Cerita Bersambung : Bag. II
Oleh : Putra Gara
Emak ngomel lagi, sudah bosen Sari mendengarnya. Emak tidak suka kalau Sari sudah ngadepin mesin ketik yang? ia pinjam dari temannya.
“Kerja yang nggak jelas dilakukan! Buat apa kamu ngarang kalau selama ini nyatanya nggak menghasilkan duit? Lebih baik kamu jualan sana, seperti biasanya,” begitu omel Emak.
Sari diam saja. Ia tidak mau menyahuti kata-kata Emak. Percuma, Emak keras kepala. Lima tahun ditinggal Bapak telah mengubah sikapnya.
“Nanti juga kalau Sari sudah jadi pengarang? terkenal? bakal banyak duit, Mak,” Sari bicara asal saja.
“Kapan? Kalau kamu udah besar? Kalau Emak sudah mati? Atau tahun 3000?” nada ketus Emak melecehkan Sari. Ia jadi kesal dibuatnya. Konsentrasi dan ide Sari dalam menulis cerita pun langsung pergi entah kemana.
“Jangan marah-marah melulu, Mak. Nanti cepat tua,” Sari berusaha sabar.
“Gimana nggak mau marah! Punya anak susah dibilangin. Disuruh bener malah ngelawan. Kalau nggak mau mendengar kata Emak, habis kamu mau mendengar kata siapa?”
Sari mendengus kesal. Emak terlalu bawel. Ia mengarang dibilang tidak ada kerjaan, buang-buang waktu.
Sari memang baru belajar mengarang, belum jadi pengarang. Untuk jadi pengarang, Sari memang harus banyak latihan. Tapi Emak tidak mau mengerti. Emak maunya praktis aja. Kerja, lalu dapat uang, seperti Sari bantu-bantu Emak jualan es atau koran. Tapi kalau begitu terus, bagaimana saya mau maju, pikir Sari.
“Pulangin tuh mesin ketik orang! Kalau barang itu rusak, Emak juga nantinya yang repot. Ngebelinya nggak bisa, ngegantinya bisa.”
“Iya, besok!” jawab Sari, sambil mendengus kesal.
ooOoo
Malamnya, sehabis sholat tahajud, Sari meneruskan mengetik ceritanya yang tertunda. Ditemani radio kecil peninggalan Bapak, dan segelas teh manis.
“Sar… Sari ..?” Suara lembut Emak memberhentikan pekerjaan Sari.
“Sar …!”? suara Emak terdengar lagi.
Sari cepat-cepat bergegas ke kamar Emak.
“Ada apa, Mak?” tanya Sari, di badan pintu kamar.
Emak terbatuk sebelum menjawab pertanyaan anak itu. “Pijitin Emak, Emak pegal sekali,” katanya setelah itu.
Sari tidak banyak bicara, langsung menuruti kehendak Emak.
Sesekali suara batuk Emak terdengar lagi, napas Sari jadi berat karenanya. Ah, mungkin Emak terlalu lelah. Lelah memikirkan hidup.
Kerja – jualan dari pagi hingga sore di pasar – sudah tentu menguras tenaga emak. Sesekali Sari memang bantu-bantu Emak. Tapi banyak malasnya. Biasanya kalau tidak membantu Emak, Sari jualan koran di terminal. Tapi sudah beberapa minggu ini, waktu luangnya digunakan untuk menulis cerita dengan mesin ketik pinjaman Ipul, teman Sari yang anak penjual nasi.
Sari memang kepingin jadi pengarang. Mungkin itu cita-citanya, entahlah. Ia cuma bercermin pada keberadaannya. Kalau Sari ingin jadi dokter atau insinyur, tentu harus sekolah yang tinggi. Sedangkan keberadaan Sari pas-pasan. Sudah bisa sekolah sampai SMP pun bagus.
Bukannya Sari tidak mau sekolah yang tinggi. Cuma … bukankah sekolah juga berarti uang?
