Thursday, 21 November 2024, 19:41

Priiit..!!!� teriakan peluit menghentikan seorang pengendara motor yang baru aja nerobos lampu merah. Dengan perasaan cemas, doi segera menghentikan kendaraannya. Kepalanya celingak-celinguk nyari sumber suara peluit. Dari kejauhan tampak tukang gorengan berjalan mendekati doi. Rupanya, tukang gorengan itu polisi yang menyamar. Dengan muka sangar, pak polisi membentak sang pengendara.

“Kenapa kamu nerobos lampu merah?�
“Maaf pak, saya nggak liat.� Jawabnya dengan muka memelas.
“Masa’ lampu merah segede itu nggak keliatan?� hardik pak polisi tanpa belas kasihan.
“Lampu merah sih liat pak. Cuma….â€? sang pengendara ragu meneruskan kalimatnya.
“Cuma apa?!!�
“Cuma saya nggak liat ada bapak. Hehehe…â€? jawabnya sambil nyengir.
Gubraks!

Penggalan cerita di atas boleh jadi mewakili mental masyarakat kita kalo udah berurusan dengan aturan. Yup, seperti episode sebuah iklan rokok. “taat kalo cuma ada yang liat�. Di tempat kerja, kalo ada bos atau atasan, sibuk kasak-kusuk ketik sana-sini di depan komputer biar keliatan kerja. Giliran bos udah berlalu, kembali ke aktivitas rutin dengan bermain solitaire, chatting, atau ngotak-ngatik friendster.

Begitu juga dengan lingkungan sekolah. Dandanan seragam sekolah rapi lengkap dengan bet dan lokasi plus dasi cuma keliatan pas ujian doang. Soalnya kalo nggak gitu, pengawas bakal mengeliminasi kita dari ruang ujian. Berabe dong. Ternyata saat ujian, nggak cuma pakaiannya aja yang rapi, tapi contekan pun nggak kalah rapinya. Sampe-sampe pengawas sulit menemukan jejak-jejak keberadaannya. Tapi giliran pengawas meleng dikit atau permisi ke belakang, langsung deh contekan dengan ukuran font kecil dan tulisan nggak karuan mulai menampakkan diri. Mumpung nggak ada yang liat. Nah lho?

Aturan Islam juga kebagian
Sobat, mental �taat kalo diliat’ ternyata mewabah juga pada sikap remaja muslim terhadap hukum Islam. Beberapa aturan Islam yang lengket dalam keseharian kita, masih aja pake pertimbangan ada yang ngawasin apa nggak.

Seperti shalat lima waktu misalnya. Sedih juga kalo kita tahu ternyata masih ada sebagian temen-temen kita yang shalatnya angin-anginan. Kalo disuruh ortu dengan ancaman pemblokiran uang jajan, baru deh mau shalat meski dengan berat hati. Pas lagi bareng bokin yang baru jadian, shalat nggak pernah ketinggalan. Tapi pas nggak disuruh ortu atau nggak terancam pemblokiran uang jajan, shalatnya tergantung mood. Gitu juga pas lagi sendiri tanpa kehadiran pujaan hati, urusan shalat mah entar-entar dulu. Payah deh!

Kewajiban menutup aurat juga mengalami nasib yang sama. Banyak remaja muslimah yang baru mau nutup aurat alias pake kerudung dan pakaian tertutup saat mau ikut pengajian atau pesantren kilat. Nggak enak kalo keliatan ustadz nggak nutup aurat. Ada juga yang rajin pake seragam sekolah yang menutup aurat lantaran diwajibkan sekolah. Diluar itu, mereka kembali ke alamnya yang dijejali tren fashion yang mengumbar aurat dalam berbusana. Sayang ya?

Sobat, mental �taat kalo diliat’ ini memang gaswat kalo dibiarkan. Remaja bisa terbiasa jadi munafik. Plus bisa terkontaminasi penyakit riya’ yang seneng dipuji atau diliat orang. Dua sikap ini yang bisa menggerogoti keikhlasan kita dalam beramal kebaikan. Nabi saw. bersabda: “Aku akan memberitahukan beberapa kaum dari umatku. Di hari kiamat mereka datang dengan membawa kebaikan seperti gunung tihamah yang putih. Tapi Allah menjadikannya bagaikan debu yang bertebaran. Tsaubah berkata: “Wahai Rasulullah, sebutkanlah sifat mereka dan jelaskanlah keadaan mereka agar kami tidak termasuk bagian dari mereka sementara kami tidak mengetahuinya.� Rasulullah saw. bersabda: “Ingatlah!, mereka adalah bagian dari saudara kalian dan dari ras kalian. Mereka suka bangun malam sebagaimana kalian, tapi mereka adalah kaum yang jika tidak dilihat oleh siapa pun ketika menghadapi perkara yang diharamkan Allah, maka mereka melanggarnya.� (HR. Ibnu Majah).

