gaulislam edisi 673/tahun ke-13 (26 Muharram 1442 H/ 14 September 2020)
Udah viral tuh penusukan Syekh Ali Jaber yang dilakukan seorang pria di Bandarlampung kemarin (Ahad, 13 September 2020). Meski lukanya tak fatal, tetapi kejadian tersebut patut menjadi perhatian kita semua. Iya, kok bisa ada orang melakukan hal sedemikian, menyerang seseorang yang sedang mengisi acara keagamaan? Konon kabarnya pelaku mengaku bahwa dia disuruh. Pertanyaannya, siapa yang menyuruh dia? Mungkinkah dia dihipnotis atau diancam agar melakukan perbuatan nekat tersebut? Bisa saja.
Namun, seperti biasa, jika korbannya adalah ustaz atau ulama atau pemuka agama dari kaum muslimin, pelaku dicap sebagai orang stres atau gila. Ya, seperti dalam kejadian ini, menurut pemberitaan, pelakunya udah 4 tahun gila. Gila yang seperti apa sih? Jangan-jangan hanya alasan supaya tidak dijerat hukum, seperti kejadian yang sudah-sudah. Memangnya mau mancing kemarahan umat Islam, supaya dalangnya bisa berdalih untuk melakukan perlawanan lebih besar lagi lalu menuduh umat Islam bikin onar? Jangan sampe kita kejebak permainan mereka ya. Tetap tenang, jangan terpancing. Cuma, tentu saja kudu siap-siap dan rapatkan barisan jika suatu saat memang hal tersebut terjadi. Waspadalah!
Kejadiannya nggak lama setelah isu radikal radikul redekel disemburkan seorang menteri. Ini udah dibahas di gaulislam edisi pekan kemarin, ya. Silakan dibaca aja. Ada pernyataan menteri tersebut bahwa pintu radikalisme masuk dari orang yang good looking dan hafal al-Quran. Nah, silakan cari benang merahnya dah. Bikin kuis deh, siapakah dalang dari semua ini? Benarkah ada pihak ketiga yang memanfaatkan isu ini untuk mengadu-domba pihak pertama dan pihak kedua? Ataukah memang pihak kedua yang akhirnya melancarkan serangan langsung secara fisik, setelah hanya sekadar cuap-cuap tak berhasil? Ayo, asah kemampuan berpikirmu!
Oya, kalo dipikir-pikir, nih. Kayaknya kita, kaum muslimin di negeri ini nelangsa betul. Padahal, negeri ini penduduknya mayoritas muslim. Pejabatnya juga banyak yang muslim. Namun, anehnya yang mayoritas ini selalu dipersekusi, selalu diberikan stigma (cap negatif) sebagai radikalis, anti NKRI, anti Pancasila, dan seabrek tuduhan lainnya. Nah, sekarang, udah mulai tuh menyerang secara fisik. Targetnya juga jelas dalam kasus ini, seorang tokoh nasional. Terkategori ulama, pula. Ada apa?
Seolah kaum muslimin ini tak putus dirundung fitnah. Selalu disalahkan, selalu disakiti perasaannya, selalu dinista hak-haknya. Udah gitu, dipalak dan digarong juga hartanya melalui rencana penggunaan dana haji untuk infrastruktur, bahkan terakhir sang menteri yang bikin pernyataan nyeleneh itu malah kementriannya nilep dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), khususnya untuk madrasah-madrasah swasta dalam naungan Kemenag. Bayangin aja, Rp 100 ribu per siswa dipotong. Kalikan saja misalnya 1 juta siswa, udah jelas kan dapat berapa tuh. Bilangnya nggak akan dipotong selama pandemi covid-19. Eh, malah dipotong. Udah mah bohong, korupsi pula.
Zaman fitnah
Sobat gaulislam, kita perlu tahu dulu ya istilah fitnah dalam bahasa Arab (menurut istilah Islam). Biar nggak ketuker dengan istilah dalam bahasa Indonesia. Judul buletin ini, gabungan, antara bahasa Indonesia dengan bahasa Arab. Eh, tapi fitnah udah masuk ke dalam Bahasa Indonesia, sih. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada dua pengertian. Pengertian pertama menurut Bahasa Indonesia, dan pengertian kedua menurut ajaran Islam.
Jadi, ini penjelasan kata fitnah dalam KBBI. Pertama, diartikan sebagai perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang). Kedua, menurut Islam, yakni perbuatan yang menimbulkan kekacauan, seperti mengusir orang lain dari kampung halamannya, merampas harta, menyakiti orang lain, menghalangi dari jalan Allah, atau melakukan kemusyrikan.
Nah, yang sesuai dengan judul buletin ini, adalah pengertian yang kedua, yakni menurut Islam. Mau tahu definsi lebih lengkapnya?
Begini. Saya ringkas dari website muslim.or.id. Dijelaskan bahwa Imam al-Azhari rahimahullah mengatakan, “Inti makna fitnah di dalam bahasa Arab terkumpul pada makna cobaan dan ujian.”
Ibnu Faris rahimahullah berkata, “Huruf Fa`, Ta`, dan Nun adalah huruf dasar yang shahih menunjukkan kepada cobaan dan ujian” (Maqayisul Lughah: 4/472)
Ibnul Atsiir rahimahullah berkata: “(Secara bahasa maknanya) “Ujian… dan (kata fitnah) banyak penggunaannya dalam perkara yang tidak disukai, kemudian setelah itu banyak digunakan untuk makna-makna: dosa, kekafiran, perang, pembakaran, penghilangan dan memalingkan sesuatu” (an-Nihayah 3/410)
Ibnul A’rabi telah meringkas makna-makna fitnah secara bahasa, yaitu: “Fitnah bermakna ujian, fitnah bermakna cobaan, fitnah bermakna harta, fitnah bermakna anak-anak, fitnah bermakna kekafiran, fitnah bermakna perselisihan pendapat diantara manusia, fitnah bermakna pembakaran dengan api” (Lisanul Arab, Ibnu Manzhur)
Di dalam al-Quran, kata fitnah juga tercantum. Beberapa di antaranya bermakna sebagai berikut:
Pertama, ujian dan cobaan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS al-Ankabuut [29]: 2)
Pengertian “Laayuftanuun” dalam ayat ini adalah “sedang mereka tidak diuji lagi?”
Kedua, siksa. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah mendapatkan siksaan” (QS an-Nahl [16]: 110)
Pengertian “futinuu”, “adalah mereka disiksa.”
Ketiga, syirik dan kekufuran. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi” (QS al-Baqarah [2]: 193)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kata “fitnatun” dalam ayat ini bermakna syirik.
Keempat, samarnya antara kebenaran dan kebatilan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Jika kalian (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kesamaran antara Kebenaran dengan kebatilan di muka bumi dan kerusakan yang besar” (QS al-Anfaal [8]: 73)
Makna “fitnatun” dalam ayat ini adalah samarnnya kebenaran dan kebatilan.
Kelima, pembunuhan dan penawanan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian men-qashar shalat(mu), jika kalian takut diserang orang-orang kafir.” (QS an-Nisaa` [4]: 101)
Dalam Tafsir Ibnu Jarir, disebutkan tafsir ayat ini, “Serangan orang kafir terhadap kaum mukminin, sedangkan mereka dalam keadaan shalat, saat sujud, hingga orang-orang kafir tersebut membunuh kaum mukminin atau menawan mereka.”
Nah, itulah beberapa pengertian atau makna fitnah dalam al-Quran. Jadi, jika dihubungkan dengan judul tulisan di buletin kesayangan kita ini, kita kaum muslimin memang sedang diuji oleh Allah Ta’ala. Seolah tak putus dirundung fitnah. Semoga kita semua bersabar atas ujian ini. Kemudian mengevaluasi dan berupaya untuk bisa menyelamatkan diri dari fitnah yang ada saat ini. Khususnya di akhir zaman seperti sekarang. Banyak pembunuhan terhadap kaum muslimin di berbagai negeri di belahan dunia ini. Sering juga persekusi terhadap kaum muslimin di negeri kita. Bersabarlah!
Settingan atau betulan?
Susah sih menganalisisnya untuk mengetahui secara pasti. Namun, kita tetap perlu waspada karena secara fakta sudah terjadi. Apakah itu settingan atau betulan memang kejadiannya begitu, tetap kudu waspada. Jangan lengah. Rapatkan barisan satukan perjuangan untuk mengantisipasi kejadian serupa atau yang lebih bahaya dari itu.
