Wednesday, 4 December 2024, 00:28

Sungguh tragis nasib Timbuktu. Kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam di benua Afrika Barat itu, kini telah berubah menjadi wilayah yang terisolasi dan terpencil. Situasi dan pemandangan ‘negeri di ujung dunia’ itu, begitu kontras bila dibandingkan dengan Timbuktu 900 tahun lalu – ketika Islam mencapai kejayaannya di wilayah itu.

Sejarah mencatat, pada abad ke-12 M Timbuktu telah menjelma sebagai salah satu kota pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang termasyhur. Di era kejayaan Islam, Timbuktu juga sempat menjadi sentra perdagangan terkemuka di dunia. Rakyat Timbuktu pun hidup sejahtera dan makmur.

Secara gemilang, sejarawan Abad XVI, Leo Africanus, menggambarkan kejayaan Timbuktu dalam buku yang ditulisnya. ”Begitu banyak hakim, doktor dan ulama di sini (Timbuktu). Semua menerima gaji yang sangat memuaskan dari Raja Askia Muhammad – penguasa Negeri Songhay. Raja pun menaruh hormat pada rakyatnya yang giat belajar,” tutur Africanus.

Di era keemasan Islam, ilmu pengetahuan dan peradaban tumbuh sangat pesat di Timbuktu. Rakyat di wilayah itu begitu gemar membaca buku. Menurut Africanus, permintaan buku di Timbuktu sangat tinggi. Setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku. Sehingga, perdagangan buku di kota itu menjanjikan keuntungan yang lebih besar dibanding bisnis lainnya.

Lalu bagaimanakah peradaban Islam bisa berkembang pesat di negeri yang berada nun jauh di ujung dunia itu? Tombouctou – begitu orang Prancis menyebut Timbuktu – adalah sebuah kota di negara Mali, Afrika Barat. Kota multietis itu dihuni oleh suku Songhay, Tuareg, Fulani, dan Moor. Secara geografis, Timbuktu terletak sekitar 15 kilometer dari Sungai Niger.

Kota Timbuktu didirikan suku Tuareg Imashagan pada abad ke-11 M. Alkisah, saat musim hujan, suku Tuareg menjelajahi padang rumput hingga ke Arawan untuk mengembalakan hewan peliharaan mereka. Ketika musim kering tiba, mereka mendatangi sungai Niger untuk mencari rumput. Ketika tinggal di sekitar sungai, suku Tuareg terserang sakit akibat gigitan nyamuk dan air yang menggenang.

Dengan kondisi yang kurang menguntungkan itu, mereka memutuskan untuk menetap beberapa mil dari sungai Niger dan mulai menggali sebuah sumur. Ketika musim penghujan datang, suku Turareg biasa meninggalkan barang-barang yang berat kepada seorang wanita tua bernama Tin Abutut – yang tinggal dekat sungai. Seiring waktu, nama Tin Abutut berubah menjadi Timbuktu.

Sejak abad ke-11 M, Timbuktu mulai menjadi pelabuhan penting – tempat beragam barang dari Afrika Barat dan Afrika Utara diperdagangkan. Pada era itu, garam merupakan produk yang amat bernilai. Di Timbuktu garam dijual atau ditukar dengan emas. Kemakmuran kota itu menarik perhatian para sarjana berkulit hitam, pedagang kulit hitam, dan saudagar Arab dari Afrika Utara.

Garam, buku, dan emas mejadi tiga komoditas unggulan yang begitu tinggi angka permintaannya pada era itu. Garam berasal dari wilayah Tegaza dan emas diproduksi dari tambang emas di Boure dan Banbuk. Sedangkan buku dicetak dan diproduksi para sarjana atau berkulit hitam dan ilmuwan dari Sanhaja. Proses pembangunan pertama kali berlangsung di Timbuktu pada awal abad ke-12 M. Para arsitek Afrika dari Djenne dan arsitek Muslim dari Afrika Utara mulai membangun kota itu. Pembangunan di Timbuktu berlangsung menandai berkembang pesatnya perdagangan dan ilmu pengetahuan. Saat itu, Raja Soso diserbu kerajaan Ghana. Sehingga, para ilmuwan dari Walata eksodus ke Timbuktu.

