Friday, 22 November 2024, 00:37

gaulislam edisi 398/tahun ke-8 (21 Sya’ban 1436 H/ 8 Juni 2015)

 

Sobat gaulislam, gimana kabarnya? Wuih, seperinya lagi pada seneng ya? Maklum, udah menjelang liburan panjang. Hehehe.. tapi ingat lho, pekan ini banyak juga di antara kamu yang justru lagi pada ujian kenaikan kelas ya? Fokus ujian dulu, baru deh mikirin liburan. Gimana, siap kan? Kudu!

Oya, judul gaulislam kali ini kamu ngerti nggak sih? Hehehe, saya nggak nuduh kamu lola alias loading lama. Tapi, kadang ada juga yang memang begitu. Yup, ini judul seperti ‘suara hati’. Mungkin saja cocok dengan kondisi kamu semua yang lagi bingung memilih sesuatu. Apalagi jika hawa nafsu ikut bicara di hatimu.

Yup, enak banget kalo semua bisa kita pilih sesuai keinginan kita. Ingin kaya, langsung dikabulkan. Pengen banyak ilmu, diberikan dengan mudah. Kebelet nikah, jalannya gampang. Kesengsem kerjaan yang gajinya gede, langsung dapat. Wah, enak banget hidup kayak gitu. Kayak mimpi. Kita milihnya yang enak-enak dan sesuai selera. Persis dalam dongeng. Tapi sayangnya, kita hidup di dunia nyata. Penuh warna, penuh romantika. Tak bisa memilih sesuka kita. Tak bisa menolak ketika hadapi kenyataan yang berbeda dari harapan.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Ada semboyan yang kesannya memang mimpi: “muda hura-hura, tua kaya-raya, mati masuk surga”. Enak bener hidup kayak gitu. Tapi pada kenyataannya, tidaklah mudah seperti semboyan berbau mimpi itu. Hidup itu banyak ujiannya. Banyak cobaannya. Kadang nikmat, kadang perih. Suatu saat bahagia, berikutnya sedih. Bisa kecewa, bisa juga gembira. Kita memang tak bisa memilih. Semua berjalan sesuai apa yang diberikan oleh Allah Ta’ala. Memang, ada yang diberikan oleh Allah Ta’ala berupa hasil permohonan kita dalam doa yang kita khusyuk panjatkan. Namun tak sedikit pula yang tak disangka-sangka. Ada yang tak diminta malah datang, yang diinginkan tak kunjung menghampiri. Itulah hidup. Kita lahir memang untuk melihat kenyataan dan kita harus terbiasa menghadapinya. Berusaha untuk lebih baik. Menjadi yang terbaik. Syukuri yang diberikan saat ini, upayakan yang kita harapkan lebih baik.

Menjadi pengemban dakwah, saya pikir enak juga. Tapi, dalam kenyataannya tak selalu lurus-lurus saja. Seringkali banyak rintangan dan hambatan. Baik dari dalam diri maupun dari faktor luar. Penghambat dari dalam diri adalah rasa lelah dan malah putus asa. Kita sering merasa bahwa kita berada di jalan yang benar. Sudah menjadi bagian dari para pejuang Islam. Tapi kenapa Allah Ta’ala tak memberikan apa yang kita minta. Allah Ta’ala seolah jauh dari kita. Daripada kesenangan yang didapat, malah kesedihan yang melekat. Ada apa ini? Kita bisa saja bertanya demikian.

Sabar, Bro en Sis. Semua ada hikmahnya. Bukankah Allah Ta’ala udah berfirman (yang artinya): “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS al-‘Ankabuut [29]: 2)

Begitulah, selama kita hidup, ujian itu akan senantiasa datang. Jangan merasa sudah beriman, lalu tidak diuji lagi. Beueu.. tetep diuji, Bro en Sis. Tentu ini sebagai ‘test’ pembuktian kalo kita bener-bener beriman. Insya Allah. Jadi, ya nggak usah kecewa kalo apa yang kita minta malah belum dikasih juga. Udah berusaha sekuat tenaga, hasilnya USG alias Usaha Selalu Gagal. Tak mengapa. Allah Ta’ala pasti punya rencana lain. Saya juga dulu sama lho. Sering minta ini dan itu dalam doa yang saya panjatkan, tapi nggak dikasih-kasih sama Allah Ta’ala. Berdoa sih ampir tiap saat. Tapi karena Allah Ta’ala belum mengijinkan, ya tetap aja nggak bisa. Lalu apa yang dilakukan? Sabar dan tetap berusaha. Kombinasinya: doa, usaha, sabar.

Para pengungsi muslim dari Rohingya yang terkatung-katung di lautan gara-gara di negerinya diusir dan tak sedikit yang dibunuh oleh rezim Budha Myanmar tentu bukanlah keinginan terbaik mereka. Tetapi alhamdulillah mereka sabar dan berani terima kenyataan dan harus dihadapi agar kehidupan terus berlangsung. Inilah bukti bahwa dalam hidup ini kita tak (selalu) bisa memilih. Ya, kalo kita berandai-andai memang pengennya yang baik-baik yang kita pilih. Tapi sayangnya nggak bisa tuh. Maaf saja. No option!

 

Tundukkan nafsu dengan iman dan cinta

Well. Nafsu emang biasanya bikin pikiran dan perasaan kita terpedaya. Umumnya hawa nafsu itu mengajak kita kepada hal-hal yang melenakan. Selain itu, nafsu biasanya selalu menggoda kita untuk jauh dari perbuatan yang baik. Pas lagi puasa, datang deh tuh bisikan-bisikan dalam hati dan pikiran: “Ngapain puasa, capek-capek. Laper. Haus. Mending makan nih, goreng pisang masih anget. Pagi-pagi cocoknya diadu ama kopi pahit!”

Beueu… kalo iman kita kendor, kayaknya langsung ‘disantok’ tuh pisang goreng sambil nyeruput kopi pahit hangat. Tapi, biasanya ada sedikit was-was juga lho. Why? Karena kita tahu apa yang dilakukan adalah sebuah kesalahan. Kita bukan nggak tahu, tapi hawa nafsu kita ngalahin pikiran dan perasaan takut kita kepada Allah Ta’ala. Kasihan banget tuh. Jangan sampe kita terpedaya oleh hawa nafsu. Sebab, biasanya “nikmatnya cuma sesaat”. Setelah itu? Selesai sudah. Malah kalo yang berbuat maksiat, langsung kepikiran bahwa dirinya pasti akan diperkarakan.

Sekarang gini aja. Dua orang remaja. Cowok ama cewek. Saling tertarik dan saling jatuh cinta. Setan datang ngomporin. Singkat kata hawa nafsu keduanya membara di dada dan kepala masing-masing. Karena tak terkendali lagi, jadilah ia berzina. Saat berzina sampai dia tercapai hasratnya memang nikmat yang dipikirin. Tapi setelah selesai tujuannya, baru deh masing-masing kaget menyadari kekeliruannya. Tuh kan, cuma sesaat nikmatnya, tapi beban dan sengsaranya bisa lama. Paling nggak kedua remaja itu dihantui perasaannya masing-masing. Was-was khawatir ada yang tahu aksinya, khawatir yang ceweknya hamil, yang cowok khawatir disuruh bertanggung jawab, khawatir mereka diarak orang sekampung dalam kondisi tak berpakaian, ketar-ketir tuh cowok kalo sampe masuk penjara karena orang tua ceweknya nggak terima anaknya digasak duluan. Seabreg kekhawatiran. Payah banget deh lo!