Sobat gaulislam, terlepas dari settingan atau betulan, kejadian ini tentu saja dimanfaatkan berbagai pihak untuk meraih tujuannya masing-masing. Ada yang “menggorengnya” untuk kepentingan politik tertentu. Ada pula yang melihatnya sebagai kejadian kriminal biasa. Ada pula yang tak percaya bahwa itu kejadian alami begitu saja.
Berarti yang perlu kita hati-hati itu opini dan informasi setelah kejadian ini. Sebab, biasanya ada yang mengarahkan ke mana opini akan dituju. Jadi kita nggak mudah ikuti irama pengendali opini yang menumpang di media massa. Masih mending sih sekarang ada media sosial, walau tetap harus selektif, jadi ada penyeimbang informasi. Tidak seragam digerakkan oleh beberapa media mainstream yang dikendalikan pemilik kepentingan tertentu, yang tujuannya memang memaksakan opini tertentu demi tercapainya tujuan mereka.
Mc.Luhan, penulis buku Understanding Media: The Extensive of Man, menyebutkan bahwa media massa adalah perpanjangan alat indera kita. Yup, dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita lihat atau belum pernah kita kunjungi secara langsung. Realitas yang ditampilkan media massa adalah realitas yang sudah diseleksi. Televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh yang lainnya. Surat kabar pun, melalui proses yang disebut “gatekeeping” lebih banyak menyajikan berbagai berita tentang “darah dan dada” (blood and breast) dari pada tentang contoh dan teladan. Itu sebabnya, kita nggak bisa, atau bahkan nggak sempat untuk mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media. Boleh dibilang, kita cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa.
Itu sebabnya, dalam dunia tulis-menulis–apalagi jurnalistik–seringkali teori nggak sama dengan pratiknya. Dalam menulis berita, apalagi itu adalah media asing yang punya kepentingan menyudutkan Islam, seringkali berita berubah jadi opini. Hampir semua berita yang disajikan sudah diseleksi dulu sebelum tayang untuk pembaca. Seluruh isi berita diedit oleh pihak berwenang sebuah penerbitan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari penerbitan tersebut. Jadi, akhirnya memang nggak ada yang obyektif jika itu berkaitan dengan ideologi tertentu.
Saya sampaikan di sini, berdasarkan pengalaman juga tentunya, bahwa tidak pernah ada yang namanya media massa yang obyektif dalam pemberitaan. Sebab, jika memang ada, semua pesan yang ada seharusnya menjadi menu berita sebuah media. Nyatanya? Nggak begitu. Semua sudah disaring, sampai-sampai sekadar surat pembaca pun itu akan ditampilkan setelah diseleksi di sana-sini, mungkin ditambahi ini dan itu oleh redaksinya.
Nggak usah bingung. Itu wajar saja kok. Selama saya bekerja di penerbitan Islam, memang selalu harus ada keberpihakan kepada kepada sesuatu, dalam hal ini berpihak kepada kebenaran. Cenderung (dan harus) membela Islam. Kamu kudu tahu, mana mungkin kan kita yang menggembar-gemborkan kampanye antipacaran, tapi tiba-tiba memasukkan tulisan yang justru propaganda pacaran? Itu sebabnya, memang tidak ada media yang obyektif. Tidak satu pun di dunia ini. Semua berjalan sesuai dengan visi dan misi yang telah dibuatnya.
Jadi, mulai sekarang bijak membaca berita dan menerima opini. Pastikan mengecek data selengkap-lengkapnya dan seakurat-akuratnya. Tapi ingat, hasil akhir dan arah berita atau pemahaman itu adalah dengan sudut pandang Islam. Kudu ada keberpihakan kepada Islam yang tinggi. Memang harusnya begitu kok.
Selain itu, jangan mudah percaya dengan beragam kabar yang di-share. Sempatkan waktu untuk mengecek ulang. Namun, bukan berarti jadi lemas bin lemah semangat untuk berjuang membela Islam karena banyaknya rintangan dan fitnah. Itu perkara yang lain. Jangan sampai fitnah akhir zaman ini terus menerus menimpa kita sehingga pada akhirnya menyerah. Perjuangan menegakkan Islam tetaplah prioritas. Semoga kita bisa melepaskan diri dari tekanan dan berdiri tegak, sehingga bisa segera usai dari berbagai fitnah kepada kaum muslimin selama ini. Semangat! [O. Solihin | IG @osolihin]