gaulislam edisi 858/tahun ke-17 (22 Ramadhan 1445 H/ 1 April 2024)
Banyak orang mendambakan surga. Bahkan di dunia pun kita menginginkan surga. Maka, ada ungkapan sangat populer, “rumahku surgaku”. Rumah yang di dalamnya bikin tenang, bikin adem dan tentram. Suasana tempat dan kondisi pikiran serta hati bikin bahagia. Saling support dan saling mengingatkan dalam kebaikan. Ortu jadi teladan anak, anak menyenangkan bagi ortu. Bapak dan ibunya shalih dan shalihah, begitu pun dengan anak-anaknya, membaca al-Quran jadi rutinitas harian, tutur kata lembut di antara mereka. Tak berburuk sangka, dan tak pernah ada hal-hal yang bikin sesak pikiran. Intinya, banyak ketenangan dan ketentraman. Seperti di surga yang selama ini memang didambakan banyak orang.
Nah, bagi remaja cowok (termasuk bapak-bapak tentunya), ada aja cara buat bikin hepi, dan itu tergambar bahwa dirinya juga menginginkan surga. Khususnya tentang lawan jenis. Remaja cowok umumnya mendambakan pasangannya nanti itu bak bidadari. Bapak-bapak juga sama, mendambakan istrinya memiliki spek bidadari. Terutama dalam kecantikan. Malah sampe ada tokoh di cerita silat Wiro Sableng yang dijuluki Bidadari Angin Timur. Nama aslinya Pandan Wangi, begitu seperti yang ditulis di novel karya Bastian Tito itu.
Kalo jalan-jalan ke tempat wisata dan kebetulan pemandangannya menyenangkan dan menentramkan, itu udah merasa ada di surga dunia. Surga sebelum surga. Itu sebabnya, banyak yang pengen healing untuk menghilangkan kepenatan dengan beban pekerjaan sehari-hari. Iya, sih. Kalo jalan-jalan umumnya menyenangkan karena bisa melihat daerah lain selain tempat yang biasa kita berkutat sehari-hari dengan berbagai rutinitas yang mungkin pada titik tertentu bikin bosen.
Artinya apa ini? Artinya banyak orang pengen senang hatinya, pengen bahagia, ingin tenang dan tentram menjalani hidupnya. Ukurannya bisa dari banyak kekayaan berupa harta benda maupun banyaknya duit, atau jabatan dan juga kesenangan dalam menikmatinya. Mau makan apa aja gampang, sudah disiapkan karena bisa membeli dengan duit yang dimiliki atau dengan kekuasaan karena jabatan yang digenggamnya. Konon kabarnya, itu yang diburu banyak orang. Uang berlimpah, nggak kelaparan, tempat tinggal kokoh dan mewah, keluarga bikin bahagia, segala mudah untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Nikmat, kan?
Namun ingat, itu semua masih di dunia. Kalo pengen bahagia betulan, nanti di surga. But, jalan menuju surga ternyata nggak mudah. Why? Lanjut baca aja, ya.
Semua ingin surga, tetapi…
Sobat gaulislam, jika ditanyakan kepada manusia, pilih surga atau neraka? Dengan informasi yang seadanya, dengan bekal pegetahuan yang minim bahwa surga itu nikmat dan neraka itu menyeramkan, maka dengan lantang pasti akan memilih surga. Tapi, tahukah kita bahwa jalan menuju surga itu sulit dan jalan menuju neraka begitu mudah?
