Bahasan kali ini mungkin nggak menarik bagi kamu-kamu yang merasa normal. Maksudnya normal karena nggak bakal ada bibit-bibit untuk suka sejenis. Kalo cewek ya suka sama cewek, kalo cowok demen sama cowok. Demen dan suka di sini bukan sekadar untuk berteman, tapi sudah menjurus ke hubungan khusus alias mengarah ke hubungan seksual. Hiiii…
Jangan kaget. Fenomena seperti ini memang belum umum terjadi di sekitar kita. Tapi bukan berarti kejadian seperti ini nggak nyata. Secara sekilas, kelainan suka sejenis memang nggak mudah terlihat. Jadi, seringnya kita merasa aman-aman saja dan merasa: “Ah… nggak mungkin itu terjadi di aku or temen-temenkuâ€?. Ati-ati lho!
Jangan salah. Sesuatu yang nggak mungkin bisa berubah menjadi mungkin kalo kita nggak waspada. Masalahnya ’penyakit’ beginian bersifat laten, bisa muncul sewaktu-waktu tergantung situasi dan kondisi yang menyertai.
Kenali gejalanya
Mengenali gejala penyakit suka sejenis emang nggak mudah. Karena awalnya emang bermula dari perasaan yang kemudian berimbas ke tingkah laku. Biasanya ’si penyakitan’ akan menyimpannya cukup dalam hati saja. Secara fisik, mungkin ia nggak beda dengan anak lainnya. Nggak harus karena fisiknya terlihat tomboy, terus kamu main curiga aja jangan-jangan dia lesbi. Begitu juga buat cowok, nggak perlu kudu lemah gemulai untuk menjadi homo. Kamu tahu grup band Boyzone yang sempat tenar beberapa tahun lalu? Nah, salah satu dari cowok macho itu homo loh.
Jadi lesbi dan homo memang nggak bisa dideteksi dari penampilan. Biasanya pada tataran awal, gejala ketidaknormalan ini akan membuat pelakunya suka gelisah. Biasalah, kayak gejala orang kalo poling in lop gitu, cuma bedanya ini dengan sesama jenis. So, hati-hati dengan teman yang suka meraba-raba misalnya. Atau memandang dengan pandangan yang mupeng (muka pengen) dicampur nafsu.
Lagi, gejala di atas tidak mutlak harus ada pada seorang yang berpenyakit lesbi dan homo. Yang penting kamu bersikap waspada dan hati-hati bila ada teman yang tingkah lakunya mulai membuat resah teman yang lain. Suka intip-intip teman yang lagi ganti baju, misalnya.
Penyebab suka sejenis
Penyebab penyakit ini bisa macam-macam. Ada yang karena dikecewakan pacar, terus jadi trauma dengan lawan jenis. Ada juga yang karena broken home. Saya dulu punya teman yang sering banget melihat bapaknya memukul fisik baik ibu maupun anak-anaknya, termasuk teman saya ini. Terus ia juga sering banget lihat cowok-cowok urakan yang gampang banget mempermainkan cewek. Ia pernah bilang kalo ia jadi illfeel sama yang namanya makluk berjenis cowok. Untungnya doi belum parah. Alhamdulillah akhirnya ia rajin belajar Islam, berjilbab dan menikah.
Salah asuh juga bisa menjadi biang keladi penyakit suka sejenis ini. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh yang kering kasih sayang dan dibeda-bedakan antara anak laki dan perempuan, bisa jadi pemicunya. Diperparah dengan jauhnya suasana keimanan dalam keluarga makin membuat anak semakin ’sakit’.
Kondisi lingkungan juga punya andil besar dalam menyuburkan penyakit ini. Tayangan sinetron dan film layar lebar banyak diproduksi seputar tema suka sejenis. Ambil contoh Cornelia Agatha dan Shanty di filmnya yang terbaru juga berkisah tentang gadis lesbi ini.
Sobat, yang paling parah adalah lesbi dan homo yang tidak merasa bahwa mereka ini sedang sakit. Berdalih atas nama Hak Asasi Manusia dengan kebebasan berekspresinya, mereka merasa sah-sah saja untuk menjalani hidup sebagai ’penyakitan’. Toh, perbuatan itu tidak merugikan siapa-siapa, selalu itu yang menjadi alasan pembenaran untuk kerusakan yang mereka perbuat.