Timbuktu pun menjelma menjadi pusat pembelajaran Islam serta sentra perdagangan. Di abad ke-12 M, Timbuktu telah memiliki tiga universitas serta 180 sekolah Alquran. Ketiga universitas Islam yang sudah berdiri di wilayah itu antara lain; Sankore University, Jingaray Ber University, dan Sidi Yahya University. Inilah masa keemasan peradaban Islam di Afrika.

Guna memenuhi ‘dahaga’ masyarakat Muslim Timbuktu akan beragam pengetahuan, buku yang dijual di kota itu banyak yang didatangkan dari negeri Islam lainnya. Selain itu, tak sedikit pula buku-buku yang diperjualbelikan adalah hasil karya para ilmuwan dan sarjana di Tumbuktu. Di kota itu juga sudah ada industri percetakan buku.

Perpustakaan universitas dan milik pribadi pun bermunculan dengan beragam koleksi buku yang ditulis para ilmuwan. Ilmuwan terkemuka Timbuktu, Ahmad Baba, pada masa itu sudah memiliki perpustakaan pribadi dengan jumlah koleksi buku mencapai 1.600 judul. Perpustakaan Ahmad Baba itu tercatat sebagai salah satu perpustakaan kecil yang ada di Timbuktu.

Pada tahun 1325 M, Timbuktu mulai dikuasai Kaisar Mali, Masa Mussa (1307 M – 1332 M). Raja Mali yang terkenal dengan sebutan Kan Kan Mussa itu begitu terkesan dengan warisan Islam di Timbuktu. Sepulang menunaikan haji di Makkah, Sultan Musa membawa seorang arsitek terkemuka asal Mesir bernama Abu Es Haq Es Saheli. Sang sultan menggaji arsitek itu dengan 200 kilogram emas untuk membangun Masjid Jingaray Ber – masjid untuk shalat Jumat.

Sultan Musa juga membangun istana kerajaannya atau Madugu di Timbuktu. Padamasa kekuasaannya, Musa juga membangun masjid di Djenne dan masjid agung di Gao (1324 M – 1325 M) – kini tinggal tersisa fondasinya saja. Kerajaan Mali mulai dikenal di seluruh dunia, ketika Sultan Musa menunaikan ibadah haji di tanah Suci, Makkah pada tahun 1325 M.

Sebagai penguasa yang besar, dia membawa 60 ribu pegawai dalam perjalanan menuju Makkah. Hebatnya, setiap pegawai membawa tiga kilogram emas. Itu berarti dia membawa 180 ribu kilogram emas. Saat Sultan Musa dan rombongannya singgah di Mesir, mata uang di Negeri Piramida itu langsung anjlok. Pesiar yang dilakukan sultan itu membuat Mali dan Timbuktu mulai masuk dalam peta pada abad ke-14 M.

Kesuksesan yang dicapai Timbuktu membuat seorang kerabat Sultan Musa, Abu Bakar II menjelajah samudera dengan menggunakan kapal. Abu Bakar dan tim ekspedisi maritim yang dipimpinnya meninggalkan Senegal untuk berlayar ke Lautan Atlantik. Pangeran Kerajaan Mali itu kemungkinan yang menemukan benua Amerika. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan bahasa, tradisi dan adat Mandika di Brasil.

Sayang, kejayaan Timbuktu terus meredup seiring bergantinya zaman. Kini Timbuktu hanyalah sebuah kota terpencil yang lemah. Bahkan nyaris terlupakan. Mungkinkah peradaban Islam bangkit kembali di negeri itu? heri ruslan (republika)