Dari Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Ketika Allah menciptakan surga, Dia berfirman kepada Jibril, ‘Pergi dan lihatlah (surga itu)’. Jibril pun pergi untuk melihatnya. Jibril kembali seraya berkata, ‘Tuhanku, demi keperkasaan-Mu, tidak seorang pun mendengar (tentang surga itu) kecuali dia (ingin) memasukinya’. Kemudian Allah Ta’ala mengelilingi (surga) dengan kesulitan-kesulitan (untuk mencapainya) dan berfirman kepada Jibril, ‘Wahai Jibril! Pergi (lalu) lihatlah (surga itu)’. Jibril pun pergi untuk melihatnya. (Jibril) kembali seraya berkata, ‘Tuhanku, demi keperkasaan-Mu, sungguh aku khawatir tidak seorang pun yang (dapat) memasukinya’.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya): “Tatkala Allah Ta’ala menciptakan neraka, Dia berfirman, ‘Wahai Jibril! Pergi (lalu) lihatlah (neraka itu)’. Jibril pun pergi untuk melihatnya. (Jibril) kembali seraya berkata, ‘Wahai Tuhanku, demi keperkasaan-Mu dan kemuliaan-Mu, tidak seorang pun mendengar (tentang neraka itu) kecuai ia tidak berkeinginan untuk memasukinya’. Kemudian Allah Ta’ala mengelilingi (neraka itu) dengan keinginan-keinginan syahwati dan berfirman kepada Jibril, ‘Wahai Jibril! Pergi dan lihatlah neraka itu’. Jibril pun pergi untuk melihatnya. Kemudian ia kembali dan berkata, ‘Wahai Tuhanku, demi keperkasaan-Mu dan kemualiaan-Mu, sungguh aku khawatir bahwa tidak akan tersisa seorang pun kecuali akan memasukinya’.” (dalam penjelasan kitab Sunan Abu Daud, hlm. 13-14)
Surga dan neraka ibarat ganjaran bagi orang yang lulus ujian. Jika di sekolah atau di tempat kerja saja kita bisa berprestasi dalam belajar dan karir kita, sementara yang berprestasi akan diganjar dengan berbagai macam penghargaan dan fasilitas yang baik, maka amat wajar jika Allah menjadikan surga dan neraka sebagai ganjaran bagi manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Dan, perlu ditekankan bahwa hidup di dunia ini setiap detiknya adalah ujian. Ujian yang hasilnya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak di akhirat. Itu artinya, setiap hari kita harus menerima dan mengatasi berbagai ujian yang diberikan oleh Allah Ta’ala.
Jangan bayangkan bahwa ujian selalu hal yang pasti sulit dan menderita, adakalanya ujian yang diberikan Allah Ta’ala justru kita rasakan sebagai nikmat dan istimewa. Memang benar, ujian yang mendera kita berupa rasa sakit dan kesulitan ekonomi seringkali membuat kita harus lebih banyak bersabar dan berdoa untuk tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan dan kekafiran. Tapi, jangan bayangkan pula jika kita diberikan kesehatan, kekayaan dan kekuasaan adalah semata sebagai kebahagiaan, karena sejatinya itu juga merupakan ujian dari Allah.
Sebab, nikmat kesehatan yang diberikan Allah Ta’ala itu apakah akan mengantarkan kita untuk bersyukur atau malah sebaliknya, untuk ingkar kepada Allah? Nikmat kekayaan dan kekuasaan yang kita rasakan, apakah akan membuat kita bersyukur atau malah sombong dan dengan bebas menggunakan harta yang kita miliki untuk suka-suka tanpa aturan syariat Islam? Dengan kenyataan seperti ini, maka pantas jika kesehatan, kekayaan, dan kekuasaan pun termasuk bagian dari ujian yang Allah berikan.
Memang banyak orang yang tak tahan dengan penyakit yang diderita dan kemiskinan yang mendera mereka sehingga mengambil jalan pintas untuk bunuh diri demi mengakhiri hidupnya yang menanggung rasa sakit yang berat, atau tega berbuat maksiat dengan cara menjarah harta yang bukan miliknya demi memenuhi kehidupan ekenominya yang tak kunjung menunjukkan grafik yang meningkat. Ini adalah ujian.
Begitu pun bagi sebagian dari kita banyak yang tidak tahan menghadapi ujian berupa kesehatan, harta yang banyak dan juga kekuasaan. Jangan-jangan, kesehatan tubuh dan kekuasaan ternyata malah membuat kita merasa sombong, sebagaimana halnya dengan Firaun yang menganggap dirinya sebagai Tuhan, karena selama hidupnya memang dia nyaris tak pernah sakit berat ditambah pula dia memang punya tahta dan harta. Klop. Firaun jadi sombong. Sehingga ketika Nabi Musa ‘alaihi sallam mengajaknya untuk beriman kepada Allah, Firaun malah mendustakannya dan bahkan mendurhakainya.
