Selasa, 2 April 2002 ada sebuah pesta besar. Sebuah kontes yang boleh dibilang nggak lazim digelar. Yup, saat itu di Bali Room, Hotel Indonesia Jakarta, ada kontes kecantikan yang nggak biasanya. Pesertanya? Para waria. Wuah? Jumlahnya juga lumayan banyak, 300 orang peserta. Dan pemenangnya? Tentunya kaum waria juga dong. Ehm, pemenangnya adalah Balkist alias Rizki Murni asal Palembang. (Kompas, 7 April 2002)
Hmm… kaum waria, yang selama ini oleh sebagian besar masyarakat dipandang sebagai makhluk anomali, kini muncul dengan berani di ajang tersebut. Digelarnya kontes “kecantikanâ€? antarmereka, boleh dibilang sepertinya ingin menunjukkan identitas dirinya kepada masyara?¬kat luas, bahwa mereka layak dihargai.
Wah, wah, wah, ternyata mereka kini mulai berani unjuk kekuatan. Berani tampil beda. Jangan heran sobat, sebab ini nggak lepas dari aturan main yang ada dalam kehidupan masyarakat kita. Inilah bagian dari sebuah produk kebebasan khas kapitalisme. Bebas bagi siapa saja untuk berekspresi, dan saenake udele dhewek dalam berbuat. Bagi para aktivisnya, kebebasan adalah segalanya. Siapa?¬pun tak berhak untuk melarang seseorang dalam berbuat. Pokoknya, nafsi-nafsi en nggak boleh cerewet bin bawel terhadap apa yang dilakukan orang lain. Termasuk dalam soal kehidupan waria ini, menurut mereka, tak boleh dilarang. Biarkan bebas, lepas, dan jangan ada yang usil. Titik. Well, itu pulalah yang kemudian menjadi “angin surgaâ€? bagi orang-orang yang tipis iman untuk melakukan apapun yang ingin dijalaninya tanpa perlu memandang aturan agama. Naudzubillah min dzalik.
Terus terang aja kita khawatir dengan semakin banyaknya populasi mereka. Nggak mustahil bila kemudian menjadi tren yang diakui dan dianggap wajar oleh kita-kita yang normal. Celaka memang, sebab, ini sudah merupakan pembangkangan terhadap kodrat. Bayangkan bila orang-orang model begini jumlahnya banyak, betapa kacaunya kan? Anggap saja dalam pembagian waris, nanti gimana ngaturnya? Atau dalam berpakaian, batasan auratnya yang mana dan seperti apa? Belum lagi dalam urusan sholat misalnya—itupun kalo ada yang sholat—bagaimana pengaturannya?
Mengerikan banget. Apalagi banyak dari mereka yang disebut waria ini sebetulnya adalah berjenis kelamin tunggal, yakni lelaki. Tapi karena kondisi lingkungannya nggak men?¬dukung perkembangan kepribadiannya, maka akhirnya mereka “menjadiâ€? perempuan. Bener lho. Banyak kasus kejadiannya begitu.
Seperti kalo ada anak laki yang kerja di salon kecantikan, mereka biasanya akan kebawa jadi “perempuanâ€?. Maklum, bergaulnya kan se?¬ring dengan perempuan. Bagi yang nggak tahan godaan, jadi deh ikutan dalam komunitas mereka. Mulai dari soal busana, cara dandan, bahkan cara jalan dan logat bicara. Ini jelas merupakan kejanggalan berbuah dosa. Kalo dibiarkan bisa berbahaya.
Bahkan kalo mau dilihat akibatnya, sekarang aja udah banyak orang yang mencoba berpenampilan seperti itu. Di film misalkan, setidaknya mengajarkan model gaya hidup yang nggak bener. Ada yang berperan menjadi bencong, kayak Tata Dado. Doi istiqomah banget berperan sebagai banci (atau emang banci?). Anehnya masyarakat nggak ada yang protes atas aksi anehnya. Jadinya betah deh Tata Dado berpenampilan seperti itu. Ini satu contoh lho. Masih banyak yang lainnya; Ozy Syahputra, Ade Juwita, dan kawan-kawan seprofesinya yang betah berpenampilan perempuan. Aduh, ini masalah besar yang kudu segera dibereskan.