Batuk Emak terdengar lagi.
Kalau seumpamanya Bapak masih ada. Mungkin Sari bisa sekolah sampai ke perguruan tinggi. Bapak sangat sayang sama Sari, ia tahu betul itu. Tapi sekarang Bapak sudah tidak ada. Bapak sudah tenang di alam sana.
“Jam berapa, Sar?” pertanyaan Emak membuyarkan lamunan Sari.
Sari melihat jam yang di dinding kamar. “Hampir jam satu, Mak,” katanya.
“Sudah malam. Kamu tidur saja, badan Emak sudah agak enakan. Jangan lupa, radionya dimatikan.”
Sari tidak menghiraukan kata-kata Emak. Ceritanya sudah hampir selesai. Tanggung kalau ditunda, sebab besok niatnya ia mau bawa ke redaksi, sekalian menanyakan naskah Sari yang dikirimnya seminggu lalu.
Saat melangkah keluar, Sari sempat menoleh ke arah Riri yang tengah tertidur pulas tidak jauh dari Emak.
Semoga tengah mimpi indah kamu, Riri, gumam batin Sari.
ooOoo
Mbak Dian, redaktur fiksi itu memulangkan naskah cerpen Sari.
“Ada satu yang lolos seleksi,” kata Mbak Dian sambil menerima naskah baru Sari.
Sari tersenyum dan bahagia sekali mendengarnya.
“Judulnya apa, Mbak?” tanya Sari.
“Apa, ya?” Mbak Dian berpikir sebentar. “Lupa, tuh,” katanya sambil garuk-garuk kepala.
“Iya, deh, makasih ya, Mbak,” Sari pamitan.
ooOoo
Sari pulang Emak marah-marah lagi. Lantaran ia tidak bantu-bantu Emak jualan es atau koran. Padahal Sari lagi pusing, pusing mikirin cerpennya yang masuk seleksi redaksi.
Sari tidak menyangka kalau cerpen itu bakal lolos seleksi. Padahal … cerpen itu “jiplakan” dari salah satu cerita di majalah remaja terbitan lama yang Sari punya. Sari memang hobi membaca. Meski setelah tamat SMP ia tidak sekolah lagi, minat belajarnya melalui bacaan amatlah besar. Karena kata Emak, belajar itu bukan hanya di sekolahan. Dan dari banyak membaca itulah Sari punya cita-cita ingin jadi pengarang. Ia ingin bisa menulis seperti penulis yang karyanya sering Sari baca. Kalau orang saja bisa, kenapa saya tidak, begitu, pikir Sari.
Namun cerpen pertamanya yang lolos seleksi itu ternyata hasil “jiplakan”. Meskipun nama dan tempat kejadian di cerpen tersebut berbeda, tapi terus terang, idenya Sari ambil dari cerita di majalah tersebut.
“Semakin besar kamu semakin ngelawan, Sar! Kamu nggak menghiraukan omongan Emak lagi. Kalo dari sekarang kamu nggak mau bantu-bantu Emak, mau jadi apa kamu nantinya?”
Sari tambah pusing mendengar kata-kata Emak. Dari itu ke itu saja omelannya.
“Besok kalau kamu nggak jualan lagi, Emak sama Riri akan pergi saja, biar nggak pusing ngurusin kamu. Dan kamu juga biar tenang nggak diganggu Emak terus,” emosi Emak benar-benar tumpah.
Sari diam saja. Ia ingat Bapak. Kalau Emak lagi marah atau cemberut, biasanya Bapak suka memeluk Emak sambil mencium keningnya. Dengan begitu biasanya Emak kembali baik, tidak marah atau cemberut lagi.
Sari melakukan apa yang pernah Bapak lakukan dulu, sambil bilang, “Besok Sari akan jualan, Mak,” buat menghibur Emak.
Benar. Emak tampaknya menurun emosinya. Ia menarik napas panjang dan mengeluarkannya pelan-pelan. “Emak cuma kepingin kamu mendengarkan apa yang Emak bilang, Sar,” kata Emak sambil memeluk Sari.
