Ramadhan gini apaan sih yang asyik untuk dilakukan? Puasa, sholat, zakat, dan.. baca al-Quran yang banyak. Kenapa baca al-Quran? Karena membaca kitab suci yang satu ini emang bener-bener memberi efek yang amazing. Selain pahala yang berlipat ganda, efek sampingannya adalah ademnya hati ketika sedang membaca ataupun mendengarkannya. Kalo lagi khusyuk, bahkan tak jarang nih mata bisa meneteskan air loh. Beneran. Suer!
Selain yang tersebut di atas, di dalam al-Quran juga memuat banyak kisah tentang umat terdahulu baik yang kafir dan durhaka maupun yang baik dan sholeh. Itu semua bisa menjadi cermin bagi kita agar bisa diambil pelajaran darinya. Trus banyak juga tuh ayat-ayat yang berisi tentang rahasia penciptaan manusia, alam semesta bahkan kehidupan dunia dan akhirat. Di saat orang barat sibuk mereka-reka ada apa di balik kematian, apakah benar ada kehidupan lagi setelahnya, ternyata di dalam al-Quran semua itu sudah dijelaskan juga. Kalo kamu masih belum tahu,? waah.. itu artinya kamu kurang gaul tuh dengan al-Quran.
Hebat banget ya ternyata Al-Quran itu. Kok bisa kitab semungil itu memuat hal-hal yang luar biasa mulai A sampe Z detil-detil yang luar biasa? AMAZING!
Itu semua karena al-Quran bukan sekadar kitab suci biasa. Tapi benar-benar merupakan firman Allah yang diturunkan kepada kekasihnya yaitu Rasulullah Muhammad saw. Bayangkan aja, bila kita membaca al-Quran itu artinya kita sedang membaca kalam Allah. Allah berbicara dan berkomunikasi dengan kita yang notabene cuma manusia biasa.
Al-Quran adalah kalam Allah, Dzat Yang Maha Tahu. Jelas aja isi al-Quran teramat sangat bisa dipertanggungjawabkan dan valid meskipun usianya sudah berabad-abad yang lalu sejak mula diturunkan pada Rasulullah saw. Di situ termuat banyak hal yang berguna banget buat kehidupan. Maka tak heran kalo al-Quran bisa juga disebut kitab penuntun dunia-akhirat.
Penuntun di dunia, itu karena al-Quran memuat sejumlah hukum syariat yang adil karena dibuat oleh Yang Maha Membuat manusia. Semua aturan itu ada hanya untuk kebaikan manusia semata, lain tidak. Penuntun di akhirat, karena dengan melaksanakan syariat maka menjadi salah satu tiket untuk terhindar dari murka Allah waktu hari penghisaban. Kok bisa? Ya jelas bisa. Allah menurunkan al-Quran bukan hanya untuk pajangan dan perlombaan. Tapi Allah menurunkan al-Quran untuk diamalkan.
Tapi eh tetapi, kenapa ya pada kenyataannya al-Quran yang sebetulnya sangat amazing karena memuat semua aspek kehidupan ternyata malah tidak dihiraukan? Jangankan dihiraukan, dibaca aja nggak. Bahkan selepas Ramadhan, gaung al-Quran bisa dibilang tak berbekas sama sekali. Al-Quran kembali menghuni rak-rak masjid yang berdebu dan akan dibersihkan nanti setahun sekali bila Ramadhan datang lagi. Duh…
Al-Quran sebagai jimat
Kamu tahu jimat? Kalo kata orang Jawa singkatan jimat yaitu siji yen kerumat. Satu tapi dirawat. Meski pada tataran praktisnya jimat adalah sesuatu atau benda yang diagung-agungkan karena dianggap memiliki kekuatan supranatural.
Di negeri ini, al-Quran cuma difungsikan selayaknya jimat. Dirawat dan diagungkan tanpa diaplikasikan. Gimana mau diaplikasikan, lha wong selalu ada persyaratan tambahan yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di negara ini. Hmm….jadi al-Quran harus nurut dan disesuaikan dengan peraturan negara yang notabene buatan manusia? Jadi kedudukan manusia lebih tinggi dari Allah yang membuat peraturan itu dong? Naudzubillah. Tapi demikianlah faktanya memang.
Sehingga kamu jangan heran kalo al-Quran seakan menjadi kitab peninggalan masa lampau yang tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Opini seperti ini memang sengaja dihadirkan oleh mereka yang gerah apabila al-Quran kembali mempunyai peranan dalam kehidupan.