Allah Ta’ala membeberkan kisah ini dalam firman-Nya (yang artinya), “dan katakanlah (kepada Firaun): “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)”. Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?”. Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar. Tetapi Firaun mendustakan dan mendurhakai. Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya. (Seraya) berkata: “Akulah tuhanmu yang paling tinggi”. Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya).” (QS an-Naazi’aat [79]: 18-26)
Ini kian meneguhkan bahwa selama kita masih hidup, ujian akan datang menghampiri kita selama itu. Karena hidup itu sendiri adalah ujian. Tinggal bagaimana kita menyikapinya dan menjadikan kehidupan ini lebih bermakna berlandaskan keimanan kepada Allah Ta’ala. Dzat yang telah menciptakan kita dan seluruh alam ini, termasuk surga dan neraka.
Itu sebabnya, jika kita ingin masuk surga, ada jalan yang harus kita lalui. Meski banyak rintangan, bukan berarti kita mundur untuk melaluinya. Jangan pula tergoda memilih jalan yang bertabur syahwat meski itu sangat menyenangkan, karena pada akhirnya akan mengantarkan kita menuju neraka. Semua dalam pertimbangan kita, apakah lebih memilih untuk masuk surga atau neraka. Dengan adanya pilihan tempat kembali di akhirat kelak, ini membuktikan bahwa dunia ini memang ujian dan Allah Ta’ala hanya akan memberikan tempat yang layak kepada mereka yang berhasil mengikuti petunjuk-Nya. Sebaliknya Allah akan memberikan tempat yang buruk, yakni neraka bagi siapa saja yang menentang-Nya dan mendurhakai-Nya.
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadist yang diriwayatkan Abu Said al-Khudri ra bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga dan neraka mengajukan protes. Surga berkata, ‘Ya Tuhanku, kenapa yang masuk ke dalam surga hanya orang-orang yang lemah dan orang-orang kelas gembel?’ Neraka berkata, ‘Ya Tuhanku, kenapa yang masuk ke dalam neraka ini hanya orang-orang yang kejam dan sombong?’ Allah berkata, ‘Surga, engkau adalah rahmat-Ku yang Aku berikan denganmu siapa saja yang Aku kehendaki. Dan neraka, engkau adalah siksa-Ku yang Aku berikan denganmu siapa saja yang Aku kehendaki. Setiap masing-masing dari kalian mempunyai penghuni’.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dalam kitab Tamasya ke Surga, hlm. 15)
Surga dunia
Sobat gaulislam, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih adalah seperti bunga-bunga yang mekar di kebun yang subur. Mereka memancarkan keindahan dan keharuman, memperkaya setiap sudut kehidupan dengan kedamaian dan kebahagiaan yang tiada tara. Coba deh kita bayangkan kalo memiliki sebuah rumah kecil di pinggiran desa, di mana setiap hari matahari terbit dengan sinar yang lembut memeluk dinding-dindingnya yang terbuat dari batu bata merah.
Di dalam rumah tersebut, ada ibu kita yang sederhana tapi shalihah dan penuh kasih sayang, menyiapkan sarapan sederhana untuk kita dan ayah kita yang sudah menanti di meja makan kayu tua. Meskipun hanya sedikit makanan yang ada, tetapi kebahagiaan kita sungguh melimpah ruah. Meski di luar tampak kesederhanaan dan kekurangan harta, tetapi di dalam, cahaya keimanan dan kedamaian hati menerangi setiap sudut ruangan. Itulah rahasia kebahagiaan yang mesti dimiliki, sebuah kekayaan yang tak ternilai. Ibaratnya, surga dunia. Surga sebelum surga.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS an-Nahl [16]: 97)
Ayat ini menjelaskan tentang balasan bagi orang mukmin di dunia, yaitu akan mendapatkan kehidupan yang baik.
Di lanjutan ayat tersebut, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS an-Nahl [16]: 97)
Sedangkan dalam ayat ini adalah balasan di akhirat, yakni alam barzakh.
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui.” (QS an-Nahl [16]: 41)
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (QS Huud [11]: 3)
Kedua ayat ini menjelaskan balasan di dunia dan di akhirat bagi orang yang beriman dan beramal shalih.
