Thursday, 21 November 2024, 20:53

gaulislam edisi 693/tahun ke-14 (19 Jumadil Akhir 1442 H/ 1 Februari 2021)

Pekan ini buletin kesayangan kamu akan bahas tema yang ringan, namun insya Allah isinya tetap bermanfaat bikin kamu taat syariat, bangga jadi muslim, dan berusaha menjadi pejuang Islam. Semoga.

Oya, judulnya mudah dipahami. Jadi nggak perlu dijelaskan, ya. Sebelum membaca lebih lanjut sampai tuntas, kamu perlu tahu alasan mengapa tema kali ini diberi judul seperti itu. Ya, karena masih banyak teman remaja yang secara fisik itu udah guede body-nya, tetapi secara karakter dan mental masih bocah. Jadinya, banyak yang udah gede tapi malah main melulu. Bukan sekadar main game online, lho. Namun, nongkrong di pos ronda, gabung bareng komunitas tapi ngerjain sesuatu yang nggak produktif. Sekadar kumpul-kumpul, cekikikan nggak jelas, gangguin orang, chat ngalor-ngidul dengan perkara yang remeh temeh dan ngabisin waktu sekadar haha-hihi bareng teman satu grup.

Duh, mau sampai kapan kayak gitu? Ada yang malah udah kategorinya bukan sekedar gede body, tetapi usia pun udah di atas 40 tahun, tetapi masih aja main-main kayak bocah. Di grup banyak kok. Saya aja ikut berbagai grup WA. Ada yang minta persetujuan, banyak pula yang tiba-tiba hape bunyi mulu notifikasinya karena banyak pesan yang masuk. Pas dilihat, kok baru nyadar ada di grup alumni SD yang seangkatan. Ini grup alumni yang baru saya ikuti. Kalo grup alumni SMP yang juga seangkatan emang saya dan temen saya yang bikin dan jadi adminnya, dibuat tiga tahun lalu. Sebelumnya juga grup alumni SMK. Waduh, pastinya banyak pesan yang masuk tuh. Rame.

But, sejenak saya berpikir. Meski ini kategori grup bapak-bapak dan ibu-ibu, tetapi ada aja member yang kirim pesan-pesan berupa kata, gambar dan video yang sekadar main-main. Alasan mereka sih sekadar hiburan katanya, karena di grup kerjaan serius mulu. Jadi, pelampiasannya di grup alumni SD, SMP, dan SMK (hadeuh… ada-ada aja, ya). Padahal, nggak semua juga suka, mengingat usia angkatan saya ini, minimal 47 tahun, maksimal 50 tahun. Jadi bukan lagi anak-anak. Udah bukan saatnya main-main lagi dan tebar maksiat atas nama sekadar hiburan. Duh!

Kadang-kadang saya kirim nasihat para ulama terkait usia 40 tahun. Suatu waktu saya kirim pesan agar giat ibadah. Namun, responnya nggak selalu bagus. Ada sih yang mengapresiasi, tapi banyak juga yang mingkem aja. Malah, ada juga yang membalas dengan candaan. Jadi, ternyata kita masih belum bisa move on dari dunia bocah. Masih mending bocah mah ngelakuin apa aja nggak ada catatan amalnya. Lha, kalo udah kategori “bocah tua nakal”, pastinya udah mukallaf alias terbebani hukum. Berbuat salah jadi dosa, berbuat benar jadi pahala. Ngeri banget kan kalo setiap hari tebar keburukan dan bahkan dosa? Pastinya.

Ok deh, itu contoh di kalangan bapak-bapak dan ibu-ibu menjelang 50 tahun atau udah 50 tahun. Rugi banget kan kalo di usia menjelang senja itu masih berbuat main-main, hal sia-sia, dan bahkan dosa. Naudzubillahi min dzalik.

Bagaimana dengan usia remaja? Kan ini masih belum lama melepas status anak-anak. Apakah wajar kalo masih main-main juga? Misalnya hobi game online, nongkrong di café ngabisin duit dan waktu, main catur di pos ronda, gabung dengan komunitas sekadar nyalurin hobi. Ya, rugi juga sih, kalo ngelakuin sesuatu yang nggak ada manfaatnya. Rugi waktu, rugi duit, rugi tenaga, rugi usia yang lebih banyak diisi hal-hal tak produktif, apalagi jika kemudian melalaikan kewajiban sebagai muslim. Khawatirnya, jadi kebiasaan dan kebawa sampe tua. Benar juga ungkapan: “tua itu pasti, dewasa itu pilihan”. Banyak yang usianya udah mendekati udzur, tapi kelakuan masih ancur. Kata orang Sunda sih, ada ungkapan begini, “huntu geus ungger, tapi kalakuan angger”. Maksudnya, gigi sih udah banyak yang copot, tetapi kelakuan masih begitu-begitu aja nggak ada perbaikan. Rugi, Bro en Sis!

Berawal dari kesadaran

Sobat gaulislam, kesadaran itu penting. Sebab, nggak mungkin seseorang akan tergerak melakukan sesuatu tanpa adanya cara pandang. Cara pandang hanya bisa muncul dan dibangun dari sebuah kesadaran. Gampangnya gini deh, kalo kamu berpikir bahwa untuk menjadi yang terbaik di kelasmu itu adalah dengan memiliki banyak prestasi di bidang akademik, maka kamu akan tergerak untuk melakukan hal-hal yang bisa mendongkrak prestasimu. Paling mudah adalah belajar. Nah, kesadaran itu muncul ketika kamu harus belajar. Kalo sekadar pengen doang tanpa melakukan apa pun, itu tandanya cuma mengkhayal.