Jadilah, al-Quran boleh-boleh saja dibaca dan diperlombakan merdu-merduan suara. Tapi kalo diamalkan? Hohoho, nanti dulu. Sepasukan orang anti formalisasi (penerapan) al-Quran siap menghadang. Berbagai dalih dikemukakan untuk sekadar menghalangi al-Quran diterapkan. Jadilah, fungsi al-Quran menjadi jimat yang sama sekali tak ada peranan dalam kehidupan.
Mengapa bisa terjadi?
Pernah nggak terlintas dalam benakmu kenapa peranan al-Quran terpinggirkan? Mengapa umat Islam terutama pemudanya menjadi malu bila yang dibawa adalah al-Quran? Mengapa Das Kapital-nya Marx jauh lebih keren untuk ditenteng? Mengapa jangankan mengamalkan al-Quran, pemuda muslim ternyata banyak yang nggak bisa membaca al-Quran dengan baik dan benar? Apabila sudah bisa membaca dengan tartil, tapi mengapa sikap dan perilakunya sangat jauh dari pesan al-Quran? Dan masih banyak mengapa lain yang hinggap di benak dan sedang mencari jawabnya.
Mencari jawab dari semua pertanyaan di atas, mulai dari akar, runtutan peristiwa, sebab akibat, hingga teori konspirasi, semuanya membutuhkan analisa yang mendalam. Tapi karena space Studia terbatas dan supaya kamu menjadi cerdas, maka cuma ada satu jawabnya: SEKULERISME.
Yah… inilah biang keladi dari terjauhkannya al-Quran dari pemuda dan pemudi Islam masa kini. Inilah penyakit yang menggerogoti umat Islam dari dalam. Why? Karena pengemban ide sekularisme ini bukan orang lain. Tapi mereka yang notabene mengaku dirinya Muslim. Bahkan banyak di antara mereka yang keluaran pondok pesantren terkenal dan perguruan tinggi Islam terkenal yang menolak al-Quran untuk diterapkan. Alasan klise sih, yang penting nilai moralnya saja yang diambil.
Salah satu cara dari banyak cara licik mereka untuk merendahkan al-Quran adalah menganggap kitab suci ini sebagai layaknya buku-buku lain ciptaan manusia. Kitab suci ini tidak lagi dianggap suci sebagai firman Allah. Pelecehan demi pelecehan dilakukan untuk menunjukkan bahwa al-Quran hanya sekadar kertas yang ditulisi dengan tulisan Arab. Naudzubillah.
Salah satu contoh pelecehan itu adalah yang dilakukan oleh dosen IAIN sunan Ampel bernama Sulhadi Ruba. Dosen ini menyatakan bahwa al-Quran adalah makhluk dan menulisi secarik kertas dengan lafal ALLAH kemudian menginjak-injaknya (Sabili edisi 1 Juni 2006).
Lalu yang terbaru adalah perdebatan salah satu mahasiswa yang kebetulan teman saya yang mengatakan bahwa al-Quran adalah karya sastra. Sehingga kedudukannya setara dengan Romeo Juliet-nya Shakespeare dan karya sastra lain buatan manusia. Al-Quran sekadar teks, sama dengan teks-teks lain kedudukannya. Untunglah, dari sekian banyak dosen sastra yang mayoritas sekuler, ada dosen yang cukup lumayan pemahamannya terhadap Islam. Dosen ini tetap menolak definisi al-Quran sebagai karya sastra meski pun nilai sastra yang maknanya keindahan memang terdapat dalam untaian ayat al-Quran. Ya, seharusnya memang begitu.
?
Apa sikap kita?
Kalo? kamu mengaku dirimu sebagai Muslim sejati, bukan jadi-jadian, maka kamu pasti nggak terima dengan pelecehan demi pelecehan yang dilakukan musuh-musuh Islam berkedok sebagai pembaharu. Tidak terima tuh harusnya membutuhkan sikap, bukan sekadar kecaman tanpa melakukan apa pun. Trus, gimana dong?
Pelajari al-Quran dengan baik dan benar. Mulailah belajar membaca dengan tartil, kemudian memahami artinya dan mengamalkan. Tanpa mengamalkan, sama aja kamu mejadikan al-Quran sebagai jimat yang nggak ada efeknya dalam kehidupan. Selain itu, kajilah al-Quran bersama dengan orang-orang yang hanif (lurus) sehingga ajaran al-Quran itu tercermin dalam tingkah lakunya sehari-hari.
Lalu apa sikap kita terhadap mereka yang melecehkan al-Quran? Dari hadits riwayat Abu Daud, ada sebuah hadits tentang penghinaan terhadap Rasulullah Muhammad saw. dan vonisnya adalah hukuman mati. Ali bin Abi Thalib menuturkan bahwa ada seorang wanita Yahudi yang sering mencela dan menjelek-jelekkan Nabi saw. (Karena perbuatannya itu) perempuan tersebut telah dicekik sampai mati oleh seorang lelaki. Ternyata Rasulullah saw. menghalalkan darahnya.
See, ternyata melecehkan Rasulullah yang notabene adalah Nabi dan Rasul aja hukumannya sedemikian rupa. Apalagi melecehkan al-Quran yang merupakan firman Allah, Dzat Yang Maha Perkasa. Manusia itu memang sombong, cuma sedikit saja diberi nikmat akal, sudah berusaha untuk ngakalin ayat-ayat Allah. Wuih… kira-kira hukuman apa yang lebih parah daripada hukuman mati yah?
Memberi hukuman apa pun itu bentuknya bukan dibebankan pada individu semata. Meskipun ada tetanggamu yang berzina dengan terang-terangan, kamu nggak boleh dan emang nggak bisa tiba-tiba mendera 100 kali cambukan meskipun al-Quran memerintahkan demikian. Pak RT? Sama juga nggak boleh. Pak RW, Pak Lurah, Pak Camat juga nggak boleh. Sama, ketika ada yang melecehkan al-Quran sedemikian rupa, tidak serta merta kita bisa membunuhnya bila bertemu dengan tuh oknum. Why?
Pelaksana sebuah hukum haruslah institusi yang mempunyai kekuatan hukum pula. Apa dong institusi yang mempunyai kekuatan hukum dalam Islam? Daulah Khilafah Islamiyah. Karena institusi ini saat ini belum terwujud, maka jadi kewajiban kita semua yang mengaku dirinya Muslim dan Mukmin untuk berjuang menegakkannya. Karena tanpa institusi ini, hukum Islam yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah tak bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dengan maksimal. Dan juga, para penghina al-Quran akan semakin merajalela saja pola tingkahnya bila tak ada kekuatan hukum dari insitusi bernama Daulah Khilafah Islamiyah ini.
So, sebagai remaja Muslim, pelanjut tongkat estafet perjuangan untuk mengembalikan kehidupan Islam, harus mulai berakrab-ria dengan al-Quran sejak dini. Karena al-Quran inilah senjata ampuh untuk berjuang dan membentengi diri dari pengaruh kufur yang mengatasnamakan Islam. Al-Quran inilah pembeda (Furqaan), mana yang sekadar menjadikan ayat-ayat di dalamnya sebagai olok-olok dan mana yang benar-benar menjadi pembelanya. Dan dengan al-Quran inilah Islam akan kembali jaya dan tidak sekadar jadi bulan-bulanan Amerika dan sekutunya.
Berlomba mengamalkan al-Quran
Berlomba-lomba mengkhatamkan al-Quran memang baik pada bulan suci ini. Tapi akan jauh lebih baik apabila berlomba-lomba untuk menerapkan al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Caranya adalah dengan mengkaji isi dan maknanya serta menyampaikannya kepada orang-orang di sekeliling kita. Kata Rasulullah, “dan sampaikanlah meskipun satu ayat.�
Al-Quran tak akan terlihat amazing-nya bila cuma ditumpuk di pojok masjid. Al-Quran tak akan terlihat luar biasa bila tak diambil secara keseluruhan. Al-Quran sudah sempurna, tak perlu tambal sulam dari kitab lain untuk melengkapinya. Tidak dari Das Kapital-nya Marx, bukan pula dari Republic-nya Plato. Bila pun al-Quran diturunkan dalam bentuk global, maka ada as-Sunnah yang akan memerincinya. Bila masih kurang juga, ada ijma’ shahabat dan qiyas yang akan menjelaskan dengan gamblang. Bila masih kurang juga, ada ijtihad yang bisa ditempuh dengan tetap mendasarkan pada al-Quran dan as-Sunnah.
Sungguh, umat Islam tak perlu kitab-kitab lain yang berasal dari keterbatasan akal manusia. Pemuda pemudi Islam tak perlu silau dengan kemajuan kaum yang mencampakkan kitab sucinya dengan dalih sekulerisme. Karena Islam sebaliknya. Bila al-Quran ini dicampakkan, maka kehinaan dan kemunduranlah akibatnya. Tapi bila ingin maju, maka al-Quran diterapkan adalah jawabannya. So, Sekulerisme? No Way! Demokrasi? Ke laut aje deh! Sosialisme-Komunisme? Enaknya dikubur tuh! Kebatinan? Yee.. hari gini masih ngimpi! Menerapkan Islam sebagai ideologi negara berlandaskan al-Quran? Yes! Yes! Yes! [ria]
(Buletin STUDIA – Edisi 314/Tahun ke-7/9 Oktober 2006)