Thursday, 21 November 2024, 22:41

gaulislam edisi 376/tahun ke-8 (14 Rabiul Awwal 1436 H/ 5 Januari 2015)

 

Malam pergantian tahun baru udah lewat beberapa hari yang lalu. Itu momen yang ditunggu-tunggu tidak hanya di belahan bumi Eropa dan Amerika. Tetapi sebagian masyarakat kita pun menantikannya. Momentum pergantian tahun umumnya dirayakan dengan meriah. Gemuruh tiupan terompet dengan beraneka ragam bunyi. Gemerlap lampu tersebar di berbagai sudut kota. Dar! Der! Dor! suara petasan memecah keheningan malam. Berbagai hiburan seperti konser musik dan pertunjukkan kesenian pun digelar.

Hampir semua kalangan bersuka-cita merayakan perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Acara reuni atau kumpul bareng family sambil barbekyuan. Bagi kaum muda–terutama mereka yang memiliki gandengan–merayakan dengan konvoi keliling kota, pesta di restoran atau kafe. Satu hal yang dianggap tak kalah penting yaitu saat lonceng tengah malam berbunyi, kembang api diledakkan dan orang-orang meneriakkan kata “Happy New Year”. Ya, itulah fakta yang sering kita lihat, dengar dan rasakan.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Memang benar banyak orang bersuka-cita memeriahkan malam pergantian tahun. Termasuk mereka yang notabene-nya muslim. Padahal tak sedikit dari kita yang sudah tahu bahwa hal tersebut merupakan tradisi orang kafir. Perayaan tahun baru berasal dari praktek pagan Romawi yang dilanjutkan menjadi perayaan dalam Kristen. Islam sudah jelas melarang pemeluknya untuk ikut serta. Termasuk mengucapkan ‘Selamat natal dan tahun baru’. Sayangnya, banyak yang menafikkan. Tak hanya barbekyu, meniup terompet atau menyalakan kembang api, tetapi banyak juga yang merayakannya dengan perbuatan terlarang seperti pesta narkoba, miras dan seks di hotel atau motel terdekat. Naudzubillahi min dzalik!

Banyak orang tak sadar sudah menghamburkan uang untuk menikmati malam tersebut. Euforia berlebihan, berhura-hura, berpesta dengan makanan dan minuman yang mewah. Merelakan uang demi menyaksikan sang idola manggung di konser musik, menggunakan waktu tidurnya untuk melihat kembang api, bergaya dan konvoi keliling kota dengan sorak sorai dan suara kendaraan yang bising. Menyewa hotel atau tempat sejenisnya yang bahkan harganya naik berkali lipat. Ya, para pelaku bisnis memanfaatkan momen ini demi meraup untung besar.

Itu belum cukup, sebab udah terbiasa juga perbuatan zina yang merampas kehormatan remaja perempuan apalagi jika sampai terkena penyakit AIDS. Tinggalah rasa sesal dan sesak di dada. Naudzubillahi min dzalik! Bukankah hal ini sia-sia dan akan menambah dosa? Hasil dari malam tahun baru yang tampak adalah kemacetan lalu lintas, sampah berserakan termasuk ditemukan banyak kondom. Bukankah ini menunjukkan bahwa momen pergantian tahun hanya fenomena yang memberikan kesenangan sesaat?

 

Di balik malam pergantian tahun

Sobat gaulislam, pernahkah terlintas di benakmu mengapa orang muslim ada yang ikut merayakan momen itu? Perlu kita ketahui bahwa momen pergantian tahun baru adalah senjata orang kafir untuk menyerang kaum muslimin. Mereka ingin menghancurkan dan menjauhkan kita dari agama Islam. Kita lihat, perayaan tahun baru dibuat lebih meriah dan megah dibandingkan hari raya Idul Fitr dan Idul Adha. Mereka sengaja membuat kaum muslimin bersenang-senang dan berhura-hura layaknya kebiasaan orang Barat yang hedonis dan permisif. Kenapa? Bisa jadi hal itu agar kaum muslimin lupa dengan penderitaan saudaranya yang berada di tempat lain. Di Papua, Sulawesi, Myanmar, Somalia, Palestina, Kenya, Mesir, Irak dan lainnya. Lebih parah, mereka ingin menjadikan Barat sebagai kiblat budaya kaum muslimin. Mereka ingin remaja-remaja Islam bangga dan mengagungkan Barat, mengikuti style mereka yang jauh dari ajaran Islam hingga membuat kaum muslimin lupa dengan akhirat dan terlena dalam kenikmatan dunia. Astaghfirullah

 

Ketika usia bertambah

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Hari berganti hari. Tahun pun berganti tahun. Usia kita semakin bertambah. Sebagian orang merasa senang dengan bertambahnya usia. Mereka menganggapnya sebagai momen penting yang harus dirayakan. Rela mengeluarkan biaya besar demi mengadakan pesta mewah atau mengadakan pesta kecil-kecilan. Acara tiup lilin dan potong kue pun tak terpisahkan. Usia 17 tahun sering dianggap sebagai usia dewasanya anak. Si anak mendapatkan kebebasan dari orang tua termasuk mendapat restu untuk berpacaran. Tapi banyak juga anak yang tak peduli dengan orang tua. Mereka tetap berpacaran meskipun sudah dilarang.

Bukan usia yang menentukan dewasa atau tidaknya seseorang. Banyak orang yang usianya sudah puluhan tahun tapi berprilaku seperti anak remaja. Sebaliknya, tak sedikit yang usianya masih muda namun sikap dan taraf berpikirnya luas layaknya orang dewasa. Abdullah bin ‘Umar memiliki semangat juang yang bergelora untuk ikut berperang sejak berumur 13 tahun. Pada usia 18 tahun, Usamah bin Zaid diangkat oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai komandan kaum muslimin menyerbu wilayah Syam yang saat itu berada dalam kekuasaan Romawi. Subhanallah!

Pada hakikatnya bertambahnya usia menjadikan jatah hidup kita di dunia berkurang. Memang, hanya Allah yang tahu batas usia kita. Sebanyak apapun kita berdoa agar dipanjangkan usia, tetap saja manusia akan mengalami kematian. Saat ajal menjemput, tak ada lagi kesempatan untuk bertaubat. Sekarang, cobalah kita intropeksi diri. Usia bertambah tua. Apa saja yang telah kita lakukan selama hidup di dunia? Apakah dengan usia sekarang sudah memberi manfaat bagi diri sendiri atau orang lain? Masihkah kita egois dan tak peduli dengan orang di sekitar kita? Apakah kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain game, pacaran, bolos sekolah, malakin orang, tawuran atau nongkrong tak karuan? Apakah rajin ibadah, semangat mencari ilmu, berbakti kepada orangtua dan berdakwah? Sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk akhirat?

Sobat gaulislam, setiap orang tahu bahwa dirinya akan mati. Namun, banyak juga yang berdalih dan menyia-nyiakan hidupnya dengan melakukan hal yang tidak berguna dan diharamkan. Meninggalkan sholat, melawan orang tua, sibuk mencari kekayaan, pacaran, berjudi, mabuk-mabukkan, menipu dan lainnya. Mereka menganggap hidup sebagai kesempatan untuk berbuat apapun sesukanya sebelum ajal benar-benar menjemput. Tak pandai memenej waktu hingga terlena dengan kenikmatan dunia. Tidak peduli bahwa ajal akan menjemput kapan saja dan di mana saja. Mereka termakan opini sesat: muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga. Seakan-akan dunia milik sendiri. Bebas berperilaku, berbicara dan berekspresi. Tak peduli dengan orang lain.

“Nanti saja kalau sudah tua,” kira-kira itulah jawaban jika ditanya tentang kapan akan bertaubat. Ketika sudah tua pun belum tentu bertaubat. Tak ada jaminan. Manusia memang pandai berkata-kata. Janji yang pernah diucapkan belum tentu ditepati. Hati-hati lho!

 

Waktru ibarat pedang

Sobat gaulislam, waktu di dunia amat singkat dan akan terus berkurang. Waktu begitu cepat berlalu. Badan yang kuat dan muda akan memudar seiring bertambahnya usia. Rasanya baru kemarin libur semester, sekarang sudah masuk lagi. Rasanya baru saja bertemu dengan yang dicinta (baca: orang tua, keluarga, sahabat) sekarang sudah berpisah.

Waktu ibarat sebuah pedang. Ketika digunakan dengan benar akan bermanfaat, misalnya saat berperang. Dengan semangat juang tinggi dan atas izin Allah para musuh akan tumbang. Sebaliknya, pedang akan melukai dan menusuk diri sendiri jika kita tak pandai menggunakannya. Begitu pun waktu. Jika dimanfaatkan untuk kebaikan dan amal shalih, akan mengantarkan kita menuju jannah-Nya. Waktu yang dilewatkan dengan hal sia-sia akan menjerumuskan kita pada neraka-Nya. Ketahuilah bahwa kita akan ditanya tentang setiap hal yang kita kerjakan selama hidup di dunia. Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti sampai ditanya tentang empat perkara: (1) tentang umurnya untuk apa dia gunakan, (2) tentang ilmunya, sejauh mana dia amalkan ilmunya tersebut, (3) tentang hartanya, dari mana harta tersebut didapatkan dan untuk apa harta tersebut dibelanjakan, dan (4) tentang tubuhnya, untuk apa dia gunakan.” (HR at-Tirmidzi)

Hidup di dunia merupakan karunia dari Allah Ta’ala. Meskipun bersifat sementara namun inilah kesempatan kita untuk menyiapkan bekal akhirat. Surga Allah tidaklah gratis. Kita harus menjadi hamba-Nya yang bertakwa. Manfaatkanlah sisa waktu dan usia dengan berbuat kebaikan dan memperbanyak amal shalih. Hentikan semua aktivitas yang tidak berguna. Ingat, waktu yang telah berlalu tidak akan kembali. Jangan sampai membuat kita menyesal pada akhirnya.

Bro en Sis rahimakumullah, kita harus menyadari bahwa kehidupan di akhirat yang kekal. Orang muslim bukanlah orang egois yang hanya mementingkan diri sendiri. Selalu peduli dengan kondisi di sekitarnya. Merasa haus dengan ilmu dan akan bersemangat mendapatkannya. Pelajari dan pahamilah ajaran Islam. Kemudian amalkan dan transfer kepada muslim lainnya. Tumbuhkan ghirah untuk berdakwah demi tegaknya syariat Islam di muka bumi. Hidup akan terasa nikmat dan bermanfaat jika terikat dengan syariat.

Sobat gaulislam, jadilah muslim yang pintar mengatur waktu. Membagi antara kehidupan dunia dan akhirat. Tak mudah tergerus melakukan hal yang tak berguna dan terlarang. Hiasilah hari-hari dengan ibadah kepada-Nya. Di antara bekal itu adalah ilmu. Carilah ilmu seluas-luasnya. Kenapa? Karena ilmu akan menerangi kehidupan kita. Jangan sibuk dengan hal-hal yang tidak bermanfaat dan melalaikan dari ibadah kepada-Nya. Selalu berusaha menjadi orang yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Semoga usia kita barokah dan amal ibadah diterima Allah Ta’ala. Aamiin.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR Thabrani dan Daruquthni)

Ayo, manfaatkan waktu dan usia kita untuk ibadah kepada Allah Ta’ala dan mengerjakan amal shalih lainnya dengan tetap berharap meraih keridhoan-Nya. Semangat! [Muhaira | Twitter: @az_muhaira]