Sunday, 24 November 2024, 09:07

logo-gi-3 gaulislam edisi 089/tahun ke-2 (13 Rajab 1430 H/6 Juli 2009)


Horeee, dapet kesempetan lagi nulis buat gaulislam. Setelah lama absen nggak nulis, sekarang giliran gue lagi, memulai nulis setelah agak lama vakum ternyata nggak mudah, berkali-kali udah gue coba untuk mulai nulis yang terjadi malah gue main sim 3 atau justru facebook-an. Bukannya tulisan beres, malah tidur pun jadi kurang, tulisan amburadul, besoknya jadi telat sholat subuh, rugiiiiii. Huh, pinter nian setan mencuri waktu gue.

BTW, artikel ini sengaja gue kasih judul dari bahasa Inggris. Bukan keren-kerenan, lho. Tapi emang gue pengen aja udah lama gaulislam nggak pake bahasa Inggris. Ya, modal gue jalan-jalan ke luar negeri sih, ke Singaparna (halah, ini sih di Tasikmalaya ya!). Tahu nggak itu artinya apa? Sederhananya, tuh rangkaian kata di judul tersebut berarti “ngebo’ongin diri sendiri”. Kalo bahasa habitat asli mah ngerti kan? Hehehe..

Ok, artikel ini gue mulai dari jumat kemaren (artinya gue nulis artikel ini hari sabtu). Seperti biasa hobi lama gue adalah makan siang, tapi ada yang aneh siang ini, entah kenapa suasana kok sepiiii banget ya? Apa gue di wilayah waktu yang salah ya? Ah nggak juga, tuh matahari ada, tadi juga barusan jumatan. Hmm.. cuek aja ah, yang penting maem dolo, setelah soto mie sepanci abis, es doger 2 gelas dan batagor 5 piring (wasyah.. ini gue kesurupan kali ye makannya kayak gitu!), ketemu deh jawabannya.

Iya, hari ini nggak ada anak-anak sekolah di tempat makan siang gue. Biasanya tempat ini rame banget sama anak-anak sekolah. Setelah ngobrol dua jam ama abang soto mie, baru ketahuan, ternyata anak-anak sekolah pada sepakat dalam tiga minggu ini mereka tidak masuk sekolah. Loh pada boikot nggak mau sekolah karena sekolah sekarang mahal? Nggak tuh, mereka sekarang pada liburan. Whaaaaaaaaa, ngga kerasa udah liburan lagi. Ahh pentesan ponakan gue minggu lalu, ribut cari pesantren, padahal pesantren setahu gue nggak pergi kemana-mana (loh?). Gubrakz!

Waktu milih sekolah baru, emang selalu menjadi saat yang menegangkan, nggak kalah menegangkan dengan film horor. Semua selalu berharap bisa masuk ke sekolah yang favorit walau kenyataannya sekolah favorit hampir pasti favorit juga duitnya. Sebelum daftaran sekolah, biasanya murid dan orang tuanya berusaha untuk melakukan rating, terhadap sekolah yang hendak mereka tuju, tentunya sekolah dengan rating yang lebih tinggi, akan menjadi rujukan utama mereka. Walaupun rating ini biasanya akan berubah ketika murid/anaknya sudah masuk kesalah satu sekolah yang dituju, berubah gimana?

Iya berubah, biasanya kalo murid dan orang tuanya disuruh memberikan penilaian terhadap beberapa sekolah, mereka akan melakukannya dengan baik, tetapi setelah murid tersebut diterima di salah satu sekolah, dan mereka diminta untuk memberikan rating lagi, hampir pasti sekolah yang saat ini menerima mereka akan menempati rating yang paling tinggi. Wow aneh ya? Iya jangan percaya gue, coba aja buktiin sendiri.

Misal ada 3 pilihan sekolah. Sebagai contoh SMP 1, SMP 4 dan SMP 5. Sebelum daftar dan keterima di salah satu sekolah tersebut, urutan ratingnya adalah SMP 1, SMP 4 baru kemudian SMP 5. Tapi setelah berusaha mendaftar dan akhirnya keterima di SMP 5, kemudian sebulan setelah itu disuruh untuk bikin rating lagi, hampir pasti ratingnya adalah pertama SMP 5, baru kemudian SMP lainnya, kenapa ya bisa seperti ini? Kok berubah ya? Emang manusia seperti itu nggak peduli usia, mereka cenderung didikte oleh pilihan mereka, kenapa? Supaya ada pembenaran terhadap pilihan yang telah dilakukan alias untuk menjustifikasi pilihan yang telah dilakukan dan tidak akan segan-segan berbohong terhadap diri sendiri. Whuiiiihhh.

