Friday, 22 November 2024, 13:28

Berbicara mengenai “waktu” mengingatkan penulis kepada ungkapan Malik Bin Nabi dalam bukunya Syuruth An-Nahdhah (Syarat-syarat Kebangkitan) saat ia memulai uraiannya dengan mengutip satu ungkapan yang dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis Nabi Saw.:
Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru. “Putra-putri Adam, aku waktu, aku ciptaan baru, yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.”

Kemudian, tulis Malik Bin Nabi lebih lanjut:

Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota, dan desa, membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya, walaupun segala sesuatu –selain Tuhan– tidak akan mampu melepaskan diri darinya.

Sedemikian besar peranan waktu, sehingga Allah Swt. Berkali-kali bersumpah dengan menggunakan berbagai kata yang menunjuk pada waktu-waktu tertentu seperti wa Al-Lail (demi Malam), wa An-Nahar (demi Siang), wa As-Subhi, wa AL-Fajr, dan lain-lain.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN WAKTU?
Dalam Kamus Besar Bahasa indonesia paling tidak terdapat empat arti kata “waktu”: (1) seluruh rangkaian saat, yang telah berlalu, sekarang, dan yang akan datang; (2) saat tertentu untuk menyelesaikan sesuatu; (3) kesempatan, tempo, atau peluang; (4) ketika, atau saat terjadinya sesuatu.

Al-Quran menggunakan beberapa kata untuk menunjukkan makna-makna di atas, seperti:

a. Ajal, untuk menunjukkan waktu berakhirnya sesuatu, seperti berakhirnya usia manusia atau masyarakat. Setiap umat mempunyai batas waktu berakhirnya usia (QS Yunus [10]: 49)

Demikian juga berakhirnya kontrak perjanjian kerja antara Nabi Syuaib dan Nabi Musa, Al-Quran mengatakan:

Dia berkata, “Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dan kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas yang kita ucapkan” (QS Al-Qashash [28]: 28).

b. Dahr digunakan untuk saat berkepanjangan yang dilalui alam raya dalam kehidupan dunia ini, yaitu sejak diciptakan-Nya sampai punahnya alam sementara ini.

Bukankah telah pernah datang (terjadi) kepada manusia satu dahr (waktu) sedangkan ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (karena belum ada di alam ini?) (QS Al-insan [76]: 1).

Dan mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain saat kita berada di dunia, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan (mematikan) kita kecuali dahr (perjalanan waktu yang dilalui oleh alam)” (QS Al-Jatsiyah [45]: 24).

c. Waqt digunakan dalam arti batas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu peristiwa. Karena itu, sering kali Al-Quran menggunakannya dalam konteks kadar tertentu dari satu masa.

Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban kepada orang-orang Mukmin yang tertentu waktu-waktunya (QS Al-Nisa’ [4]: 103).

d. ‘Ashr, kata ini biasa diartikan “waktu menjelang terbenammya matahari”, tetapi juga dapat diartikan sebagai “masa” secara mutlak. Makna terakhir ini diambil berdasarkan asumsi bahwa ‘ashr merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia. Kata ‘ashr sendiri bermakna “perasan”, seakan-akan masa harus digunakan oleh manusia untuk memeras pikiran dan keringatnya, dan hal ini hendaknya dilakukan kapan saja sepanjang masa.

Dari kata-kata di atas, dapat ditarik beberapa kesan tentang pandangan Al-Quran mengenai waktu (dalam pengertian-pengertian bahasa indonesia), yaitu:

a. Kata ajal memberi kesan bahwa segala sesuatu ada batas waktu berakhirnya, sehingga tidak ada yang langgeng dan abadi kecuali Allah Swt. sendiri.

b. Kata dahr memberi kesan bahwa segala sesuatu pernah tiada, dan bahwa keberadaannya menjadikan ia terikat oleh waktu (dahr).

c. Kata waqt digunakan dalam konteks yang berbeda-beda, dan diartikan sebagai batas akhir suatu kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan. Arti ini tecermin dari waktu-waktu shalat yang memberi kesan tentang keharusan adanya pembagian teknis mengenai masa yang dialami (seperti detik, menit, jam, hari, minggu, Bulan, tahun, dan seterusnya), dan sekaligus keharusan untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu-waktu tersebut, dan bukannya membiarkannya berlalu hampa.

d. Kata ‘ashr memberi kesan bahwa saat-saat yang dialami oleh manusia harus diisi dengan kerja memeras keringat dan pikiran.

Demikianlah arti dan kesan-kesan yang diperoleh dari akar serta penggunaan kata yang berarti “waktu” dalam berbagai makna.

—————-
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan