Saturday, 23 November 2024, 20:29

gaulislam edisi 360/tahun ke-7 (20 Dzhulqa’idah 1435 H/ 15 September 2014)

Hari gini, siapa yang belum mengenal jejaring sosial? Hmm.. hampir seluruh masyarakat Indonesia maupun luar Indonesia yang melek teknologi komunikasi, pasti memiliki jejaring sosial. Seperti; Facebook, Twitter, Instagram, Path, Snapchat, Ask.fm, dan lain sebagainya. Menurut data yang saya kutip dari sebuah situs berita (kompas.com), hasil penelitian terbaru mencatat pengguna internet di Indonesia yang berasal dari kalangan anak-anak dan remaja diprediksi mencapai 30 juta. Bahkan, sebanyak 98 persen dari anak dan remaja mengaku tahu tentang internet dan 79,5 persen di antaranya adalah pengguna internet. Wihh, canggih bener!

Syukurlah! Beriring dengan semakin canggihnya teknologi di Indonesia, banyak pengguna yang memakainya dengan selazimnya. Beberapa hari yang lalu, saya membuka salah satu akun jejaring sosial milik saya pribadi, dan tak sengaja melihat catatan teman saya. Dia mengaku sedang menggelar bakti sosial, dengan cara menjual baju-baju bekas yang masih layak pakai, lalu hasil dari jualan tersebut diberikan kepada panti asuhan dan orang-orang yang tida mampu. Cakep kan?

Ada juga, yang menyerukan pemahaman Islamnya di jejaring sosial, dengan membuat desain-desain lucu dan unik, atau sekadar membuat status yang membuat pembacanya semangat untuk belajar Islam lebih dalam. Atau ucapan-ucapan bela sungkawa kepada saudara-saudari kita di Palestina, yang negerinya masih riuh dengan bom di sana-sini. Kita beri jempol deh, untuk teman-teman yang ‘ahli’ dalam penggunaan jejaring sosial ini!

 

Bijak manfaatkan sosmed

Sobat gaulislam. Ternyata keseruan yang didapatkan dalam penggunaan jejaring sosial ini, menyedot minat para orang tua untuk turut berpartisipasi di dalamnya. Tak jarang, kita jumpai di Facebook, ada banyak orang tua yang ikut-ikutan narsis, bahkan ngegalau karena LDR-an sama isteri atau suaminya. Waduh! Bahkan, ada seorang pekerja di London dipecat gara-gara update tentang ‘kejelekan’ Afrika di twitter. Lha? Kalo udah begini, siapa coba yang mesti disalahin?

Belum lama ini, tersiar kabar juga, ada seorang wanita berinisial FS yang berkicau di Path, mengenai pendapatnya tentang Yogyakarta. FS mengaku kesal pada pelayanan SPBU yang dinilainya kurang baik. Menurut info yang saya dapat dari solopos.com, FS menuliskan pendapatnya dengan kata-kata yang kurang sopan dan mengundang salah satu mahasiswa UGM melaporkannya pada pihak berwajib. Ternyata, kasus ini ditanggapi serius. FS dijerat UU ITE dengan pasal pencemaran nama baik. Beruntung, FS kemudian mengklarifikasi dan memohon maaf atas kesalahannya dan berjanji tak akan mengulanginya lagi.

Sobat gaulislam, fakta di atas tadi, dapat kita ambil pelajaran bahwa sebenarnya jejaring sosial bukan tempat sampah. Bukan sekadar untuk memuntahkan pendapat atau mengkritisi sesuatu dengan tidak lazim, dan tidak memberikan pencerahan. Apalagi sekadar update “Huffft que cape nie…”, “Laper.”, “Bosen.”, dan lain sebagainya dan sejenisnya.

Banyak lho, para remaja yang menghabiskan hampir seluruh waktunya hanya untuk berkutat dengan jejaring sosial. Makan bawa gadget, tidur meluk gadget, mandi bawa gadget, sampai-sampai boker juga bawa gadget. Syukur kalo buat dakwah! Lha ini? Buat nge-stalk twitter mantan. Upss! Bisa-bisa, aktivitas ini membuahkan dosa. Why? Karena, melupakan kewajiban kita sebagai muslim. Seperti; sholat, mengaji, berdakwah, menjaga kesehatan tubuh, dan lain-lain.

