gaulislam edisi 479/tahun ke-10 (26 Rabiul Awwal 1438 H/ 26 Desember 2016)
Hehehe.. gaulislam jadi ikutan “telolet”, bahkan dijadikan judul edisi pekan ini. Entah kenapa akhir-akhir ini banyak orang jadi latah “om telolet om”. Oh, mungkin karena diblow-up oleh media (termasuk diviralkan di media sosial), jadinya heboh. Kalo dilihat-lihat ya, sebenarnya biasa aja ya. Sekadar kepuasan menikmati bunyi klakson bis. Konon kabarnya ada yang bilang dimulai dari bocah-bocah di Jepara yang berkerumun di pinggir jalan kemudian meminta sopir bis yang melintas untuk membunyikan klaksonnya. Setelah dipenuhi permintaannya, lau ekspresi bahagia dari mereka tergambar jelas dalam beberapa adegan. Ada yang konyol ada yang kocak. Begitulah. Kepuasan kadang didapat dari hal-hal yang sederhana.
Bunyi klakson bis-bis pantura itu sebenarnya dari dulu banyak yang unik. Biasanya sih untuk ‘jati diri’ alias ciri khas agar penumpang langganannya mengetahui dengan mudah bis yang bisa mereka tumpangi. Setiap bulan waktu saya masih sekolah di sebuah SMK di Bogor (akhir tahun 80-an) sering ke terminal Pulogadung. Bis-bis di terminal Pulogadung klaksonnya udah unik dari dulu, nggak cuma saat ini. Ketika bis itu baru masuk terminal saja, klaksonnya langsung dibunyikan. Masing-masing punya ciri khas. Maka penumpang langganannya sudah pasti bisa mengenali suara klakson tersebut yang artinya mobil yang ditunggu sudah datang. Oya, rutinitas saya ke Terminal Pulogadung setiap bulan semasa sekolah dulu karena hendak bertemu ayah saya yang berprofesi sopir bis AKAP (Antar Kota Antar Provinsi) dengan rute Kuningan-Jakarta, sekaligus minta jatah bulanan buat biaya sekolah.
Nah, kalo dulu bunyi klakson hanya sebagai penanda khusus bis tertentu yang bisa dikenali penumpang langganannya, kini bunyi klakson bis sekadar dinikmati di pinggir jalan dan anak-anak yang berkerumun itu nggak naek bis tersebut. Malah, akhir-akhir ini diberitakan bahwa ada sekelompok masyarakat yang berjejalan di jalanan, bukan sekadar menikmati bunyi “telolet”, tapi sekaligus selfie di depan bis. Macet? Sudah pasti. Hadeuuh….
Remeh temeh
Sobat gaulislam, kalo harus jujur sih, saya kudu bilang bahwa hal itu manfaatnya hampir tak ada. Boleh dibilang sekadar remeh temeh. Coba aja kamu pikir deh. Apa ada nilai lebih dari sekadar kepuasan semu? Nggak ada. Kalo pun bahagia itu semu. Benefitnya nggak ada. Beneran. Kecuali kalo kepuasan semu itu sendiri dimaknai sebagai kebahagiaan bagi yang bersangkutan. Tetapi tetap aja itu ukurannya pribadi, orang per orang. Bukan ukuran kesepakatan, apalagi menurut syariat. Betul apa bener?
Silakan kamu renungkan juga, apakah dengan berkerumun di pinggir jalan, lalu teriak “om telolet om” sambil menggunakan rekaman video ada manfaat yang didapat selain bahagia mendengar bunyi klakson bis itu? Capek sudah jelas. Butuh waktu untuk menunggu bis-bis yang lewat di jalanan sudah pasti. Merekam dan mengunggah rekaman ke media sosial, pastinya butuh duit. Semua itu mengeluarkan tenaga, pikiran, waktu, dan dana. Sementara hasil yang didapat nyaris tak ada. Untuk apa itu semua? Oh, mungkin sekedar eksistensi diri. Bisa dikenal orang. Senang? Bisa jadi. Tetapi apa iya harus mengorbankan banyak hal bila yang dikejar hanya hal seperti itu?
Memang nggak boleh ya kita mengerjakan atau melakukan hal yang remeh temeh? Hehehe… mungkin ada yang berseloroh, boleh aja sih yang remeh temeh asalkan itu bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Contohnya apa? Mengumpulkan barang bekas alias yang nggak kepakai. Itu memang terkesan remeh banget. Tetapi dengan mengumpulkan barang bekas tersebut kita dapat uang, yang menampung juga dapat uang, dan ketika dijual lagi sama yang nampung untuk diolah juga dapat uang. Semua kebagian manfaatnya. Nah, sekarang bagaimana dengan telolet? Mungkin juga ada yang merasa mendapat manfaat, yaitu mereka yang mengejar bunyi klakson lalu puas. Tetapi, apa manfaat bagi orang lain dan diri sendiri yang sifatnya menguntungkan? Sepertinya sulit dijelaskan dengan alasan logis. Sopir yang membunyikan klakson atas permintaan anak juga mungkin sekadar senang saja banyak penggemarnya. Tetapi apa itu berdampak pada penghasilan mereka? Rasa-rasanya agak sulit dikalkulasikan.
Bahagia ada aturannya
Setiap orang berhak untuk bahagia. Tetapi tentu ada aturan main yang membatasi. Nggak asal bahagia. Memangnya kita boleh bahagia di atas penderitaan orang lain? Nggak lah. Memangnya boleh kita bahagia saat mengerjakan maksiat? Sudah pasti dilarang. Nggak sembarangan. Ada aturan mainnya. Sebagai muslim, ukuran kebahagiaan itu adalah tercapainya ridho Allah Ta’ala. Artinya, kalo kita melakukan suatu perbuatan tetapi perbuatan itu nggak diridhoi oleh Allah Ta’ala karena perbuatan tersebut adalah perbuatan maksiat, jelas seharusnya kita nggak bahagia melakukan kemaksiatan. Betul? Misalnya pacaran. Gimana Allah Ta’ala ridho atas perbuatan pacaran, padahal di ayat ke-32 surah al-Israa ada larangan mendekati zina dan larangan berbuat zina? Nggak mungkin lah. Artinya pula, bila ada di antara kamu yang bahagia bisa melakukan pacaran, sejatinya bukanlah kebahagiaan yang hakiki. Itu kebahagiaan semu. Sebab, sekadar menuruti hawa nafsu belaka dan itu dosa.
Sobat gaulislam, berdiri di pinggir jalan dengan berkerumun dan siap merekam momen bahagia saat teriakan “om telolet om” dibalas dengan bunyi klakson oleh sopir bis, bukanlah perbuatan yang bernilai manfaat. Bahkan bisa jadi miskin manfaat. Mungkin kalo sekali-kali bolehlah. Sekadar hiburan. Tetapi bagaimana jika kecanduan dan bahkan sampai menguber menggunakan sepeda motor demi mendapatkan bunyi klakson yang diinginkan? Itu kan membahayakan. So, berpikirlah secara jernih. Jangan mengejar kebahagiaan semu dan sekadar main-main saja sebagai bentuk kepuasan diri.
Mulai sekarang bisa kamu pikirkan untung-rugi deh. Boleh juga mulai mengkalkulasikan manfaat dan dampaknya dari sekadar suka-suka saat dengerin bunyi klakson bis tersebut. Sebagai muslim, seharusnya lebih waspada dengan kehidupan di dunia, apalagi sudah tahu konsekuensinya. Iya, kan? Dunia itu punya kerlap-kerlip yang memang indah, tetapi fana. Artinya, jika kita hanya fokus mengejar kepuasan duniawi, berarti kita hanya senang-senang semata untuk waktu yang sementara. Padahal, ketika sudah menyadari bahwa kehidupan di dunia ini sementara, maka seharusnya bisa memanfaatkannya dengan banyak amal shalih. Beneran, lho. Kita berkejaran dengan sisa usia kita yang entah kapan nyawa ini dicabut oleh Malaikat Ijrail. Memangnya akan tetap bahagia ketika kamu berjoget-joget puas dengerin terompet raja jalanan ternyata pada saat itu juga nyawa kamu dicabut? Waduh, nggak banget, deh! Naudzubillahi min dzalik
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Ketimbang mengejar kebahagiaan (dan itu semu pula) dari hal yang remeh temeh begitu, sebaiknya kita berpikir ulang tentang apa yang musti kita perbuat di sisa usia kita. Ini genting dan penting banget. Genting karena kita sebenarnya berada dalam bahaya, tetapi kita berpuas diri dengan main-main. Penting untuk dipetimbangkan karena sebagai seorang muslim, justru kita seharusnya mampu berpikir dan bersikap serta bertindak yang benar dan baik menurut Islam.
