Friday, 22 November 2024, 01:21

Tokoh liberal lulus doktor bidang tafsir. ?Disertasinya banyak “mengakal-akali Al-Quran”, tapi dosen UIN hanya ?bengong’. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-223Oleh: Adian Husaini

ImageMajalah Gatra edisi 23 Januari 2008 lalu memuat sebuah berita yang sebenarnya terlalu penting untuk dilewatkan. Judulnya: “Jembatan Ayat Keras dan Lunak.” Berita itu menceritakan seputar kontroversi isi disertasi Abd. Moqsith, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan disertasi yang diuji pada 13 Desember 2007 itu, maka Abd Moqsith – yang suka menambah namanya menjadi Abd Moqsith Ghazali – dinyatakan oleh UIN Jakarta telah berhak menyandang gelar Doktor dalam bidang Ilmu Tafsir Al-Quran.

Disertasi Abd Moqsith yang berjudul, “Perspektif Al-Quran tentang Pluralitas Umat Beragama” dibimbing oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A (Dirjen Bimas Islam dan guru besar ilmu tafsir di UIN Jakarta) dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta). Bertindak sebagai penguji adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra (Ketua Sidang dan juga Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta), Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Prof. Dr. Suwito, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Dr. Zainun Kamal dan Prof. Dr. Salman Harun.

Melihat tema yang dibahas dalam disertasi Abd. Moqsith tersebut, harusnya para ahli tafsir di Indonesia tertarik untuk menyimaknya. Apalagi kasus ini sudah terangkat di media massa. Namun, faktanya, respon terhadap disertasi itu sepertinya dingin-dingin saja. Padahal, ini menyangkut masalah Al-Quran, kalam Allah, dan penafsirannya.

Menurut Gatra, disertasi ini memadukan tiga metode; tafsir maudhu’i (tematik), hermeneutika, dan ushul fikih. Tafsir maudhu’i untuk mengelompokkan kata kunci. Karena tafsir model ini kerap terjebak mengisolasi teks dan konteks, maka, dilengkapilah dengan hermeneutika. Motode ini berfungsi menemukan pesan universal ayat dengan memperhatikan kondisi objektif masyarakat tempat lahirnya ayat. Karena hermeneutika tak mampu menjangkau analisis dan kalimat dari sudut gramatika, dilengkapilah dengan ushul fikih. Ushul fikih membantu mengetahui kedudukan ayat serta bagaimana mesti dipahami sudut dalalat-nya (penunjukkan makna).

Dalam konklusinya, Moqsith menjembatani ayat toleran dan intoleran dengan membuat kategori ayat ushul (pokok) dan fushul (cabang, rinci). Ayat toleran disebut ushul, bersifat dan berlaku universal. Ayat ushul ini menunjukkan sikap teologis Al Quran. Sementara itu kelompok ayat intoleran adalah ayat fushul, yang bersifat situasional. Implementasi ayat fushul, misalnya ayat perang, harus tetap dengan naungan ayat ushul, misalnya prinsip tiada paksaan beragama. Maka perang tetap dengan etika, terlarang merusak tempat ibadah, membunuh kaum perempuan dan memaksa lawan masuk Islam.

“Disertasi ini telah melakukan terobosan, ” puji Prod Dr. Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang memimpin sidang ujian terbuka.

“Kekuatan disertasi ini terletak pada penguasaan yang dalam terhadap khazanah Islam klasik, ” Azyumardi menambahkan. “Banyak orang bicara toleransi, tapi tak banyak yang punya sumber bacaan kuat dalam literatur klasik.”

Pembimbing disertasi ini, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, memuji disertasi ini telah mengungkap banyak informasi baru dalam literatur berbahasa Indonesia, seputar tema relasi antar-agama. Meski dalam literatur Arab hal itu terhitung barang lama.? Sementara kritik panjang datang dari Prof. Dr. Salman Harun. Konon baru kali ini di UIN Jakarta ada penguji yang sampai membuat kritik tertulis ketika menguji. Salman menyebut Moqsith salah memahami penggalan buku Nawawi Al-Jawi (1813-1899) tentang bisa tidaknya non-muslim masuk surga. Moqsith dinilai tak utuh mengutip Ibnu Katsir (1300-1373). Menurut Salman, dua ulama itu berkesimpulan hanya Muslim yang masuk surga. Tapi Moqsith menyimpulkan, non muslim juga bisa.? Salman khawatir disertasi ini akan memperkuat tuduhan sebagian kalangan bahwa UIN adalah tempat kristenisasi.

Demikian petikan berita Majalah Gatra seputar kontroversi disertasi doktor Abd Moqsith. Di berbagai media internet, banyak ditemukan puji-pujian terhadap Abd Moqsith.

Karena ini menyangkut bidang keilmuan Islam, khususnya bidang Ilmu Tafsir Al-Quran, maka saya pun tertarik untuk membaca disertasi tersebut. Kita dituntut untuk bersikap adil dalam menilai segala sesuatu, meskipun dengan orang yang berbeda pendapat. Jika memang pendapatnya benar, maka harus diterima. Jika memang keliru, maka perlu diluruskan.

Jika ditelaah, disertasi Abd Moqsith itu cukup tebal, lebih dari 300 halaman. Referensinya juga cukup kaya. Bahasanya pun enak di baca, mengalir lancar. Tampak, penulisnya adalah seorang yang cukup profesional dalam olah kata. Tanpa menafikan sejumlah kelebihan disertasi ini, jika kita telaah secara mendalam, ditemukan sejumlah problema yang sangat mendasar, yang seharusnya menjadi perhatian para pembimbing dan penguji, sebelum disertasi ini diluluskan.

Disebutkan, tujuan penulisan disertasi ini adalah (1) mengetahui pandangan dan sikap Al-Quran tentang pluralitas umat beragama, (2) mengetahui tafsir yang diberikan para ulama terhadap teks-teks yang terkait dengan pluralitas umat beragama, dan (3) menyusun tafsir ayat-ayat Al-Quran yang lebih relevan dengan konteks zaman yang semakin plural dari sudut agama, terutama mengontekstualisasikan ayat-ayat Al-Quran yang secara literal-skripturalistik berseberangan dengan semangat toleransi dan penghargaan terhadap umat agama lain.

Dari tujuan ketiga itulah, kita sudah bisa menangkap maksud penulis disertasi ini. Dalam bahasa mudahnya, penulis disertasi ini “membuat tafsir baru” atau”merekayasa penafsiran” ayat-ayat yang dianggapnya “tidak toleran”, “tidak pluralis”, atau “kurang menghargai agama lain”. Untuk ayat-ayat seperti ini, penulis berusaha sekuat tenaga, keluar dari makna teksnya, dan mencari-cari makna lain. Tetapi, untuk ayat-ayat yang dianggapnya pluralis, maka penulis disertasi ini mati-matian menggunakan metode tekstual-skripturalistik yang kaku.

Ini bisa dilihat, misalnya, ketika penulis membahas tentang “Pengakuan dan Keselamatan Umat non-Muslim”, maka dia sudah membuat asumsi: “Agama yang satu tak membatalkan agama yang lain, karena setiap agama lahir dalam konteks historis dan tantangannya sendiri. Walau begitu, semua agama terutama yang berada dalam rumpun tradisi abrahamik mengarah pada tujuan yang sama, yakni kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat. Dengan memperhatikan kesamaan tujuan ini, perbedaan eksoterik agama-agama mestinya tak perlu dirisaukan.” (hal. 189).

Penulis liberal ini lalu mengutip sejumlah ayat Al-Quran yang dikatakannya merupakan bukti pengakuan Al-Quran terhadap eksistensi dan kebenaran kitab-kitab sebelum Islam, seperti QS 5:44, 46-47, dan 66. Lalu, dia membuat kesimpulan sendiri:

“Ayat tersebut memberikan pengakuan terhadap umat Yahudi dan Nashrani; mereka cukup menjadikan kitab suci masing-masing sebagai sandaran moral mereka. Ditegaskan, sekiranya mereka berpaling dari kitab sucinya, mereka adalah kafir dan fasik. Dengan demikian, jelas bahwa Islam tak memaksa agar mereka menjadikan Al-Quran sebagai rujukan kaum Yahudi dan Nashrani. Inilah bentuk pengakuan terbuka dari Islam terhadap agama lain. Bagi umat Islam, percaya terhadap kitab-kitab Allah menjadi bagian dari enam rukun iman dalam Islam. Sekurangnya, umat Islam mengimani empat kitab Allah, yaitu Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Quran.” (hal. 191).

Kita sebenarnya geli membaca kesimpulan penulis disertasi ini. Terlalu mudah untuk melihat kelemahan kesimpulan tersebut. Al-Quran memang memerintahkan umat Islam beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul Allah. Tetapi, Al-Quran juga menjelaskan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah mengubah-ubah (melakukan tahrif) kitab mereka sendiri.

Misalnya, QS 2:75 menyebutkan: “Apakah kamu masih mengharapkan mereka beriman kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui.” Juga, disebutkan dalam QS 2:79: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah,” (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.”

Karena itulah, jelas umat Islam saat ini tidak diwajibkan untuk beriman kepada Bibel Yahudi, Talmud, atau Bibel Kristen. Sebab, dalam pandangan Al-Quran, kitab-kitab suci para Nabi itu sudah diubah-ubah oleh sebagian pengikutnya, sehingga bercampur aduk antara yang asli dengan yang tambahan. Mestinya, penulis disertasi ini dengan jujur mengungkap ayat-ayat Al-Quran tersebut. Dan mestinya pula, para profesor UIN yang menguji disertasi itu juga melihat kekeliruan yang sangat mendasar ini.

Tapi, karena sejak awal, disertasi ini ditulis untuk “mengakal-akali Al-Quran” agar sesuai dengan asumsi-asumsinya, maka fakta-fakta semacam ini bisa dijumpai di banyak bagian lainnya. Misalnya, asumsi penulis yang menyatakan: “secara eksplisit Al-Quran menegaskan bahwa siapa saja – Yahudi, Nashrani, Sabi’in, dan lain-lain – yang menyatakan hanya beriman kepada Allah, percaya akan Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah disia-siakan oleh Allah. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal atas keimanan dan segala jerih payahnya.” (hal. 192).

Dalam beberapa kali catatan, kita sudah membahas makna QS 2:62 dan 5:69, dan bagaimana kaum Pluralis berusaha memanipulasi makna ayat ini. Termasuk bagaimana mereka memanipulasi pendapat para ulama, terutama Tafsir al-Manar. Dalam disertasinya ini, penulis lebih vulgar lagi dalam membuat kesimpulan, dengan berpegang kepada bunyi teks ayat itu dan menafikan penafsiran para ulama. Katanya:

“Jika diperhatikan dengan seksama, maka jelas bahwa dalam ayat itu tak ada ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani, dan orang-orang Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti bunyi harafiah ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dalam keimanannya, orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta melakukan amal shaleh – sekalipun tak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para mufasir dan bukan ungkapan Al-Quran. Muhammad Rasyid Ridla berkata, tak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah untuk beriman kepada Nabi Muhammad.” (hal. 194-195).

Membaca kesimpulan penulis liberal ini pun kita dibuat geli dan sekaligus prihatin. Biasanya kaum liberal selalu menyebut kaum fundamentalis sebagai kaum tekstualis, literalis, skripturalis, dan sebagainya. Tapi, ketika mereka bertemu dengan ayat Al-Quran yang mendukung pendapat mereka, ternyata mereka pun berpegang pada metode literalis. Cara ini mengingatkan kita pada cara negara-negara tertentu yang rajin meneriakkan demokrasi. Tapi, ketika demokrasi menghasilkan penguasa yang tidak sejalan dengan politik mereka, maka mereka pun menolak demokrasi dan mendukung kediktatoran.

Jika ditelaah dengan seksama pendapat Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar, maka akan kita temukan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang risalah Nabi Muhammad saw tidak sampai kepada mereka. Karena itu, mereka tidak diwajibkan beriman kepada Nabi Muhammad saw. Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka, menurut Rasyid Ridla, maka sesuai QS 3:199, ada lima syarat untuk keselamatan mereka. Diantaranya, (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad.

Sayang sekali, sebagaimana perilaku sejumlah kaum Pluralis Agama, penulis disertasi ini pun tidak benar dan tidak fair dalam mengutip pendapat-pendapat Rasyid Ridla. Padahal, dalam soal ini, Nabi Muhammad saw sudah menegaskan:

“Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seorangpun dari ummat sekarang ini, baik Yahud, maupun Nasrani, kemudian mereka tidak mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.” (HR Muslim).

Karena itu, sejalan dengan Prof. Salman Harun, saya juga keheranan, bagaimana mungkin para Profesor pembimbing dan penguji disertasi ini sampai melewatkan kekeliruan-kekeliruan yang sangat mendasar semacam ini. Masih banyak sekali data, metodologi, dan analisa yang perlu dipertanyakan dalam disertasi ini. Ada beberapa kemungkinan mengapa para penguji meloloskan disertasi ini: mungkin mereka tidak membaca dengan cermat; mungkin mereka tidak paham; atau mungkin mereka memang setuju dengan penulisnya. Wallahu A’lam.

