Engga terasa sebentar lagi mo lebaran, udah seharusnya kita nyiapin diri untuk menyambut hari yang fitri tersebut dengan seoptimal mungkin. Kebanyakan orang Indonesia seringnya disibukkan dengan persiapan baju baru, makanan, mudik, THR dll, ya sebenernya engga salah banget sih cuma jangan sampai prioritas berubah, karena kewajiban kita di dunia ini adalah ibadah, so jangan sampe persiapan ibadah kamu gatot (gagal total) gara-gara mikirin hal-hal yang tidak perlu. Nah untuk menyegarkan lagi ingatan kita untuk mempersiapkan diri ber-lebaran, yuk simak tuntunan ringkas untuk sholat idul fitri.
Landasan Hukumnya
Sebelum mulai pembahasan yang panjang dan lebar (luas kaliiii) kita kudu tahu dulu landasan hukumnya sholat Ied, hari Raya ‘Idul Fithri disyariatkan pertama kali pada tahun awal Hijriyah. Dasarnya adalah seperti yang dilapor kan oleh Anas R.A: “Adalah mereka (penduduk Madinah) memiliki dua hari raya, hari dimana mereka bermain dan bergembira, sampai Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Rasulullah SAW bertanya: Apakah tujuan dan arti dua hari ini ? Mereka menjawab; pada zaman jahiliyah dulu kami bermain pada dua hari raya ini. Rasulullah SAW seraya berkata Sesungguhnya Allah SWT telah mengganti dua hari itu dengan hari Raya yang lebih baik, yakni hari raya “‘Idul Fithri” dan hari raya “‘Idul Adhha” (HR. Nasa’I – Ibnu Hibban).
Hukum shalat ‘idul fithri adalah sunnah muakadah, yaitu sunnah yang sangat dipelihara dan dianjurkan banget oleh Rasulullah SAW. Dasar yang menunjukkan atas disyariatkannya shalat ‘Idul Fithri, antara lain:
- Al-Qur’an surat al Kautsar ayat 2.
- Hadits mutawatir bahwa Rasulullah SAW shalat ‘Idul Fithri yang pertama pada tahun kedua hijriyah, sebagaimana dilaporkan oleh Ibnu Abbas (HR. Bu khori-Muslim).
- Ijma’ Ulama’, Para ulama dan kaum muslimin telah berijma’ tetap disyariatkannya shalat ‘Idul Fithri.
Waktu shalat ‘Idul Fitri
Para ulama sependapat bahwa waktu shalat ‘idul fithri dimulai sejak terbit matahari 1 Syawwal hingga sebelum zawal (dzuhur), seperti waktu shalat dhuha. (HR.Ahmad). Di sunnahkan agar menyegerakan shalat ‘Idul Adhha dan mengakhirkan sedikit shalat ‘Idul Fithri. (HR. Syafi’i). Hikmahnya untuk shalat ‘idul adhha agar waktu menyembelih hewan qurban lebih panjang. Sedang untuk ‘idul fithri agar waktu menyalurkan zakat lebih luas.
Kalo kita engga tahu hari Id tapi terima kabar yang menyakinkan bahwa sudah masuk 1 syawal cuma terima kabarnya ba’da Dzuhur maka shalat Id dikerjakan pada keesokan paginya. Pendapat ini dilandaskan pada riwayat Abu Daud 1157, An-Nasa’i 3/180 dan Ibnu Majah 1653 telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Umair bin Anas, dari paman-pamannya yang termasuk sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Mereka bersaksi bahwa mereka melihat hilal (bulan tanggal satu) kemarin, maka Nabi memerintahkan mereka untuk berbuka pada saat itu dan pergi ke mushalla (sholat Ied) keesokan paginya”
Shalat Idul Fitri tanpa Azan dan Iqamah
Sholat Ied engga pake Adzan atau Iqamah, hal ini dilandaskan pada riwayat Jabir bin Samurah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata :
“Artinya : Aku pernah shalat dua hari raya bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari sekali dua kali, tanpa dikumandangkan azan dan tanpa iqamah” [Riwayat Muslim 887, Abu Daud 1148 dan Tirmidzi 532]
Ibnu Abbas dan Jabir Radhiyallahu ‘anhum berkata :
“Artinya : Tidak pernah dikumandangkan azan (untuk shalat Id -pent) pada hari Idul Fithri dan Idul Adha” [Riwayat Muslim 887, Abu Daud 1148 dan Tirmidzi 532]
Tempat Shalat ‘Idul Fithri
Para ulama sepakat bahwa tempat shalat ‘idul fithri untuk Makkah, yang afdlol dilaksana kan di masjid Al Haram. Dan untuk luar Makkah, ada dua pendapat:
- Jumhur ulama’ (kebanyakan ulama’) melihat bahwa yang afdlol dilaksanakan ditanah lapang (bukan masjid), kecuali dalam keadaan dorurot atau ada udzur syar’I seperti hujan, maka dilaksanakan di masjid, seperti yang dilaporkan Abu Hurairah (HR. Abu Daud dan Al Hakim).