Bahagia mendengar lantunan al-Quran?
Bener, lho. Sudah saatnya berpikir serius dan bertindak serius. Coba deh, lebih bahagia mana antara mendengarkan telolet dengan bacaan al-Quran? Seharusnya setiap muslim senang mendengarkan bacaan al-Quran. Sebab, bila memahami isinya, mendengarkan al-Quran akan menambah wawasan, mengobati penyakit hati, menenangkan pikiran, menentramkan jiwa yang resah. Jelas ada banyak manfaat yang didapat ketika mendengarkan bacaan al-Quran ketimbang mendengarkan bunyi telotet klakson bis. Please, dipikir ulang ya, Bro en Sis!
Allah berfirman, “Dan apabila dibacakan al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS al-A’raaf [7]: 204)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa mendengarkan satu ayat al-Qur’an, akan dicatat baginya satu kebajikan yang akan berlipat ganda. Dan barangsiapa membacanya, maka baginya cahaya di Hari Kiamat.” (HR Ahmad)
Bila untuk berburu bunyi telolet saja mampu, seharusnya berburu mencari ilmu jauh lebih mampu. Jika sama-sama keluar tenaga, waktu, pikiran, dan dana, maka mengeluarkan tenaga, mengorbankan waktu dan memeras pikiran serta menggelontorkan dana untuk mencari ilmu jauh lebih mulia ketimbang berburu untuk dengerin bunyi telolet klakson bis. Iya, kan?
Berburu ilmu jelas berpahala, manfaat yang didapat juga akan berguna bagi kita dan orang lain. Bagaimana dengan berburu bunyi klakson bis? Pahala nggak ada, manfaat juga nyaris tak ada—bila nggak mau dikatakan nol. Beneran, lho. Silakan direnungkan baik-baik. Sebagai seorang muslim, kita harus pandai memilih dan memilah perbuatan. Pastikan pula perbuatan tersebut bukanlah yang sia-sia, apalagi yang penuh maksiat. Semua harus yang bernilai pahala dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Berikan inspirasi terbaik bagi orang lain untuk berbuat kebaikan.
Eh, omong-omong, sebenarnya untuk para pemburu telolet bis, siap-siap aja nggak bakalan didapat lagi. Sebabnya, ada himbauan dari Kapolres Jember agar sopir bis tidak membunyikan lagi terompetnya saat diminta anak-anak yang berkerumun di pinggir jalan sambil teriak, “om telolet om”. Bahkan Dirlantas Polda Metro Jaya melarangnya. Nah!
Sobat gaulislam, yuk ah sadar diri. Kepuasan yang kita kejar bukanlah kepuasan semu—apalagi sekadar girang mendengar bunyi telolet. Budaya ini memang lambat laun akan ditinggalkan, tetapi nggak ada salahnya kita mulai meniggalkan sedini mungkin. Nggak usah latah ikut-ikutan teriak “om telolet om” di pinggir jalan sambil selfie. Lakukanlah kegiatan kaya manfaat seperti pengajian, dengerin bacaan al-Quran, baca al-Quran. Mumpung liburan sekolah bisa ikutan sanlat nambah ilmu nampung pahala. Tinggalkan perbuatan yang nggak ada manfaatnya. Ok?
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976)
Mulai sekarang, sadar diri yuk, lalu ajak teman-teman lain untuk berbuat baik. [O. Solihin | Twitter @osolihin]