Nah, sekarang soal kedewasaan ya. Kalo secara fisik, okelah kamu udah pada gede. Anak usia SMP saja sebenarnya udah banyak yang baligh, apalagi yang SMA. Cuma, baligh saja, sebagai tanda bahwa dia dewasa alias mukallaf (terbebani hukum), belum cukup kalo karakter dan sikapnya serta cara pandangnya nggak ikut meningkat. Nggak ikut dewasa cara berpikirnya. Itu artinya masih kekanak-kanakan. Gampang putus asa, sembrono, masih memikirkan diri sendiri (itu pun sebatas hiburan semata), nggak bertanggung jawab, dan hal lain yang biasanya ditemui di masa kanak-kanak, itu artinya kamu emang masih anak-anak walau secara usia udah nambah dan body-mu bongsor. Casing sih oke, penampilan boleh. Namun, jeroan alias dalemannya masih ecek-ecek. Menang di tampang doang. Waduh!

Kesadaran itu akan menumbuhkan tanggung jawab, lho. Misalnya aja nih. Ketika kamu udah di kelas 9 alias kelas 3 SMP, maka kamu kudu mikirin mau lanjut ke mana sekolahmu di jenjang SMA. Berpikir juga, keterampilan apa yang harus dimiliki buat bekal jika lulus SMA. Apa perlu lanjutnya ke SMK dan ambil jurusan tertentu. Nah, itu mestinya udah dipikirkan, ya. Jangan sampe blas nggak kepikiran sama sekali karena kamu sibuk main dan main-main dengan hidupmu. Duh, teman yang lain udah lari jauh, kamu asih betah jalan di tempat. Itu pun dengan prestasi jeblok, karena banyak main-main. Nggak serius menata masa depan. Usia terus bertambah tapi sekadar dipake buat nongkrong, ngabisin duit dari ortu, dan malas belajar.

Ada baiknya kamu merenungkan hadits ini. Dari Abu Barzah al-Aslami, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR Tirmidzi no. 2417, dari Abi Barzah Al Aslami. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Bisa kamu pahami ya, gimana jadinya kalo dalam hidupmu selama ini lebih banyak main ketimbang serius belajar dan memperbaiki akhlak. Rugi kuadrat pake banget. Berat kalo harus mempertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Penjelasan tambahan di laman rumaysho.com tentang hal ini, saya kutipkan, ya (dengan editing sesuai kebutuhan). Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: waktu mudamu sebelum masa tuamu, waktu sehatmu sebelum waktu sakitmu, waktu kayamu sebelum waktu fakirmu, waktu luangmu sebelum waktu sibukmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu.” (HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok, 4: 341. Hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)

Ghanim bin Qais berkata, “Di awal-awal Islam, kami juga saling menasehati: wahai manusia, beramallah di waktu senggangmu sebelum datang waktu sibukmu, beramallah di waktu mudamu untuk masa tuamu, beramallah di kala sehatmu sebelum datang sakitmu, beramallah di dunia untuk akhiratmu, dan beramallah ketika hidup sebelum datang matimu.” (Disebutkan dalam Hilyatul Auliya’. Dinukil dari Jami’ Al-‘Ulum wa al-Hikam, jilid 2, hlm. 387-388)

Nah, jelas ya. Ini semua nggak bisa muncul dan terealisasi kalo nggak diawali dengan kesadaran. Beneran.

Lalu, harus bagaimana?

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Tentu, kalo udah sadar ya segera memperbaiki. Belajar dari kesalahan selama ini. Sadar bahwa harus berbuat baik, maka segera lakukan, seolah tak ada hari esok. Gercep alias gerak cepat. Nggak nyantai.

Nah, apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kondisi ini, kondisimu yang lebih banyak main-main dalam hidupmu, walau sejatinya usiamu sudah bertambah dan badanmu juga bongsor. Apalagi kalo harus memikirkan apa bekal yang bakal dibawa ke akhirat kelak. Kalo sampe nggak dipikirkan, waduh bahaya banget itu. Nggak ada persiapan.

Baik, memulainya dari sadar diri bahwa kita adalah makhluk. Hamba Allah Ta’ala. Tentu ada tujuannya dalam hidup kita. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS adz- Dzariyat [51]: 56)

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS al-Mu’minun [23]: 115)

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Apakah kalian diciptakan tanpa ada maksud dan hikmah, tidak untuk beribadah kepada Allah, dan juga tanpa ada balasan dari-Nya?” (Madaarijus Salikin, jilid 1, hlm. 98)

Jadi nih, beribadah kepada Allah adalah tujuan diciptakannya jin, manusia dan seluruh makhluk. Makhluk tidak mungkin diciptakan begitu saja tanpa diperintah dan tanpa dilarang. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS al-Qiyamah [75]: 36)

Mengakhiri tulisan singkat ini, yuk kita sadar segera. Jauhi lingkungan yang membuatmu tak pernah menyadari pentingnya kehidupan ini. Bekal amalan apa yang bisa dijadikan pahala dan membawa kita dalam kehidupan yang lebih baik, harus terus diupayakan untuk meraih rahmat dan ampunan Allah Ta’ala. So, udah gede, jangan main mulu! [O. Solihin | IG @osolihin]