- Asy-Syafi’iyah, melihat bahwa pelaksanaan shalat ‘Idul Fithri lebih afdlol di masjid, sebab masjid adalah tempat yang paling mulia. Kecuali apabila masjidnya sempit, maka yang afdlol di tanah lapang kalau ada, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW. (HR. Bukhori – Muslim).
Konklusinya, tanah lapang (kalau ada), masjid bahkan musholla (kalau tidak ada tanah lapang atau tidak ada masjid, atau ada tetapi menyulitkan), dapat ditempati untuk shalat ‘idul fithri. Dengan tetap menjaga prinsip ukhuwwah, dan menyadari bahwa kita berada dalam sua sana hari raya ‘idul fithri, masalah ini tidak perlu dibesarkan, yang menjadi masalah adalah kalau tidak shalat ‘idul fithri.
Tata Cara Shalat ‘ Idul Fithri
Shalat ‘Idul Fithri terdiri dari dua rakaat. Syarat dan rukun shalat ‘id mengikuti syarat dan rukun shalat wajib. Setelah takbiratul ikhram dan sebelum membaca al Fatihah pada ra kaat pertama, disunnahkan membaca takbir sebanyak tujuh kali takbir. Dan pada rekaat kedua lima kali takbir, tidak termasuk takbir ketika bangkit dari sujud (rakaat pertama) ke rakaat kedua (takbirotul qiyam), dengan mengangkat kedua tangan setiap takbir, sebagaimana dilaporkan Amar bin Syuaib (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud dan Daru quthni).
Apabila telah sempurna takbir, mulai membaca surat Al-Fatihah. Setelah itu membaca surat Qaf pada salah satu rakaat dan pada rakaat lain membaca surat Al-Qamar, Terkadang dalam dua rakaat itu beliau membaca surat Al-A’la dan surat Al-Ghasyiyah (Ibnul Qoyim – Zaadul Ma’ad)
Khutbah ‘Idul Fithri
Pelaksanaan khutbah ‘Idul Fithri yaitu setelah shalat ‘Id seperti dilaporkan oleh Ibnu Umar dan Abu Said (HR. Bukhori-Muslim). Hukum khutbah ‘Idul Fithri dan mendengarkannya adalah sunnat (tidak wajib), seperti yang dilaporkan oleh Abdullah bin As Said (HR. An Nasa’i, Abu Daud dan Ibnu Majah). Dan yang paling afdlol mengikuti seluruh rangkaian shalat/khutbah ‘Idul Fithri dari awal sampai akhir. Dan seperti pada shalat jum’at, khutbah ‘Idul Fithri terdiri dari dua khutbah.
Shalat Qobliyah dan Ba’diyah
Tidak ada satu riwayatpun yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW dan shahabatnya mengerjakan shalat sunnat qobliyah dan ba’diyah pada waktu shalat ‘Idul Fithri. (HR. Ja ma’ah dari Ibnu Abbas), kecuali kalau shalat ‘Idul Fithri dilaksanakan di masjid, maka tetap disunnatkan shalat tahiyyat al masjid.
Hal-hal yang disunnahkan pada Waktu Hari Raya
- Mengisi malam ‘Idul Fithri dengan ibadah dan taqorrub kepada Allah, seperti dzkir, shalat, qiroatul Qur’an, tasbih, istighfar dan sebagainya. Dan yang lebih afdlol, menghidupkan malam ‘Id semalam suntuk, seperti dilaporkan ubadah bin Shamit (HR. Ath Thobari dan Daru Quthni), tentunya kalau kuat,tanpa mengorbankan ibadah-ibadah wajib seperti, shalat isya’ dan shalat subuh, tepat pada waktunya dengan berjama’ah. Menghindari mengisi malam-malam ‘Idul Fithri dengan acara hura-hura, takbiran sambil menabuh beduk yang justru mengganggu (tidak khusyuk), memutar kaset takbiran sementara orangnya tidur dan lain-lain, yang bertentangan dengan sunnah yang diajarkan Rasulullah SAW .