Atau cewek-cewek yang hobinya selfie dengen effect Cam360 super putih bin mulus, lalu di-post ke Instagram dengan caption; No effect or no filter. Boleh nggak sih? Boleh nggak yaa? Tentu saja tidak. Karena perilaku tersebut mencerminkan sebuah penipuan yang merugikan banyak pihak. Mulai dari followers yang terheran-heran, mengapa ada wanita secantik itu, atau para pria yang tertarik untuk mendekatinya, namun ketika tak sengaja berjumpa, “dunia nyata tak seindah dunia maya!”

Ada juga tuh, kawan-kawan kita yang demen nge-judge seseorang, tapi nggak mau ketahuan kalau dia nggak suka sama lawan bicaranya itu. Terciptalah Ask.fm sebagai sosmed yang menguntungkan bagi para haters ini. Tinggal on anon, lalu menggunjing, menghujat, menghina, dan berkata-kata sesukanya. Lupa ya, kalau Allah itu Maha Melihat lagi Maha Mengetahui? Menyakiti saudara seiman itu, dosanya besar, lho!

Belum lagi teman-teman kita, yang hobinya post location di Path. Pamer sana-sini di mana keberadaannya. Apalagi kalau lagi jalan-jalan ke luar kota or ke luar negeri. Timeline bisa penuh, disesaki dengan update-an si pelaku. Hanya berburu loved, laughed, gasped, dan sejenisnya. Lalu, berhasil mengubah mindset banyak remaja, bahwa berkunjung ke luar negeri itu keren. Padahal, di sana cuma runtang-runtung nggak karuan atau sekadar pamer bahwa dia bisa jalan-jalan ke sana.

Lain lagi dengan para jones (alias jomblo ngenes) yang setiap hari cuma nge-post, sleeping-wake up di Path karena nggak punya modal mau jalan-jalan, atau nggak tau mau post listening lagu apa karena quota nggak cukup buat download lagu-lagu yang lagi mainstream, atau mau posting tulisan tapi nggak tahu mau nulis apa. Mohon maaf kalo tersinggung ya, Mblo!

Sobat gaulislam, lebih baik jadi jomblo yang berkualitas. Misalnya dengan cara nge-post tulisan-tulisan karya kita yang isinya memiliki pesan. Tidak usah beralasan, tidak pandai membuat tulisan. Zaman SD, kalian udah dipaksa untuk mengerjakan tugas membuat karangan, kan? Atau, buat yang pengin serius belajar membuat tulisan, bisa cari guru pembimbing. Sekarang, banyak kok les menulis gratis secara online.

 

Sosmed untuk dakwah

Buat teteh-teteh dan aa’-aa’, yuk ah sudahi aktivitas merugikan di mana saja, khususnya di jejaring sosial. Sudahi komunikasi-komunikasi yang menimbulkan perasaan berbunga-bunga antar lawan jenis. Meski awal-awalnya hanya sekadar saling sapa, dengan niatan iseng. Bisa jadi, aktivitas tersebut malah menyeret teteh dan aa’ menuju jurang maksiat. Naudzubillahiminzalik.

Nggak ada salahnya, kita memliki banyak sosmed. Apalagi kalau kita bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang dalam hal kebaikan, dan menyeru pada jalan yang benar. Meski masih muda, nggak ada salahnya kan kita bercuap-cuap tentang pemahaman Islam? Ingat, sampaikanlah meski hanya satu ayat.

Tapi, peringatan besar untuk kita semua. Ilmu yang kita sebarkan di sosial media, jangan sampai diniatkan untuk eksistensi diri, atau yang lebih parahnya, mau pamer bahwa sekarang kita udah berubah jadi alim. Harus kita luruskan kembali niat kita, bahwa pos-pos kita yang berbau dakwah, semata-mata untuk tabungan di akhirat, dan murni keikhlasan karena ingin meraih ridho Allah Ta’ala.