Tuh kan sobat, cuma para pengecut yang pantas punya mental �taat kalo diliat’. Mungkin aja dia merasa hebat dan jagoan bisa lolos dari pengawasan atas pelanggarannya, tapi sebenernya dia justru berjiwa kerdil yang nggak punya nyali untuk tetep komitmen dengan perilakunya yang terpuji. So, udah deh buang jauh-jauh mental pecundang ini. Atau kamu bakal tekor dunia-akhirat? Ih, amit-amit.

Cuma taat kalo diliat, kenapa?
Mental “taat kalo diliat’ tumbuh subur lantaran empat hal: niat, sanksi, pengawasan, en kesadaran.

Pertama, niat. Kita pasti tau kalo niat selalu ada di balik setiap perbuatan. Terlepas apa niat itu udah direncanain jauh-jauh hari atau spontan. Untuk ketaatan pada aturan, nggak semuanya enjoy jalaninnya. Aturan udah kadung dianggap ngebatasin gerak. Kalo ngadepin aturan, bawaan niatnya jelek mulu. Pikirnya, aturan ada untuk dilanggar, bukan untuk ditaati. Walhasil, kalo niat udah kuat, ngelanggar aturan jadi kebiasaan. Malah perbuatan dosa pun dianggap sepele. Dari sekedar nggak shalat, nggak nutup aurat, sampe jadi pelaku tetap maksiat apa pun. Cuma lantaran nggak ada yang liat. Berabe kan?

Kedua, sanksi. Sebuah aturan bakal tegak en punya power buat ngatur kalo ada sanksi yang tegas. Tanpa itu, orang bisa setengah-setengah taat ama aturan. Jangan mentang-mentang punya duit, aturan bisa dibeli. Sementara yang duitnya pas-pasan, kudu relapaksa hadir di pengadilan. Kalo rasa adil itu pilih kasih, orang nggak ngerasa penting untuk taat aturan. Ya, untuk apa taat, kalo yang nggak taat pun bisa seenaknya ngebeli aturan. Kalo udah begini, taat sama dengan makan ati. Cuapek deeeh!!

Ketiga, pengawasan. Ketegasan sanksi nggak punya arti tanpa pengawasan. Makanya, pengawasan yang kendor terhadap aturan, memancing orang untuk maen curang. Nggak ada polantas alias polisi lalu lintas, berarti ada kesempatan untuk nyari jalan pintas. Payah!

Keempat, kesadaran. Ini gerbang terakhir sebelum seeorang ngelanggar aturan. Niat udah kuat, sanksi nggak ketat, yang ngawasin juga nggak ada di tempat, berarti tinggal selangkah lagi. Kalo dia sadar ada beban moral untuk melanggar atau ngerasa bakal bikin rugi semua pihak, tentu mikir-mikir lagi untuk nggak taat. Sayangnya, beban moral terlalu lemah untuk mencegah pelanggaran. Di zaman nafsi-nafsi kayak sekarang, moral udah jadi almarhum. Yang ada tinggal kepentingan diri sendiri dan cuek dengan sekitarnya. Nggak asyik tuh!

Sobat, dari keempat faktor di atas, yang terakhir kudu dapet perhatiin khusus. Yup, soalnya kalo kesadaran seseorang dilandasi dorongan yang shahih, tentu nggak gampang tergoda melanggar aturan. Mesti niat, sanksi, atau pengawasan udah kondusif. Di sinilah pentingnya kita punya kesadaran shahih yang nggak cuma ngandelin beban moral. Dan itu ada dalam Islam. Yuk!

Allah pasti Ngeliat, Bro!
Sebagai seorang muslim, kita udah sering dengar sifat-sifat Allah yang biasa dikenal dengan sebutan asma’ul husna. Keyakinan terhadap asma’ul husna ini yang mengokohkan keimanan kita kepada Allah Swt. Keimanan yang akan melahirkan kesadaran akan adanya Allah dalam setiap perilaku kita di dunia. Penting nih!