- Menghidupkan sunnah takbiran semenjak terbenam matahari akhir Ramadhan hingga berangkat ke tempat shalat ‘id sampai kemudian shalat ‘id dilaksanakan dengan lafal, al: “Allaahu Akbar (3x), La Ilaaha Illallaahu Wallaahu Akbar, Allaahu Akbar Walillahil Hamdu”. Mandi (HR. Ibnu Majah), memakai wangi-wangian (parfum) (HR. Baihaqi), bersiwak (menggosok gigi),memakai sebaik-baik pakaian. Bersegera (berpagi-pagi) menuju tempat shalat ‘Idul fithri, dengan tenang, dan penuh ketulusan. Dan lebih afdlol kalau berjalan, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW, seperti dilaporkan oleh Ali bin Abi Tholib (HR. Tirmidzi).
- Makan (sarapan) sebelum berangkat shalat ‘Idul Fithri, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW. (HR. Bukhori)
- Membayar zakat fitrah sebelum berangkat shalat ‘Idul Fithri (batas akhir pembaya ran zakat fitrah). Sekalipun zakat fitrah boleh saja dibayar beberapa hari sebelum ‘Idul Fithri. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Daraquthni, al Hakim)
- Bergembira dan menggembirakan sesama muslim dan lebih mempererat tali ukhuwah diantara kaum muslimi. Disunnahkan juga agar jalan ketika pergi dan jalan ketika pulang tidak sama. Seperti yang dipraktekkan Rasulullah SAW. Sebagaimana yang dilaporkan Jabir (HR. Bukhori).
‘Idul Fithri bagi kaum wanita dan anak-anak
Sebagaimana halnya kamu pria, kaum wanita dan anak-anak pun disunnatkan menghadiri shalat ‘Idul Fithri. Begitu pula halnya orang-orang tua, gadis-gadis perawan, wanita-wa nita haidh dan nifas. Seperti dilaporkan oleh Ummu Athiyah (HR. Bukhori – Muslim).
Adalah Rasulullah SAW keluar bersama istri-istri dan putri-putrinya untuk melaksanakan shalat ‘Idul Fithri dan mendengarkan khuthbah (HR. Ibnu Majah & Baihaqi dan Ibnu Abbas). Adapun untuk wanita haidh dan nifas, cukup mendengarkan khuthbah, tidak perlu ikut shalat.
Bergembira pada Hari Raya ‘Idul Fithri
Umat Islam disunnatkan agar bergembira dan menggembirakan orang lain pada hari raya ‘Idul Fithri. Dengan memakai pakaian yang terbaik (bukan selalu berati yang terbaru!), sebagai rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmatNya, makan minum yang halal dan tidak isrof (berlebihan), saling ber jabat tangan (kecuali antara pria dan wanita yang bukan muhrim), saling menziarohi, sa ling memberi (mengirim) ucapan selamat (berma’af ma’afan), dan saling bertukar hadiah dalam batas-batas yang wajar. Hal ini menunjukkan hikmah ajaran Islam yang selalu menjaga keseimbangan (tawazun).
Namun demikian sifat berlebih-lebihan dalam berbagai hal tetap tidak dibenarkan oleh Islam, sekalipun pada hari raya ‘Idul Fithri. Hadits riwayat An Nasa’i di muka menunjukkan adanya alternatif yang diberikan Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Allah telah menggan tikan dua hari raya jahiliyah. Hal ini mengisyaratkan bahwa ‘Idul Fithri harus jauh dari nilai-nilai jahiliyah dan harus berfungsi sebagai rasa syukur kepada Allah, dan penegasan kembalinya kita kepada fithrah.
Closing
Umat Islam hendaknya berupaya melestarikan nilai-nilai dan amaliyah-amaliyah Ramadhan yang telah dibina selama sebulan penuh, diantaranya dengan melaksanakan puasa sunnah selama 6 hari pada bulan Syawwal. ok deh semoga bermanfaat. [disadur dari milis DT]
Maaf pak, mu tanya nie,, kalo dikampung saya udah ada masjid raya dan musola. dan pelaksanaan ied biasa nya dimasjid raya kampung. dan udah terjasi selama sebelum saya lahir sampai saya sekarang berusia 24 tahun. tapi masuk ramadan ini musola dekat rumah saya ( luas nya mungkin hanya sepertiga dari masjid) akan mengadakan ied di mushola. jarak antara mushola dan masjid tidak sampai 1 km. alasan p1 biar mushola rame ( tapi pas fardu mah sepi), alasan k2 amal jariyah yang masuk banyak biar bisa membangun mushola, alasan k3 untuk mempererat silahturahmi (padahal kalo dimasjid bisa dari seluruh warga kampung saya dan kampung lain bisa saling bertemu. menurut bapak gimana? mendukung atau tidak pelaksanaan ied ini? alasan nya? tolong secepat nya dibalaz ke email saya. sukron..