Disonasi kognitif

Uraian sebelumnya sebenernya adalah salah satu contoh dissonasi kognitif yang sering kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari. Eit! Disonasi kognitif apaan yah? Disonasi kognitif adalah istilah yang pertama kali di perkenalkan oleh seorang psikolog bernama Leon Festinger pada tahun 1954. Disonasi kognitif didefinisikan sebagai “perasaan tidak nyaman secara psikologis yang dihasilkan dari kombinasi dua hal/pemikiran yang saling bertentangan”. Semakin besar rasa tidak nyaman dirasakan, maka semakin besar pula keinginan dari dalam diri manusia untuk meredam ketidak-nyamanan tersebut. Dalam teori disonasi, disebutkan bahwa jika manusia ber-aktivitas/bertindak namun tindakannya bertentangan dengan keyakinannya, maka umumnya manusia akan merubah keyakinan sebelumnya, untuk menyesuaikan dengan pilihan kegiatan yang mereka lakukan ataupun malah sebaliknya. (whahahaha, eh kenapa kok gue ketawa ya?)

Sebenernya cukup banyak praktik disonasi kognitif terjadi di sekitar kita, misal seorang perokok tetap akan merokok, walaupun semua penelitian menunjukkan bahwa rokok nggak ada manfaatnya, tapi apa yang kita jumpai dalam masyarakat kita? Berkurang? No! Seorang perokok kalo ditanyain kenapa sih kok masih merokok? Jawaban standar adalah “Saya sudah berusaha untuk berhenti, cuma berat banget (berat kayak disuruh mindahin truk tronton, kali ya?) untuk bisa berhenti” atau mungkin pendapat lain, “ah ngerokok bikin mati, nggak ngerokok nantinya juga mati, wah mending ngerokok aja”, well you know lah, para perokok akan menjustifikasi kegiatan mereka dengan seribu satu alasan yang dirasionalisasi atau bahkan malah denial (penyangkalan), hal ini merupakan dua hal yang paling sering dilakukan, ketika berhadapan dengan dissonasi kognitif mereka.

Tidak semua orang akan merasakan disonasi kognitif sebagai masalah dalam kehidupan mereka. Bagi mereka yang sudah terbiasa banget ngeboong dan bullshit dalam kehidupan sehari-hari mereka, atau bagi mereka yang sudah terbiasa faking (berpura-pura) dalam keseharian mereka, disonasi kognitif bukan masalah sama sekali. Walau secara fitrah mereka ini tetap tidak bisa diingkari perasaan ketidak-nyamanan tersebut. Dalam agama kita, kita kenal orang-orang seperti ini sebagai orang yang membawa ciri munafik.

Disonasi kognitif merupakan salah satu dari sekian banyak hal yang kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari, yang menjelaskan kenapa manusia lebih memilih suatu opsi dari pada opsi lain, walaupun opsi tersebut salah. Jadi pada prinsipnya manusia tidak suka untuk mempercayai bahwa tindakan mereka salah, bila hal tersebut terjadi, maka biasanya manusia akan mengatasinya dengan cara membatasi diri/membatasi informasi terhadap semua hal yang bisa mengubah opsi/pilihan mereka, mencari justifikasi tindakan mereka dan kemudian penyangkalan, karena semua kegiatan ini sepertinya berulang/standar, bila kita menemuinya, bisa dipastikan itu merupakan tanda-tanda disonasi kognitif.

Contoh yang paling ‘seksi dan genit’ saat ini adalah pas musim kampanye pilpres. Rame-rame ada kelompok yang mendukung pasangan capres/cawapres tertentu (padahal menurut Islam satu pun ngak ada yang memenuhi kriteria untuk dipilih). Meskipun udah tahu tuh capres/cawapres nggak bener. Eh, malah dibelain juga. Gue yakin tuh orang banyak juga alasannya. Taat pimpinan lah, memilih yang buruknya sedikit daripada yang banyak buruknya. Halah, basi deh loh! Gimana pun juga demokrasi nggak bakalan mau memberikan kesempatan kepada Islam yang bakal membunuh demokrasi itu sendiri.

Terus gimana nih ngadepinnya?

Pada prinsipnya disonansi kognitif seperti berbohong terhadap diri sendiri, dan seperti umumnya sifat bohong, satu kebohongan harus ditunjang dengan kebohongan lainnya untuk tetap mempertahankan kebohongan tersebut. Misal kita bohong udah makan, padahal belum tuh. Supaya kuat, kita minta temen-temen kita untuk memberikan afirmasi kalo kita udah makan (kebohongan kedua), dan seterusnya. So, bohong seperti “chained reaction” atau reaksi berantai. Sekali kita mulai, tinggal tunggu kebohongan berikutnya. Rugi dong? Jelaslah. Dosa banget dong? Pastilah. Makanya kebanyakan orang nggak mau dibohongin.

Untuk ngadepin disonasi kognitif cuma ada satu cara, yaitu jujur terhadap diri sendiri dan terbuka untuk mau berubah. Memang tidak mudah melakukan perubahan, baik berupa perubahan pola sikap ataupun perubahan pola pikir. Biasanya orang yang bertipe extravert lebih mudah mengatasi disonasi kognitif daripada orang yang introvet. Namun demikian apapun sifat seseorang, kalo dia mau berubah nggak ada masalah sih sebenernya.