Hermaphrodite?
Wow, emangnya cacing? Upssss. Begini.Sebagian kecil memang ditemukan kasus orang-orang yang berkelamin ganda. Tapi kejadian yang ada saat ini lebih karena faktor lingkungan yang telah menjadikan pelakunya berubah jadi “perempuan’. Karuan aja fenomena ini tentunya bikin kita miris. Bikin kita merasa was-was, dan tentunya sekaligus kasihan sama mereka. Sebab, mayoritas yang menjadi waria saat ini sama sekali bukan karena faktor genetik. Tapi karena faktor lingkungan sekitar. Allah Swt hanya menciptakan dua jenis kelamin bagi manusia. Laki-laki dan wanita. Itu saja. Nggak ada jenis ketiga. Firman Allah Swt.:
?????§?£?????‘???‡???§ ?§?„?†?‘???§?³?? ?§???‘???‚???ˆ?§ ?±???¨?‘???ƒ???…?? ?§?„?‘???°???? ?®???„???‚???ƒ???…?’ ?…???†?’ ?†?????’?³?? ?ˆ???§????¯???©?? ?ˆ???®???„???‚?? ?…???†?’?‡???§ ?²???ˆ?’?¬???‡???§ ?ˆ???¨???«?‘?? ?…???†?’?‡???…???§ ?±???¬???§?„?§?‹ ?ƒ???«?????±?‹?§ ?ˆ???†???³???§???‹
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah mencip?¬takan isterinya; dan daripada keduanya Allah memper?¬kembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.â€? (TQS an-Nis?¢ [4]: 1)
Tuh kan, dari keterangan ayat ini amat jelas bahwa Allah Swt. hanya menciptakan manusia berpasangan, yakni laki-laki dan wanita. Nggak ada jenis ketiga. Apalagi yang sekarang disebut waria, yang emang udah jelas-jelas laki menyerupai perempuan, dosa itu. Bagaimana dengan yang emang berkelamin ganda?
Begini, memang benar kalo dikatakan bahwa para ahli fiqih Islam telah mendefinisikan istilah “khanatsa�, yakni orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan kelamin wanita (hermaphrodit), atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali. Keadaan yang kedua ini menurut para fuqaha dinamakan khuntsa musykil, artinya tidak ada kejelasan. Sebab, setiap manusia seharusnya mempunyai alat kelamin yang jelas, laki atau perempuan.
Kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas status hukumnya. Utamanya da?¬lam menjalankan syariat. Seperti sholat, haji, batasan aurat, dan lain-lain. Kalo nggak jelas kan bingung. Jangan sampe kejadian, ketika diwajibkan pake jilbab, tapi jenggotan dan suaranya berat. Gimana urusannya kan?
Oleh karena itu, adanya dua jenis kelamin pada seseorang—atau bahkan sama sekali tidak ada—disebut sebagai musykil. Karuan aja kea?¬daan ini membingungkan karena tidak ada kejelasan, kendatipun dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya dengan mencari tahu dari mana ia membuang “air kecil”.
Bila urinenya keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan aturan hukumnya jelas, yakni sesuai dengan yang dibebankan untuk laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina, ia divonis sebagai wanita dan tentunya menjalankan syariat sesuai dengan jenis kelaminnya. Namun, bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina) secara berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai khuntsa musykil. Dan ia akan tetap musykil hingga datang masa akil baligh.
Selain cara tadi, bisa juga dilakukan dengan cara mengamati pertumbuhan badan?¬nya, atau mengenali tanda-tanda khusus yang lazim sebagai pembeda antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, bagaimana cara ia ber?¬mimpi dewasa (maksudnya mimpi dengan mengeluarkan air mani, red), apakah ia tumbuh kumis dan jenggot, apakah tumbuh payudara?¬nya, apakah ia haid atau hamil, dan sebagainya. Bila tanda-tanda tersebut tetap tidak tampak, maka ia divonis sebagai khuntsa musykil.