Sejatinya, ide inilah yang jadi biang kerok kompleksnya permasalahan yang ada. Ibarat benang kusut, nggak ketahuan ujung pangkal untuk mengurainya. Ide HAM yang merupakan anak kandung demokrasi inilah yang menjadikan fenomena suka sejenis begitu merebak.
Kehidupan yang ’berakidah’ sekulerisme alias memisahkan agama dari kehidupan menjadi ide yang diadopsi bersama-sama. Orang tak lagi takut dosa melakukan hal yang melanggar perintah agama. Sekedar ditakut-takuti sama yang namanya dosa, nggak bakalan mempan. Dosa kan nggak kelihatan. Dosa kan entar aja urusannya di akhirat. Ihh… nggak beriman banget dalih seperti ini.
Solusi dong!
Harus ada solusi bagi semua permasalahan kehidupan. Kalo suatu sistem yang berlaku dalam masyarakat nggak punya solusinya, buang ke laut aja tuh sistem dan ganti dengan yang baru. Membiarkan fenomena lesbi dan homo dengan alasan HAM dan kebebasan bertingkah laku bukan solusi, tapi bom waktu. Tinggal menunggu aja ledakan dahsyatnya yang akan menghancurkan bumi seisinya.
Di tataran awal, ketiga komponen solusi harus ada. Apakah itu? Kontrol diri dengan keimanan yang kuat pada individu-individunya. Kedua, kontrol masyarakat yang tak segan untuk beramar makruf nahi mungkar bila melihat gejala penyimpangan prilaku pada pelaku lesbi dan homo. Bukan malah sok nggak mau tahu karena sudah terjangkitnya masyarakat oleh penyakit individualisme. Dan yang ketiga serta paling menentukan posisinya adalah kontrol negara. Negara nggak bisa menutup mata bahwa fenomena lesbi dan homo sudah ada di tengah masyarakat kita.
Bukan jamannya lagi negara melalui perantara DPR yang sok mengaku sebagai wakil rakyat melakukan rapat dan cuma rapat untuk menentukan rumus baru tentang definisi suatu kejahatan dan hukumannya. Kelamaan boo. Hukum Indonesia yang digali dari hukum Belanda itu notabene buatan manusia dan nggak akan mungkin bisa menjangkau kesempurnaan hukum buatan Sang Pencipta. So, waktunya kita menoleh dan mengambil sistem hukum Yang Maha Sempurna. Solusi tuntas atas semua permasalahan kehidupan tanpa menimbulkan masalah baru.
Harus ada solusi hukum yang praktis bagi mereka yang masih bengal hobi lesbi dan homo. Solusi hukum yang akan membuat mereka jera. Bukan solusi hukum yang bisa dijadikan tawar menawar rupiah. Allah Swt. dan RasulNya telah menetapkan hukum bunuh bagi pelaku liwath (homoseksual). Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa menjumpai orang yang berbuat homoseks seperti praktek kaum Luth, maka bunuhlah si pelaku dan yang diperlakukan (pasangannya)� (HR Bukhari, Muslim, at-Turmudzi, Abu Daud, dan an-Nasa’i)
Ide ini jelas janggal banget untuk orang yang sudah terasuki ide kebebasan bertingkah laku. Wong suka sama suka kok dibunuh. Jangankan sesama jenis yang sulit pembuktiannya, seks bebas antar lawan jenis yang jelas-jelas ada bukti hamil tanpa suami aja masih bisa dilindungi oleh negara dan adat. Dengan cara apa? Yup, dicarikan ’pejantan’ untuk melindungi aib keluarga. Jadilah lingkaran setan, anak-anak lahir dengan nasab yang amburadul, anak-anak nakal karena berasal dari keluarga yang broken home dan penyakit demi penyakit ’aneh’ muncul sebagai peringatan terhadap pembangkangan manusia ini.