Yang jelas, menurut saya, kasus disertasi ini merupakan suatu “Tragedi Keilmuan” di UIN Jakarta. Apa yang bathil, sesat, dan keliru, dilegitimasi oleh sejumlah guru besar bidang agama. Lebih merupakan tragedi dan musibah lagi bagi umat ini, jika para doktor dan pakar-pakar Al-Quran yang berjubel di UIN Jakarta hanya berdiam diri dan “bengong saja” menghadapi kasus semacam ini.

Tapi, apa pun, kita patut mengucapkan selamat dan salut atas usaha Abd Moqsith sampai meraih gelar Doktor bidang Ilmu Tafsir. Anak yang cerdas ini telah mencapai prestasi yang tidak kecil. Dia telah bekerja keras menghasilkan sebuah disertasi doktor, apa pun kondisinya.

Bagi kita, ini adalah pelajaran yang berharga: bahwa untuk menyesatkan manusia pun perlu kerja keras dan sungguh-sungguh. Kini, kita menunggu dari kalangan cendekiawan Muslim untuk membuat karya-karya ilmiah yang benar dan jauh lebih baik dari apa yang telah dihasilkan Abd Moqsith dan tokoh-tokoh liberal lainnya. Wa jaadilhum billati hiya ahsan.

Kita wajib melakukan upaya yang sungguh-sungguh dalam menyikapi setiap penyimpangan dan kemunkaran ilmu. Tapi, kita tidak perlu risau. Kita sekedar menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Sebab, Al-Quran adalah wahyu Allah SWT. Al-Quran adalah milik Allah. Dan kita yakin, Allah punya cara sendiri untuk bertindak menjaga dan membuat perhitungan terhadap orang-orang yang berusaha merusak Kitab-Nya. [Depok, 1 Februari 2008/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara ?Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.co

4 thoughts on ““Tragedi Keilmuan di UIN Jakarta”

  1. Ayat-ayat yang pluralis memang ada dan sesuai dengan semangat jamannya. akan tetapi meneriakkan ayat2 tertentu dengan menafikan ayat lain yg bertentangan dengannya jelas tindakan yang sembrono. Bukankah para mufassir telah mengajari kita ilmu munasabah al qur’an? barangkali para profesor UIN lagi males bacabaca refferensi kalii??? tapi apapun itu disertasi pak abdul muqsith patut di apresiasi….

  2. Pertentangan antara aliran tekstualis dengan kontekstualis dalam memahami Alquran tak akan pernah selesai. Seperti halnya Jabariah dan Qadariah dalam pemikiran Kalam.
    Bagi umat Islam yang belum memihak kepada salah satu di antara kedua kecendrungan ini, hanya tinggal mengukur perkembangan pemikiran kita: saat ini kita sedang cendrung pada yang mana? Bisa jadi sekarang masih cendrung tekstualis, karena referensi yang dibaca kebanyakan mengarah ke sana. Namun tidak tertutup kemungkinan, pada suatu saat nanti akan berbalik menjadi kontekstualis. Demikian pula sebaliknya. Kita tidak perlu kaget melihat pemikiran-pemikiran liberal seperti itu.
    OK! Selamat berlomba-lomba mencari argumen, semoga pemikiran Islam di bidang Ulumul Quran ini terus maju, masing-masing memperkaya khazanah pemikirannya, yang berarti pula memperkaya khazanah pemikiran Islam; sehingga anak cucu kita nanti merasa bangga, betapa nenek-moyang mereka yang hidup sekarang ini telah bergelut dengan “ghazwul-fikri” yang tak kenal lelah.

  3. Barangkali, supaya diketahui kekeliruan-kekeliruan dari Abdul Muqsith, Pak Salman atau Bung Adian sendiri atau tokoh yang ahli di bidang tafsir Al Qur’an membuat tulisan yang lebih rinci, sehingga menjadi nyata hal-hal yang dinyatakan keliru itu. Sehingga nantinya dapat diketahui seberapa jauh kualitas dari seorang Moqsith. Saya kira ini sangat positif untuk memperkaya keilmuan. Paling tidak kayak tulisannya Pak Rasjidi menanggapi Nurcholish Madjid atau Harun Nasution.

Comments are closed.