalipun dianggap angin lalu. Terakhir diajukan rencana Peta Jalan Damai (Peace Road Map), yang diklaim merupakan ?kesepakatan bersama antara AS, Rusia, Uni Eropa, dan PBB.

Dalam peace road map itu antara lain disebutkan bahwa Palestina harus menghentikan aksi kekerasan terhadap Israel, melakukan demokrasi dan pembaruan internal, dan mengakui eksistensi Israel. Sebaliknya, Israel dituntut “menghentikan” pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jalur Ghaza, serta mencabut blokade terhadap masyarakat Palestina. Proposal Peta Jalan Damai ini disambut baik berbagai fihak terutama Uni Eropa dan para sekutunya.? Tetapi kemudian Sharon berulah menarik pasukan dan memindahkan pemukiman Yahudi di Jalur Ghaza dan empat pemukiman di Tepi Barat.

Rencana Sharon tersebt ditanggapi dengan berbagai komentar yang beragam. Kepala urusan kebijakan luar negeri Uni Eropa (EU), Javier Solana, menyambut baik rencana penarikan tentara Israel keluar dari Jalur Ghaza sebagai suatu peluang untuk memulai lagi peta jalan perdamaian Timur Tengah. Bush setelah bertemu dengan Sharon dan utusanya, pada akhirnya menyetujui dan mendukung rencana tersebut. Dukungan Bush terhadap Sharon dismabut amarah oleh Yaser Arafat dan menolak rencana tersebut. Sikap yang sama ditunjukkan pemimpin Palestina yang lain, mereka menginginkan seluruh wilayah Palestina sebelum tahun 1967.

Sementara itu Jihad Islami dan Hamas, menanggapi rencana itu degan nada pesimis. Kedua gerakan itu menyatakan bahwa tindakan penarikan mundur pasukan Israel adalah manipulasi belaka. Penentangan terhadap rencana Sharon juga terjadi di dalam tubuh pemerintahan Israel sendiri. Referendum yang diselenggarakan Partai Likud sepakat menolak rencana Perdana Menteri Israel Ariel Sharon. Merka menganggap rencana itu justru membahayakan keamanan dan masyarakat Negeri Zionis. Sebaliknya pemimpin Mesir Hosni Mubarak, justru mendukung rencana penarikan mundur pasukan Israel dari Jalur Ghaza dan sebagian wilayah Tepi Barat.

Di balik “Peta Jalan Damai” dan rencana Sharon

Rencana Sharon menarik mundur tentara Israel dan pemindahan pemukiman Yahudi dari Tepi Barat dan Jalur Ghaza, tentu saja bukan merupakan kebaikan hati Yahudi, ataupun niat baik mereka untuk melakukan perdamaian. Demikian juga dengan proposal peace road map, bukanlah karena niat baik Barat untuk menyelesaikan konflik di Timur Tengah. Tetapi semua rencana yang diajukan penuh dengan jebakan dan hanya merupakan sandiwara yang penuh kebohongan demi kepentingan-kepentingan tertentu.

Bagi AS, proposal road map yang diluncurkan pada tanggal 30 April 2003 tersebut merupakan taktik untuk memperbaiki citranya di mata penguasa Arab. Setelah invasinya ke Irak dan Afghanistan atas nama perang melawan teroris, pandangan Timur Tengah terhadap AS memburuk. Pengamat Politik Luar Negeri LIPI Riza Zihbudi menyatakan bahwa road map yang digagas Bush? sebenarnya tak lain dari sekadar iming-iming guna mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab bagi politik AS di Irak. Di fihak lain Uni Eropa dan Rusia menjadikan road map sebagai sarana untuk memperkuat posisi tawar mereka dalam percaturan politik dunia secara keseluruhan dan menaikan citra mereka di kalangan Arab.

Pendek kata road map adalah perebutan pengaruh politik bagi Amerika, Uni Eropa dan Rusia. Fakta bahwa AS mengajak Uni Eropa, Rusia dan PBB hanyalah untuk memperkuat tekanan bagi fihak-fihak yang sedang bertikai termasuk negara-negara Arab. ?Sebab negara Arab juga ikut mempengaruhi diterima dan tidaknya proposal damai tersebut. Jika road map didukung pula Rusia, Uni Eropa dan PBB tentu akan memberikan kesan bahwa road map didukung oleh dunia. Negara-negara Arab akan merasa terkucil jika tidak mendukung rencana tersebut. Alasan lainnya sangat boleh jadi adalah untuk menyembunyikan kenyataan bahwa road map merupakan kesepakatan AS-Israel, dan menampakkan seakan-akan gagasan itu merupakan hasil kesepakatan kelompok “kuartet”.

Peta jalan damai sendiri, sebenarnya merupakan butir-butir kesepakatan antara AS dengan Israel, bukan gagasan asli kelompok “kuartet” seperti yang diklaim sebelumnya. Sebab, sebelum diserahkan ke Uni Eropa, PBB dan Rusia, proposal peace road map dikirimkan terlebih dahulu kepada PM Israel, Ariel Sharon. Uni Eropa, PBB, dan Rusia malah baru menerima sehari sesudah Israel. Tercatat terdapat lebih dari seratus perubahan sesuai yang diusulkan oleh Israel dan menunda pengumuman peace road map hingga pemilu dilangsungkan akhir Januari 2003 lalu di Israel. Bisa ditarik kesimpulan bahwa seandainya peta jalan damai terealisasi, sebenarnya yang banyak dirugikan adalah Palestina.