Kenapa kudu jelas? Sebab akan mem?¬bantu dalam praktik penerapan syariat Islam. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasu?¬lullah saw. ketika ditanya tentang hak waris seseorang yang dalam keadaan demikian, maka beliau menjawab dengan sabdanya: “Lihatlah dari tempat keluarnya air seni.”
Menyalahi kodrat!
Lho kok? Iya, sebab sudah jelas mereka itu laki-laki, tapi berlagak perempuan, dalam bahasa Arab disebut sebagai al-khuntsa (banci). Istilah ini diambil dari kata khanatsa berarti ‘lunak’ atau ‘melunak’. Misalnya, khanatsa wa takhannatsa, yang berarti apabila ucapan atau cara jalan seorang laki-laki menyerupai wanita: lembut dan melenggak-lenggok. Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas r.a berkata: “Rasulullah saw. Melak?¬nat laki-laki yang berlagak (seperti) perempuan dan perempuan yang berlagak (seperti) laki-lakiâ€?
Dalam redaksional hadis lain, yakni hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Abu Hurairah r.a. berkata: “Rasulullah saw. telah melaknat orang laki-laki yang meniru pakaian perempuan, dan orang perempuan yang meniru pakaian lelaki.�? (kitab Riadhus Shalihin jilid II, hlm. 490).
Untuk melengkapi penjelasan, kamu bisa simak juga sebuah riwayat dari Abdullah bin Amr bin Ash yang mengatakan bahwa dirinya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Bukan termasuk golonganku wanita yang me?¬nyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita.â€? (HR Ahmad).
Sobat muda muslim, para banci alias waria ini memang bener-bener menyalahi kodrat. Dosa dong? Tentu sobat. Jangan sampe deh kita ikutan-ikutan begitu hanya karena melihat tren. Bener, sebab sekarang kelakuan rusak begitu sudah menjadi tren gaya hidup sendiri. Bahkan acapkali digembar-gemborkan bahwa itu merupakan bagian dari sebuah realitas dan harus dilembagakan.
Maraknya orang jadi waria, memang realitas, tapi bukan berarti harus diakui dong. Iya nggak? Sebab, kalo pun itu sebuah kenyataan, tapi bila menyalahi syariat, tentunya dipandang sebagai perbuatan dosa dong. Rasanya kaum muslimin kudu mulai mengubah cara pandang. Yup, supaya kita bisa menilai benar dan salah sesuai syariat Islam.
Teman, kamu pantas miris. Dalam buku Memberi Suara pada yang Bisu, Dede Oetomo, pendiri Lambda Indonesia, yakni organisasi para gay pertama di Indonesia mencatat bahwa sebenarnya telah terjadi pelembagaan terhadap transvestisme (paham tentang banci) secara tradisional di Indonesia. Komunitas seperti bissu di Sulawesi Selatan, gemblak dan gand?¬rung di Jawa dan Bali, atau beberapa pelem?¬bagaan lainnya, merupakan bentuk-bentuk pengakuan keberadaan kaum homoseksual. (Waria juga dalam orientasi seksnya cenderung homoseksual). (Kompas, 7 April 2002). Waduh!
Lalu gimana perlakuan Islam terhadap para banci alias waria ini? Dalam riwayat az-Zuhri dari Aisyah r.a. disebutkan (tatkala beliau menjumpai seorang banci) Rasulullah saw. bersabda: “Ingatlah, aku tidak mau lagi melihat orang ini mengetahui apa-apa yang terjadi di sini, maka jangan diizinkan lagi masuk (rumah).â€? Kemudian Rasulullah saw. mengeluarkan dan mengasingkannya dan ia hanya datang ke kota di waktu hari Jumat untuk mencari makanan. Nah, mengasingkan waria alias banci merupa?¬kan salah satu ta’z?®r (sanksi yang diserahkan kepada qadly/Khalifah) terhadap kelompok waria. Nah lho, berat kan?