Bahagia di dunia itu ketika tercapai ridha Allah Ta’ala. Hati lapang, pikiran tenang. Sebab, kita senantiasa mengerjakan kebaikan-kebaikan dan amal shalih. Bermanfaat bagi sesama, shalat dan sedekah menjadi rutinitas kita, tilawah al-Quran pun terbiasa dilakukan, berbuat baik kepada sesama dengan sedekah, misalnya. Intinya, jadi shalih dan mushlih. Shalih itu kita berbuat baik, kalo mushlih orang yang mengajak kepada sesama untuk juga berbuat baik. Mengingatkan mereka agar tetap beriman dan beramal shalih. Selain para ulama yang bisa melakukan hal itu, kita juga insya Allah bisa sesuai kadar keilmuan kita.
Di nukil dari laman muslim.or.id, ada cerita menarik Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah, yang menceritakan Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, mengenai keadaannya yang penuh kesusahan, begitu juga keadaan yang penuh kesengsaraan di dalam penjara. Namun di balik itu, beliau termasuk orang yang paling berbahagia.
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala pasti tahu bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah Ta’ala, yaitu berupa siksaan dalam penjara, ancaman dan penindasan dari musuh-musuh beliau. Namun bersamaan dengan itu semua, aku dapati bahwa beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya dan paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar kenikmatan hidup yang beliau rasakan. Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan kesempitan hidup, kami segera mendatangi beliau untuk meminta nasihat, maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasihat beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun sering mengatakan berulang kali pada Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, “Apa yang dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku? Sesungguhnya keindahan surga dan tamannya ada di hatiku.”
Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan tatkala beliau berada di dalam penjara, padahal di dalamnya penuh dengan kesulitan, tetapi beliau masih mengatakan, “Seandainya benteng ini dipenuhi dengan emas, tidak ada yang bisa menandingi kenikmatanku berada di sini.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga pernah mengatakan, “Sebenarnya orang yang dikatakan dipenjara adalah orang yang hatinya tertutup dari mengenal Allah ‘azza wa jalla. Sedangkan orang yang ditawan adalah orang yang masih terus menuruti (menawan) hawa nafsunya (pada kesesatan).”
Bahkan dalam penjara pun, Syaikhul Islam masih sering memperbanyak doa agar dapat banyak bersyukur pada Allah, yaitu do’a: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik (Ya Allah, aku meminta pertolongan agar dapat berdzikir, bersyukur dan beribadah dengan baik pada-Mu). Masih sempat di saat sujud, beliau mengucapkan doa ini. Padahal beliau sedang dalam belenggu, tetapi itulah kebahagiaan yang beliau rasakan.
Tatkala beliau masuk dalam sel penjara, hingga berada di balik dinding, beliau mengatakan (yang diambil dari salah satu ayat al-Quran), “Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.” (QS al-Hadid [57]: 13)
Itulah kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang memiliki keimanan yang kokoh. Kenikmatan seperti ini tidaklah pernah dirasakan oleh para raja dan juga pangeran.
Para salaf mengatakan, “Seandainya para raja dan pangeran itu mengetahui kenikmatan yang ada di hati kami ini, tentu mereka akan menyiksa kami dengan pedang.”
Yuk, bahagia di dunia dengan tetap beriman kepada Allah Ta’ala, melakukan ketaatan dengan mengerjakan amal shalih, dan berbuat kebaikan kepada sesama. Hati lapang, pikiran tenang, Surga sebelum surga.
Jadi, jauhi maksiat dan hentikan permusuhan dengan sesama. Agar lebih mudah meraih surga. Syaikh al-Fudhail bin Iyyadh rahimahullah berkata, “Engkau mengharap kepada Allah al-Jannah, sementara engkau justru melakuan apa yang Allah benci. Tidaklah aku mendapati seorang yang lebih kurang akalnya darimu, terhadap dirimu sendiri.” (dalam at-Taubah karya Ibnu Abi Dunya, hlm. 91)
Semoga kita semua bisa mendapatkan surga di dunia dan tentunya surga di akhirat kelak. [O. Solihin | IG @osolihin]