Meski demikian bagi Partai Likud yang mempunyai ideologi ultra kanan, masih tidak puas dengan isi road map tersebut. Misi dan visi Partai Likud dan partai kanan lainnya adalah mendirikan negara Israel Raya, yang mencakup juga wilayah Tepi Barat, Jalur Ghaza, Suriah, Lebanon, dan Jordania hingga pegunungan Sinai yang sekarang ini menjadi wilayah Mesir. Dengan wilayah yang ada sekarang ini tentunya tidak akan memuaskan Israel.

Oleh karenanya, peta jalan damai yang justru akan menghalangi cita-cita mereka akan tanah yang dijanjikan harus ditolak. Mereka kemudian gencar menciptakan opini publik domestik agar Israel keluar dari kerangka kesepakatan tersebut. Yeheil Hazan misalnya, seorang anggota Partai Likud dan Ketua Lobi Kneset (kneset :nama parlemen Israel) untuk Urusan Pemukiman, menolak mentah-mentah rencana peace road map. Demikian juga Beny Elon, tokoh Partai Persatuan Nasional dan Menteri Pariwisata, terus-menerus melobi AS agar peace road map digagalkan.

Tindakah Sharon, meninggalkan Jalur Ghaza dan Tepi Barat berkaitan erat dengan peta jalan damai. Karena opini publik Israel yang menentang road map, dan adanya tekanan internasional, Sharon mengambil manuver mengusulkan untuk mengungsikan semua pemukiman Yahudi di Gaza, dan empat di Tepi Barat. Sebagai imbalannya, setiap penyelesaian damai akhir harus mengakui realitas demografik di lapangan. Artinya warga Palestina mesti tinggal di wilayah yang nantinya akan menjadi negara Palestina, tidak boleh kembali ke tanah mereka yang direbut oleh Israel pada tahun 1948.

Jadi bagi Israel pelepasan Jalur Ghaza adalah umpan untuk mendapatkan hasil yang lebih besar yaitu, menguasai seluruh wilayah Israel yang sekarang dan terlepas ?dari tekanan Internasional. Seperti yang diucapkan Sharon, bahwa penarikan mundur akan ”membebaskan Israel dari tekanan luar negeri”. Selain itu,Israel juga bisa bertindak lebih leluasa, tercermin dari ucapan Sharon, “Dengan aksi ini (mundur dari Jalur Ghaza dan sebagian tepi barat) Israel bakal dapat jalan untuk bertindak tanpa batas.

Apa yang dimaksud dengan “tanpa batas” dari ucapa Sharon tersebut, hal ini masih menyimpan teka-teki. Bisa jadi di masa yang akan datang Israel akan menkhianati semua kesepakatan yang telah dilakukan dan terus memeperluas wilayahnya dengan berbagai cara sampai terwujud “Israel Raya”. Mengingkari janji dan melanggar kesepakatan merupakan sesuatu yang sudah menjadi tabiat bangsa Israel itu.

Pelajaran bagi kaum Muslimin

Sesungguhnya Amerika dan Negara Barat lainya, tidak akan pernah serius menyelesaikan masalah Palestina-Israel. Justru mereka menginginkan agar terus terjadi konflik di Timur Tengah, jantung kaum muslimin. Konflik itu sengaja dipelihara untuk mengalihkan perhatian kaum muslimin dari tugas yang seharusnya menegkkan Khilafah Islamiyah. Karena dengan Khilafah Islamiyahlah satu-satunya jalan yang mampu membebaskan tanah Palestina dan tanah kaum muslimin yang lain, serta membebaskan kaum muslimin dari belenggu orang-orang kafir.

Jalan damai berarti kekalahan besar bagi kaum muslimin. Sebab seluruh wilayah Israel saat ini adalah tanah kaum muslimin, tidak diperbolehkan bagi Yahudi manapun untuk menempatinya meski hanya menginap satu malam saja. Apa jadinya seandainya Umar Ibnu Khathab yang menerima penyerahan secara damai Palestina masih hidup dan menyaksikan semua kejahatan Israel dan menyaksikan kelemahan Kaum muslimin.

Masalah Palestina akan selesai hanya jika seluruh tanah Palestina yang direbut Israel dikembalikan kepada kaum muslimin, dan Israel keluar dari tanah Palestina. Peta Jalan damai atau perjanjian apapun yang digagas, berarti telah mengakui Israel sebagai subuah Negara, yang berarti pula merelakan tanah Palestina dicuri Israel. Ini sama dengan menggadaikan kehormatan dan harga diri kaum muslimin akibat lemahnya kaum muslimin di hadapan musuhnya. Entah nasib malang apa lagi yang akan menimpa kaum muslimin, hanya Allah yang Mahatahu. [D. Saputra]

[diambil dari Majalah PERMATA, edisi Juni 2004]