Tidak perlu takut cibiran-cibiran teman-teman kita yang negatif. Misalnya; “Ah, Lo kalo udah busuk, busuk aja sih…”, “Sok alim, Lo!”, dan lain sejenisnya. Apalagi, takut kalau followers menurun. Bro en Sis, untuk melakukan sebuah perubahan yang menyeru kepada kebaikan itu, akan banyak sekali rintangannya. Nah, yang mesti kita lakukan, cukup bersabar dan menyerahkan segalanya kepada Allah. Lebih baik lagi, kalau kita bisa memberikan pemahaman kepada mereka secara ma’ruf, bahwa kita memang sudah berubah menjadi lebih baik. In sya Allah, lama-lama mereka akan terbiasa dengan timeline-nya yang disesaki dengan postingan kita tentang kebenaran.

Untuk Mama dan Papa, yang dulunya hobi banget galau tentang rumah tangganya. Jangan lagi-lagi deh! Bagi orang tua yang melek komunikasi seperti ini, sip banget kalau kemampuannya ini dijadikan sebagai media dakwah. Banyak lho, ustadz wa ustadzah yang cuap-cuap tentang keislamannya di sosmed, meski mereka sudah berumur. Jangan mau kalah sama yang lebih muda, dalam urusan menyebarkan kebaikan di mana saja Mama dan Papa berada. Yuk, yang punya ortu super update, tapi masih hobi pos-pos yang kurang bermutu, kasih tahu deh supaya sosmednya bisa menjadi salah satu media, untuk mengisi tabungan di akhirat. Jangan sampai deh, kita menjadi salah seorang yang menyebarkan keburukan dan menjadikan orang lain terinspirasi dengan keburukan yang kita bagikan. Statusmu, Harimaumu. Roar!

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Tentu saja kita sangat mengapresiasi saudara-saudari kita yang tengah turut andil dalam penggunaan sosial media, dengan baik dan benar. Apalagi, buat kakak-kakak yang menjadikan followers-nya sebagai ladang dakwah. Tepuk tangan! Prok prok prok prok prok…

Banyak kok, yang awalnya ia adalah remaja yang biasa-biasa saja, namun karena getol menyebarkan kebaikan di sosial media, akhirnya menjadi remaja yang luar biasa. Misalnya, yang tadi niatnya cuma sekadar bikin note di Facebook, dengan isi tulisan karya sendiri yang memberikan manfaat luar biasa di dalamnya, akhirnya dilirik penerbit untuk mengumpulkan tulisan-tulisannya, dan menjadikannya sebagai buku best sellers yang berisi kalimat-kalimat motivasi, kumpulan cerita pendek, kumpulan puisi, dan semacamnya.

Bisa juga nih, buat kamu-kamu yang hobinya nge-desain, oke banget kalau karya-karya desain kamu berisikan gambar atau tulisan yang menyeru kepada kebaikan. Tentu saja, harus sesuai dengan standar bagaimana desain islami yang diperbolehkan dalam Islam. Jangan sampai, karena banyaknya viewers, atau permintaan konsumen, malah menjadikan kamu mendesain makhluk hidup yang sangat mirip dengan aslinya. Meski pesan-pesan di dalamnya mengusung pada kebaikan, bisa jadi, karya kamu yang satu ini malah menghasilkan dosa. Kan bisa gawat.

Nah, buat Bro en Sis yang udah sukses di dunia dengan penghasilan yang dihasilkan dari karyanya sendiri, jangan sampai lupa juga dengan kehidupan akhiratnya ya. Jangan mentang-mentang berasumsi bahwa karyanya berbau dakwah, jadi lupa bahwa ada kewajiban lain di luar dunia maya. Membantu orang tua, misalnya. Jangan sampai, karena keasyikan di depan gadget, jadi lupa dengan kewajibannya sebagai anak yang sholih wa sholihah. Lebih gawat lagi kalo sampai lupa bahwa punya kewajiban mendirikan sholat, menggali ilmu Islam lebih dalam, mengaji al-Quran, dan sebagai pelajar kita juga wajib belajar.

Yuk ah, kita tengok lagi jejaring sosial kita, sudahkah digunakan untuk menyebarkan kebaikan? Sudahkah memberi ‘nikmat’ atau justru malah menjadi ‘kiamat’ bagi diri kita sendiri dan orang lain? Jawabannya ada pada sikap kamu setelah membaca tulisan ini. [Noviani Gendaga |twitter @gendagaaa]