Kerinduan umat Islam pada penerapan hukum Allah SWT semakin tampak. Semaraknya kegiatan ke-Iislaman, derasnya tuntutan penerapan syariat Islam, dan mengkristalnya sikap kaum muslimin untuk hanya taat kepada aturan Islam menunjukkan hal ini.
Namun, kaum kafirin dan antek-anteknya di dunia Islam berupaya menutup-nutupi cahaya Islam. Mereka mengatakan syari’at Islam itu cocok untuk masa lalu. Sedangkan kini, kata mereka, realitas, bentuk interaksi, dan kondisi masyarakat jauh berbeda. Jadi, menurut mereka, perlu penambahan dan pengurangan atau modifikasi sesuai kebutuhan.
Tulisan ini menepis anggapan tersebut dengan menjelaskan beberapa perkara yang secara hakiki justru menjamin keadaan hukum syari’at Islam itu langgeng dan konstan hingga hari kiamat, tak berubah, tak bertambah ataupun berkurang.
Kesempurnaan dan terpeliharanya wahyu
Allah SWT telah menyempurnakan syari’at Islam (QS. Al Maidah 3) dan menjaga kesempurnaan itu. Dia berfirman:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al Hijr 9).
Allah memelihara Al Quran dari penambahan maupun pengurangan. Dia berfirman:
“Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji,” (QS. Fushshilat 42).
Al Quran juga terhalang dari penyimpangan dan kerusakan. Allah berfirman:
“Alif lam raa, inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya di-ihkamkan serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu” (QS. Huud 1).
Dalam kamus Lisanul Arab, “Ihkam” berarti terjaga dan tercegah dari kerusakan. Jadi, Allah SWT menjaga dan mencegahnya dari kerusakan, penyimpangan, masukan, dan kebathilan. Demikian Qatadah menafsirkan ayat tersebut yang dinukil Imam Ath Thabari dalam tafsirnya.
Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman :
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak pula seorang nabi melainkan apabila ia memiliki suatu keinginan, syaithan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaithan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Al Hajj 52).
Dalam memahami ayat ini, Imam As Syathibi mengatakan : “Allah SWT mengabarkan bahwa Dia memelihara dan menjaga ayat-ayat-Nya sehingga tidak bercampur dengan selainnya. Tidak pula dapat masuk ke dalamnya perubahan maupun penggantian. Adapun As Sunnah, sekalipun tidak langsung disebutkan, namun As Sunnah merupakan penjelas bagi Al Qur’ an dan â€?beredar di seputarnya’. Jadi, As Sunnah merupakan bagian tak terpisahkan darinya. Makna Al Qur’an pun dikonfirmasikan dengan makna-makna As Sunnah. Al Qur’an dan As Sunnah saling menjelaskan dan menguatkan satu sama lain’ Lebih lanjut beliau menegaskan : Pemeliharaan tersebut langgeng sampai datangnya kiamat. Hal ini menunjukkan kepada Anda tentang terpeliharanya syari’at dan terjaganya dari perubahan maupun penggantian.”
Persoalan ini ditegaskan lagi di dalam firman Allah SWT :
“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al An’am 115).
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirul Quranil â€?Azhim menyatakan: “Benar dalam pengabaran, dan adil dalam hukum dan seruan. Setiap yang dikabarkan di dalamnya pasti benar, tanpa mengandung kesamaran maupun keraguan. Demikian pula, setiap yang diperintahkan pasti adil, tidak ada yang menandingi keadilannya. Setiap yang dilarang Al Quran merupakan kebathilan. Sebab, Dia tidaklah melarang selain mafsadat seperti firman Allah SWT :
“yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar“(QS. Al A’raf 157).
Adapun pernyataan “Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimatnya” maknanya adalah tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan hukum Allah SWT, di dunia maupun di akhirat, dan Dia mendengar perkataan-perkataan hamba-Nya dan Maha Mengetahui aktivitas-aktivitas dan tempat-tempat mereka. Demikian ditegaskan oleh Imam Ibnu Katsir.