Berat memang hukumannya, itu sebab?¬nya, kita mengimbau kepada para waria untuk segera bertobat. Insya Allah masih ada waktu untuk kembali ke jalan yang benar. Tapi bila tetap betah jadi banci, berarti menghalalkan dirinya dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya, Naudzubillahi min dzalik.
Sobat muda muslim, sekali lagi kita tegaskan, bahwa inilah produk hukum kapitalis?¬me. Sistem yang senantiasa melahirkan kejang?¬galan, kejahatan, dan globalisasi kemaksiatan. Rasanya, tak ada harapan lagi bagi kita untuk terus mendambakan kedamaian dan ketentra?¬man dari sistem kehidupan yang rusak bin error ini. Bukan hanya rusak, bejat, nggak mutu, tapi emang kapitalisme, beserta turunannya, yakni demokrasi adalah sistem kufur, sehing?¬ga kita haram mengadopsinya. Jadi jangan sampe kita latah ikut memperjuangkan demokrasi. Justru yang kudu kita perjuangkan adalah islam. Sekali lagi, Islam!
Islam, sebagai sebuah ideologi, bakalan mampu mengatasi seluruh problem kehidupan, ter?¬masuk membereskan masalah menjamurnya tren kehidupan menjadi waria (banci) ini. Islam akan menindak tegas mereka yang menyalahi kodrat dan syariat Allah ini dengan jenis sanksi seperti yang udah disebutkan di atas. Sebab kalo dibiarkan begitu saja bakalan menjamur dan menyeret orang yang normal lainnya. Bahaya bukan? Waria, oh… waria… tobatlah engkau!
(Buletin Studia – Edisi 093/Tahun ke-3/15 April 2002)
Kita, masing-masing pribadi, tidak pernah meminta untuk lahir ke atas dunia ini. Yang jelas, orang tua kita masing-masinglah yang berharap mempunyai ‘anak’. Orang tua kita berharap lahir anaknya dengan baik dan sempurna. Tetapi, bagaimana kalau anak kita itu lahirnya kurang baik dan sempurna?. Apakah Tuhan, Allah SWT yang akan kita persalahkan?.
Ya pasti jawabannya TIDAK, dan keslahan semua ini karena ulah kita manusia itu sendiri. Mungkin, unsur dari laki-laki yang bermasalah, atau sebaliknya unsur perempuannya yang bermasalah. Ini termasuk masalah gaib karena kita tak pernah mencoba memeriksakan diri sebelum perkawinan ke laboratorium media, apakah diantara kita (laki-laki dan perempuan) ada suatu atau beberapa masalah dalam dirinya?.
Begitu pula jika kita mendapat ‘anak’ dengan kondisi yang berstatuskan ganda tapi ‘murni’ berasal dari bawaan lahirnya atau bukan dibuat-buat menjadi kewariaan. Apakah kita selaku orang tuanya, begitu pula si anaknya harus menanggung keragu-raguan, kegundahan, malu atas keadaannya yang berstatus ganda dsb.?.
Untuk memecahkan masalah ini, Islam sebagai ajaran Rahmatan Alamin bagi setiap umat manusia, dapat membantu menyelesaikan masalah ini. Apalagi dengan era serba canggih dan dengan kemajuan yang luar biasa sekarang ini, kita dapat menemukan solusi terbaik akan masalah ‘waria’ ini.
Katakanlah, ada suatu lembaga multi unsur, baik para ahli seperti ulama, para medis, psikologi, hukum dan para pejabat terkait dan berasal dari berbagai lembaga yang erat hubungannnya. Atas dasar fatwa lembaga ini, dapat direkomendasi seseorang itu dipertegas kestatusan waria tersebut, katakanlah dia diputuskan menjadi seorang wanita saja. Sebaliknya, dia akan sulit jika diputuskan sebagai ‘laki-laki’!.
Kenyataan, memang yang terbanyak adalah laki-laki yang mau menjadi keperempuanan sebaliknya amat jarang perempuan mau menjadi ‘kelaki-lakian. Dengan demikian, akan dapat dituntaskan secara total masalah ini, otomatis akan mengurang beberapa masalah sosial dalam kehidupan rakyat dan umat kita di negeri tercinta ini.