Nah, ini beda ama yang udah nikah. Berpegangan tangan dapat pahala, berduaan dengan suami/istri ibadah. Bahkan sampai bersetubuh pun ibadah. Subhanallah. Nafsunya tentu ada. Namun ini nafsu yang terkendali dan disalurkan pada jalur yang benar sesuai tuntunan syariat. Setelah mencapai tujuan dari aktivitas seksual pun tak menyesal dan khawatir. Bahkan bisa jadi pengen lagi tuh. Kalo istrinya hamil? Bisa jadi itu yang mereka harapkan karena akan lahir generasi yang didambakan sebagai penerus perjuangan mereka. Tuh, beda banget kan? Jadi, cobalah berpikir taktis dan tentunya syar’i. Jangan asal tubruk aja. Jangan asal mengumbar hawa nafsu tapi merendahkan syariat dan akal sehat. Ok, Bro en Sis?

Sobat gaulislam, termasuk dalam hal ini adalah menundukkan hawa nafsu dengan cinta ketika kita berdakwah. Kalo ngikutin hawa nafsu sih kepengan banget kita tuh nyalahin orang yang nggak mau taat syariat. Bila perlu kita pengen bilang, “Rasain tuh, akibat kamu nggak mau taat syariat, jadinya ditangkep polisi gara-gara berantem setelah kalah judi” Hmm.. kita emang kesel, apalagi itu saudara sendiri atau teman kita or tetangga kita. But, nggak mesti harus merendahkan dong. Memang, orang yang maksiat tanpa kita rendahkan, di hadapan Allah Ta’ala dia udah rendah dan terhina. Maka, coba kita persuasif dikitlah. Misalnya ajak untuk dialog. Ajak untuk curhat. Ya, intinya menundukkan hawa nafsu kita yang penampakannya berupa rasa kesal, diubah dengan cinta. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dalam suatu perang dan punya kesempatan membunuh musuhnya malah tidak jadi karena sang musuh meludahi wajah beliau. Beliau khawatir perbuatannya membela agama Allah Ta’ala bercampur dengan hawa nafsunya karena merasa dilecehkan oleh orang kafir tersebut. Beliau memilih meninggalkan musuhnya tersebut. Wah, keren banget!

Emang sih itu nggak mudah. Apalagi untuk level kayak kita-kita. Tapi bukan berarti nggak bisa dicoba kan? Sebagai pengemban dakwah kita jangan merasa suci sendiri. Biasakan untuk empati dan mencoba menyelami pikiran dan perasaan orang yang kita ajak ke jalan yang benar. Bisa aja kan dia ngelakuin maksiat adalah karena kebodohannya. Bodoh karena tidak tahu maupun bodoh karena tidak mau tahu. Jadi nggak asal vonis aja, gitu lho. Sehingga benar-benar apa yang kita lakuin itu adalah bagian dari adab berdakwah dan kecintaan kita kepada sesama. Bukan karena kebencian.

Sobat gaulislam, jadi kesimpulannya adalah dakwah juga bagian dari cinta. Jangan mengumbar hawa nafsu kebencian. Emang sih kita kesal juga kalo ada orang yang udah kita ingatkan berkali-kali agar dia meninggalkan maksiat, tapi dia tetap bandel. So, pasti kita kesel banget, namun jangan sampe deh kemudian kita melecehkan atau merendahkannya. Apalagi kalo sampe kita tak berbuat adil kepadanya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Maa’idah [5]: 8)

Yuk, kita tundukkan hawa nafsu kita dengan iman dan cinta. Hasrat yang besar terhadap rasa malas berdakwah, tundukkan dengan kecintaan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya yang memerintahkan untuk menyebarkan risalah Islam ini. Siap kan?

Harus siap, karena dalam urusan yang ini sih harus jadi pilihan. Sesuai judul gaulislam kali ini, hawa nafsu kita kudu tunduk dan berusaha memilih jalan ketaatan untuk bisa beramal shalih. Salah satunya, berdakwah. Keren!

Ya, keren banget! Sebab, saat ini remaja jarang tertarik dengan dakwah dan berdakwah. [O. Solihin | Twitter @osolihin]