Kebenaran dan keadilan yang benar-benar sempurna dan tidak ada yang dapat mengubah-ubahnya ini berhadapan dengan kesesatan, persangkaan dan kebathilan yang dikandung oleh hukum-hukum dan hawa nafsu manusia. Dalam ayat berikutnya Allah SWT menjelaskan bahwa kebanyakan penduduk bumi tidaklah mengikuti selain persangkaan, ilusi, kebathilan dan kesesatan. Dia berfirman:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan manusia yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta terhadap Allah” (QS. Al An’am 116).
Hakikat Al Khaliq dan makhluk serta terputusnya wahyu
Syari’ah adalah hukum-hukum syara’ yang telah disyariatkan Allah SWT kepada hamba-Nya serta diturunkan sebagai wahyu kepada Rasulullah saw dengan tujuan memberikan petunjuk kepada manusia tentang tata cara yang benar lagi diterima oleh Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan. Dan dengan penerapan syariat tersebut terpenuhilah kebutuhan jasmani maupun gharizah manusia. Pemenuhan tersebut menentukan apakah manusia kembali kepada kehidupan kekal di akhirat akan mendapatkan kenikmatan abadi langgeng ataukah siksaan kekal. Dengan kata lain bahagia dan tidaknya manusia tergantung kepada masa hidupnya di dunia yang mana tolok ukur keuntungan dan kerugiannya adalah keterikatan terhadap keseluruhan hukum-hukum syara’ dengan landasan aqidah Islamiyah. Allah SWT berfirman:
“Kami berfirman : Turunlah kamu semua dari surga itu ! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka,dan tidak pula mereka bersedih hati” (Al Baqarah : 38).
Gamblang sekali kita berada di hadapan timbangan dan tolok ukur yang telah difardhukan oleh Allah SWT, pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan. Tolok ukur tersebut adalah tolok ukur bagi jenis manusia dengan sifatnya manusiawinya. Dan sifat dasar manusia dari dulu hingga sekarang tetap sama, yaitu lemah, serba kurang dan serba membutuhkan. Sementara Allah SWT pun tetap, yaitu Maha Pencipta, Pengatur Kehidupan, Pemberi Rizki, Maha Gagah, Yang Menghidupkan dan Mematikan. Dia yang dulu ataupun Dia yang sekarang itu-itu juga, yaitu tempat kembalinya manusia yang kalimat-kalimatnya tidak mungkin ada yang dapat mengubah, dan hukumnya tidak ada yang dapat mengganti. Fakta bahwa manusia dulu dan sampai kapan pun sama dalam karakternya sebagai manusia dan Allah SWT juga sama baik dulu maupun sampai kapan pun semua ini memastikan secara akal bahwa setelah terputusnya wahyu yang merupakan jalan turunnya hukum-hukum Allah SWT pastilah syariat Islamiyyah langgeng dan konstan selamanya sampai hari kiamat. Jadi kelanggengan syariat Islamiyyah dipastikan oleh adanya tetapnya tabiat manusia, tetapnya hakikat pencipta serta tetapnya kalimat (sunnah dan hukum) Allah SWT.
Hakikat realitas dan tabiat benda
Dengan memahami fakta yang ada di tengah-tengah manusia tampak nyata realitas dan hakikat benda itu tetap. Misalnya aktivitas mencuri. Dalam pandangan Islam mencuri merupakan aktivitas mengambil barang secara sembunyi-sembunyi dari pemiliknya atau yang mewakilinya dengan syarat telah mencapai ukuran yang mengharuskan potong tangan. Hukum perbuatan mencuri adalah haram. Sanksinya adalah potong tangan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa dan Bijaksana.”(QS. Al Ma’idah : 38)
Diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah bersabda:
“Potong tangan diterapkan pada pencurian seperempat dinar atau lebih“( HR. Imam Bukhori).
Kini berkembang sarana-sarana dan teknik pencurian, demikian pula untuk memelihara harta diperlukan alat-alat penjagaan yang ketat termasuk peralatan elektronik, sehingga pencurian pun menjadi aktivitas yang memerlukan kesungguhan berfikir dan pengalaman. Namun, apakah perubahan dalam cara dan teknik seperti ini mengubah hakikat pencurian dan realitasnya seperti yang dijelaskan oleh hukum syara’? Jawabannya tentu saja tidak. Bila demikian, sementara Al Quran itu tetap Al Quran dan Hadits pun tetap Hadits, bagaimana mungkin berfikir untuk mengubah hukum? Bukankah hukum ini merupakan pemecahan yang benar yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai Pemilik Pahala dan Siksa, serta Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan?
Contoh lain hakikat khamer. Sekalipun penamaannya beraneka ragam, metode pembuatannya bermacam-macam, dan kemasannya juga berbeda-beda seperti whisky, bir, sampagne, sake dan sebagainya, hakikatnya tetap khamer, yakni minuman yang memabukkan dan merusak akal yang hukumnya haram itu. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman,sesungguhnya khamer, judi, undian nasib dan berhala merupakan najis dan perbuatan syetan, maka jauhilah oleh kalian agar kalian beruntung” (QS. Al Maidah 90).
Bila hakikat benda tersebut tetap tidak berubah, mungkinkah orang berakal mengatakan bahwa hukum Allah dalam hal tersebut harus berubah?
Siapa pun yang mengelaborasi hakikat perbuatan dan benda-benda adalah tetap dari dulu sampai sekarang sesuai dengan batasan-batasan hukum syara’. Memang, terjadi perubahan. Hanya saja perubahan tersebut pada perkara teknis, cara ataupun bentuknya semata. Sedangkan hakikatnya adalah sama saja. Jadi tetapnya hakikat perbuatan dan benda disertai dengan terjaganya syariat Islam menunjukkan pula bahwa syariat Islam itu bersifat langgeng sampai hari kiamat.
Peranan para sahabat
Para sahabat radhiallahuanhum yang sikap dan perilaku hidup mereka diridlai Allah dan kesepakatan mereka menjadi dalil syar’i amat berjasa dalam menjaga syari’at Islam agar tetap langgeng dan konstan. Ter kadang mereka meninggalkan perkara yang sunnah (mandub) karena khawatir masyarakat memahami perkara-perkara tersebut wajib. Abu Suraihah Al Ghifariy meriwayatkan: “Aku melihat Abu Bakar dan Umar bin Khatthab ra. kadang-kadang tidak menyembelih kurban karena khawatir orang-orang mencontoh keduanya (menganggap wajib bila terus menerus melakukan).”
Imam Syathibi mengatakan bahwa perkara-perkara mubah hakikatnya tidak boleh disamakan dengan mandub maupun makruh. Sebagai contoh, ketika Rasulullah saw disuguhi daging dhob (biawak). Beliau tidak memakannya, seraya berkata: “Di tempat kaumku tidak ada makanan seperti ini sehingga aku merasa jijik terhadapnya”. Sahabat pun makan hidangan tersebut dan Rasulullah membiarkannya. Ini menjelaskan bahwa makan biawak boleh, sehingga beliau tidak menyamakan antara mubah tersebut dengan haram maupun makruh.
Umar bin Abdul Aziz ra. berkata: ” Ingatlah sesungguhnya halal itu adalah apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya melalui lisan nabi-Nya dan itu halal sampai hari kiamat. Ingat pula perkara haram yang diharamkan oleh Allah dalam kitab-Nya melalui lisan nabi-Nya adalah haram sampai hari kiamat”.
Khatimah
Wahai kaum muslimin, sudah jelas bahwa syari’at Islam adalah hukum Allah SWT bukan hukum karangan umat Islam yang langgeng dan kostan. Tinggal kita mau tunduk kepada-Nya ataukah kepada hawa nafsu kita dan tipuan syaithan serta orang-orang kafir. Mari kita renungkan makna fiman Allah SWT :
“Katakanlah: Bahwasanya aku hanya seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasannya ilah kamu adalah ilah yang satu, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yangmempersekutukannya” (QS. Fushilat 6).
[Buletin Al-Islam – Edisi 11]