Terus gimana kalo nggak bisa berubah? Sebenernya tidak ada yang tidak bisa berubah, cuma ada beberapa kelompok orang yang memang perlu tenaga ekstra untuk menyadarkannya/mengubahnya. Salah satu metode yang bisa ditempuh kalo kita ngadepin orang seperti ini adalah dengan meningkatkan pemahaman dia terhadap obyek yang mengalami disonasi. Misal nggak mau berhenti ngerokok, ya disadarkan dengan cara menjelaskan bahaya merokok. Tentunya tidak bisa langsung menjelaskan bahaya rokok, tapi dimulai dengan menjelaskan mengenai pentingnya hidup sehat secara keseluruhan, jadi nggak cuma berhenti ngerokok saja. Percuma kalo berhenti ngerokok tapi makannya masih ugal-ugalan, istirahat nggak teratur, apalagi ditambah minum khamer, percuma tak berguna dah.

Menyadarkan orang yang tengah mengalami disonasi kognitif emang paling baik dengan meningkatkan/mengkoreksi pemahaman orang tersebut terhadap obyek disonasinya, tergantung obyeknya. Misal contoh lainnya, kita ketemu sama orang yang suka ngelakuin bid’ah, terus kita dakwahi supaya sadar dan berhenti dari kegiatan bid’ahnya, ternyata orang tersebut nggak suka dan terus kita adu dalil, orang tersebut kalah, terjadilah disonasi kognitif, ini ditengarai dengan:

Pertama, rasionalisasi/justifikasi: diindikasikan dengan jawaban seperti “kegiatan ini seperti yang dicontohkan sama guru gue, yang udah pasti jago banget bahasa Arab, jadi udah pastilah nggak akan keliru”, Abu Jahal dan Abu Lahab juga orang Aarab, jago bahasa Arab pula, tapi kok mereka sesat ya? Ada juga yang lahir sampe gede bahkan mati di Arab juga, tapi tidak pernah bisa bahasa Aarab, tanya deh tuh unta, whahahaha.

Kedua, membatasi diri: biasanya di tengarai dengan tidak mau/menolak bertemu dengan kita, boro-boro ketemu, telpon, sms dan sebagainya juga nggak mau. Kemudian orang-orang di sekitarnya juga diproteksi terhadap kemungkinan terpengaruh.

Ketiga, penyangkalan (denial): hal ini ditengarai dengan pemutusan hubungan kekeluargaan (kalo masih keluarga), pengucilan dalam masyarakat/kelompok, pengusiran, sampai dengan dituduh sesat dan sebagainya.

Bagaimana menghadapi kondisi di atas, bisa jadi tulisan yang lebih panjang lagi, hampir pasti nggak akan lolos editan redaktur gaulislam karena kepanjangan. So, lets save it for some other time.

Akhirnya….

Bro en Sis, manusia memiliki kemungkinan besar untuk salah, sebagai makhluk yang sangat rentan dengan kesalahan, kita harus sadar kalo kita bisa saja salah, dan bahkan bener-bener salah, dalam kondisi seperti ini lebih baik kita mengakui kesalahan kita. Minta maaf kalo perlu, dan kemudian melangkah ke depan dengan tekad tidak mau lagi mengulangi kesalahan yang sama. Cara seperti ini menghemat cukup banyak waktu, energi dan rasa sakit dalam hati (kalo ada). Belajarlah dari masa lalu, tapi hiduplah untuk masa depan! (cie.. gue ngedadak bijak neh!)

Imam Ibnul Qayyim berkata, “Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain.” Catet, Bro!

Allah Swt. berfirman: “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.” (QS al-Maidah [5]: 119)

Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena kejujuran merupakan mukadimah akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya kepada akhlak tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi, “Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan.”

Kebajikan adalah segala sesuatu yang meliputi makna kebaikan, ketaatan kepada Allah Ta’ala, dan berbuat bajik kepada sesama.

Sifat jujur merupakan tanda keislaman, timbangan keimanan, dasar agama, dan juga tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut. Baginya kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan.

Ok deh artikel ini gue tutup dengan pesan salah satu guru gue: “Katakan kebenaran itu meskipun terasa pahit”, Semoga Bermanfaat [aribowo: aribowo@gaulislam.com]

1 thought on “The Lies That We Tell to Our Self

  1. Andaikan ada pil manjur yg dapat menyembuhkan penyakit “berbohong” tidak juga kita membelinya meski harganya sangat murah..bahkan kebanyakan kita lebih mampu membayar mahal satu kebohongan demi kesenangan sesaat…padahal berbohong adalah pangkal penyakit kejiwaan yg disebut dengan “depresi”yg dapat berkembang menjadi penyakit fisik lainnya, semoga Allah SWT melindungi kita dari sifat pembohong..

Comments are closed.