Sari tak berkata apa-apa.
Riri yang berada di sampingnya sudah tertidur pulas.
Malam kian larut. Kalau saja mesin tik Ipul belum dipulangin, mungkin Sari bisa mengetik cerpen malam ini. Tapi itu pun kalau bisa. Sari tidak bisa tidur malam ini lantaran dihantui perasaan tidak enak dengan cerpennya yang lolos seleksi itu, yang idenya boleh “ngejiplak”.
Sebenarnya, ini adalah kesempatan buat Sari untuk menunjukkan kepada Emak, bahwa mengarang juga bisa dapat uang. Sebab kalau cerpen Sari dimuat, sudah tentu bakal dapat honor. Tapi… cerpen yang lolos seleksi itu cerpen “jiplakan”.
Malam makin senyap, tapi Sari makin gelisah.
Seumpama saya biarkan saja cerpen jiplakan itu hingga dimuat, apa nanti kata pembaca yang pernah membaca cerpen tersebut? Ah, sudah tentu Sari bakal dicemoohan. Ah, Ipong mendesah pelan.
ooOoo
“Lho, kenapa diambil lagi?” Mbak Dian tidak percaya pada apa yang Sari katakan tadi, bahwa cerpennya yang sudah masuk seleksi itu mau ia ambil lagi.
Sari tidak menjawab pertanyaan Mbak Dian, cuma ngelemparin senyum doang.
“Kenapa, Sar?” Mbak Dian benar-benar tidak mengerti.
Sari mengatur napas dulu sebelum menceritakan kenapa ia ingin mengambil kembali cerpennya yang sudah lolos seleksi? itu. Setelah siap, maka Sari pun cerita.
Mbak Dian mendengarkan saja, sampai Sari bilang, “Begitulah ceritanya, Mbak.”
Mbak Dian cuma manggut-manggut. Dia diam saja. Sari jadi tidak enak hati. Ia lalu masuk ke ruang kerjanya. Tak lama kemudian, ia kembali lagi dengan naskah cerpen jiplakan karya Sari.
“Mudah-mudahan yang kamu kirim kemarin ada yang lolos seleksi, Sar,” kata Mbak Dian, pelan.
Sari cuma menelan ludah sambil memasukkan cerpennya yang ia tarik kembali itu ke dalam tas. “Mudah-mudahan, Mbak,” senyum Sari kaku sekali. “Insya Allah, cerpen itu bukan cerpen jiplakan. Karena cerpen yang saya kirim kemarin itu asli ide saya sendiri.”
Mbak Dian tersenyum. Ia menyukai semangat Sari, dan menghargai kejujurannya. Karena itulah Sari tetap diberi kesempatan untuk mengirim karya-karyanya meski Sari pernah berbuat salah dengan mengirimkan cerpen hasil jiplakan.
“Rajin berkarya, Sar, saya percaya kelak kamu akan menjadi penulis hebat. Bukan hebat namanya saja, tetapi karyanya juga. Karena kamu masih muda, perjalanan kamu masih jauh. Kalau kamu sudah menempanya sejak dini, Insya Allah, kamu pasti akan memetik hasilnya. Jangan lupa banyak membaca. Karena dengan banyak membaca kamu akan jadi banyak tahu. Ilmu pengetahuan kamu itulah yang akan membuka jalan kamu menuju apa yang kamu cita-citakan. Karena Allah pun menjanjikan sesuatu untuk orang yang berilmu,” pesan Mbak Dian panjang lebar.
Sari mendengarkan saja. Setelah itu ia pamit. Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah; ganti baju dan bantu-bantu Emak jualan es atau koran di terminal. Sari tidak mau Emak nanti kembali marah, kalau Sari sampai tidak jualan lagi. [bersambung…]
[diambil dari Majalah PERMATA, edisi 19/Desember/2008]