Kembali ke bahasan suka sejenis. Kalo ada temanmu yang sudah terlanjur kena penyakit lesbi dan homo ini, segera ingatkan dia untuk segera taubatan nasuha. Taubat yang sebenar-benarnya dan tidak akan pernah diulangi lagi. Saya yakin, tingkat penyakit ini bila menjangkiti orang yang masih percaya keberadaan Allah dan hari akhir, ada harapan untuk bisa disembuhkan. Levelnya juga belum menjurus ke hubungan seksual, semoga. Paling masih taraf getaran rasa bila berdekatan dengan orang tertentu, sesama jenis yang lagi disuka.
Jangan memberi solusi yang aneh dan mengakibatkan masalah baru. Biasanya solusi aneh yang diberikan adalah dikenalkan dengan lawan jenis dan didorong untuk pacaran. Walah, ini namanya menyembuhkan penyakit dengan mengundang penyakit baru. Menghindar dari mulut harimau malah lari ke mulut buaya. Sama-sama bahaya dan binasanya, Non.
Mencegah suka sejenis
Mencintai seseorang karena Allah memang harus. Tapi mencintai seseorang karena nafsu seksual apalagi sesama jenis, naudzhubillah. Jangan sampai kamu jadi penerus jejak kaum Nabi Luth yang dimusnahkan Allah karena bengal dan nggak mau sembuh dari penyakit lesbi dan homo ini. Nah, supaya nggak terjerumus, ada kiat-kiat tertentu neh.
Pertama, meskipun berteman atau bersahabat dengan sesama jenis, jangan keterlaluan dekatnya. Ada batas-batas tertentu yang nggak boleh dilanggar. Tidur (bagi kamu yang ngekost atau bermalam di rumah teman), jangan sampai satu selimut. Hal ini cucok banget dengan apa yang telah diperingatkan oleh Rasulullah. Mandi, teramat sangat tidak boleh alias haram berdua. Ada batasan aurat sesama perempuan yang tidak boleh dilihat oleh perempuan lain. Begitu juga laki-laki. Antara pusar dan lutut itu tak boleh diumbar sembarangan. Sayangnya masih banyak di sekitar kita para gadis memakai celana sangat pendek dengan cueknya keluar rumah. Begitu juga dengan cowok-cowok yang pada enggan menutup aurat di atas lutut.
Kedua, saling menasihati dalam kebenaran dan kebaikan. Kalo ada temanmu yang kelihatannya mulai terjangkit penyakit ini, jangan dijauhi. Coba nasehati pelan-pelan dan pahamkan tentang Islam. Ajak ia lebih mendekat pada Allah agar gejala penyakitnya itu tak semakin parah.
Yang ketiga, jangan diam saja. Jadikan Islam sebagai solusi dalam semua aspek kehidupan. How? Sebarkan pemahaman Islam sebagai the way of life. Kita tadi sudah paham kan bahwa kejadian suka sejenis ini hanya salah satu imbas saja dari kerusakan ide HAM dan demokrasi. Kerusakan-kerusakan yang lain sudah tak terkatakan banyaknya. AIDS adalah salah satunya. Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menyerukan agar ide-ide rusak seamcam ini dibuang aja ke tong sampah peradaban. Ganti dengan yang sudah pernah terbukti menyejahterakan satu pertiga penduduk bumi, yaitu Islam sebagai ideologi.
Kalo kita nggak mau turut andil berpartisipasi mengukir sejarah menyongsong peradaban baru yang lebih baik dengan Islam? Yakinlah, bahwa Islam nggak butuh kita tapi kitalah yang butuh Islam. Dengan mudah Allah akan menggantikan orang-orang pembangkang di muka bumi ini dengan orang-orang yang akan nurut serta cinta pada Allah. Allah pun pasti akan mencintai mereka. Masa dengan janji mendapat cinta dan surga Allah, kamu masih malas untuk berubah dan turut andil dalam perjuangan? Ih… rugi banget!
So, ayo kita babat lesbi dan homo dengan penerapan Islam secara kaffah, buang ide demokrasi dengan anak turunannya berupa HAM–yang salah satu aturannya membolehkan kebebasan bertingkah laku. Yuk, tegakkan Islam! [ria: riafariana@yahoo.com]
(STUDIA Edisi 345/Tahun ke-8/11 Juni 2007)