Salah satu sifat Allah yang mulia itu adalah Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Itu artinya, Allah bisa melihat dan mengetahui setiap perilaku hambaNya baik di tempat terang maupun tempat yang tersembunyi. Termasuk mengetahui letak semut hitam yang berjalan di atas batu hitam di tengah malam yang gelap gulita. Tuh kan, makhluk kecil yang tak terjangkau penglihatan manusia aja dengan mudah diketahui Allah, gimana kita yang ukurannya beberapa ratus kali lipat dari ukuran semut. Makanya nggak wajar kalo kita selaku muslim merasa nggak ada yang ngawasin perbuatan kita saat berbuat maksiat.

Dalam sebuah kisah pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab, terjadilah dialog antara ibu penjual susu dengan putrinya.
“Tidakkah kau campur susu daganganmu dengan air? Subuh telah datang,� kata sang Ibu.
“Bagaimana mungkin aku mencampurnya, sedangkan Amirul Mukminin telah melarang mencampur susu dengan air?� jawab putrinya.
“Orang-orang telah mencampurnya. Kau campur saja. Toh, Amirul Mukminin tidak akan tahu.�
Putrinya menjawab, “Jika Umar tidak tahu, Tuhan Umar pasti tahu. Aku tidak akan mencampurnya karena dia telah melarangnya.�
Dari kisah di atas, kita bisa ambil pelajaran berharga bahwa pengawasan manusia terbatas, namun pengawasan Allah unlimited!

Lolos di dunia, belum tentu di akhirat
Sobat, di antara kita mungkin udah tau celah untuk lolos dari razia polantas. Ada juga yang mahir ngibulin guru biar bisa cabut tepat waktu. Atau mungkin udah terbiasa menghilangkan jejak agar tak terdeteksi oleh pengawasan ortu. Tapi siapa yang jamin kamu bisa sembunyi dari pengawasan Allah? Nggak ada. Kalo kamu ngerasa aman dan bebas ngelanggar aturan Allah cuma lantaran Allah nggak terlihat, siap-siaplah menghadapi rasa takutmu yang menjadi-jadi di akhirat nanti.

Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw., tentang perkara yang diriwayatkan beliau dari Tuhannya. Allah berfirman: “Demi kemuliaanKu, aku tidak akan menghimpun dua rasa takut dan dua rasa aman pada diri seorang hamba. Jika ia takut kepadaKu di dunia, maka Aku akan memberikannnya rasa aman di hari kiamat. Jika ia merasa aman dariKu di dunia, maka Aku akan memberikan rasa takut kepadanya di hari kiamat.� (HR Ibnu Hibban)

Karena itu, agar kita nggak ngerasa aman dari Allah di dunia, Allah udah ngasih konsekuensi pahala dan dosa untuk ngukur ketaatan kita pada syariatNya. Kalo kita senantiasa taat dan ikhlas dalam ngikutin tuntunan Allah dan RasulNya di hari-hari kita, kita bisa meraih pahala. Sebaliknya, kalo kita melanggar atau taat setengah hati terhadap Allah, dosalah yang kita dapetin. Semuanya bakal diperlihatkan pada kita diakhirat nanti.

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS al-Zalzalah [99]: 7-8)

Hanya ada satu cara untuk memperkuat kesadaran akan adanya Allah Ta’ala, yaitu dengan ngaji. Yup, dengan mengaji kita selalu diingatkan akan kebesaran Allah dengan sifat-sifatNya yang mulia, kelengkapan syariatNya untuk mengatur hidup kita, dan kasih sayang Allah bagi hamba-hambaNya yang selalu berusaha untuk taat di segala situasi dan kondisi. Selalu pake ukuran dosa atau pahala sebelum berbuat.

Kini, saatnya kita menguatkan kesadaran kita akan adanya Allah Swt. dan sifat-sifatNya. Cukup mental �taat kalo diliat’ hanya ada dalam pariwara aja. Nggak usah ditiru dalam berperilaku. Sebaiknya kita berprinsip: dengan atau tanpa pengawasan dari manusia, kita tetep taat ama aturan Allah. Karena Allah Swt. pasti ngeliat, malaikat Raqib dan Atid selalu mencatat, so, taat syariat nggak kenal tempat.[Hafidz]

(Buletin STUDIA Edisi 336/Tahun ke-8/9 April 2007)