Friday, 22 November 2024, 06:14

Perempuan bekerja, bukan hal asing lagi di jaman sekarang. Mulai dari bidang berat seperti di perindustrian dengan menjadi tenaga yang menggerakkan roda-roda mesin, jadi kuli bangunan hingga ke bidang yang emang sesuai dengan fitrahnya seperti jadi perawat or guru.

Semua seakan berlomba-lomba untuk mendapatkan lahan pekerjaan di sektor publik. Bahkan karena tidak mencukupinya lahan di dalam negeri, banyak dari para perempuan yang eksodus ke luar negeri dengan menjadi TKW alias Tenaga Kerja Wanita. Kalo kita mau mencermati mereka yang disebut TKW ini biasanya berprofesi sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang. Hayo…mana ada professor Indonesia yang menjadi dosen di perguruan tinggi luar negeri disebut TKW? Nggak kan? Sebutannya pasti bukan TKW.

Bukan masalah penyebutan ini yang bakal kita bahas di topik Studia kali ini. Tapi ramainya perempuan di sektor publik inilah, sebab musababnya, fenomena kemunculannya hingga sejauh mana hak perempuan dilindungi dikaitkan dengan sistem Islam dan bagaimana cara mengaturnya. Duh..berat yah? Ah…nggak juga. Lanjut yuk? Siapa takut!

Working women, beginilah nasibmu…
Pernah gak kamu baca surat kabar atau menyimak acara berita di TV tentang nasib para TKW ini? Ato jangan-jangan ketika kamu baca surat kabar cuma kolom gossip artis dan jadwal sinema aja yang kamu buka. Ato bila nonton TV, maka acara infotainment jadi pilihan? Wah…kamu bakal jadi remaja yang kuper (kurang pergaulan) dan kupeng (kurang pengetahuan) kalo gitu. Sorry ya, Non.

Nasib TKW ato nama kerennya working women, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri sesungguhnya gak beda jauh. Bedanya mungkin bagi mereka yang jadi TKW di luar negeri mempunyai prestise tersendiri karena pernah ke Singapura, Malaysia, Hongkong atau bahkan Arab Saudi. Pulang-pulang bawa duit banyak dan membeli selusin sapi dan berhektar-hektar sawah.

Eits, tapi jangan salah. Disamping kesuksesan para TKW yang mampu membawa devisa bagi negara itu, sesungguhnya nasib ribuan yang lainnya jauh merana. Banyak diberitakan media massa bahwa ada TKW asal Lampung yang terancam hukuman mati di Singapura. Belum lagi yang ramai diberitakan baru-baru ini adalah TKW yang bekerja di Arab Saudi yang disiksa oleh majikannya. Dan masih banyak lagi kasus TKW yang tidak terekspos.

Sedangkan jadi TKW di negeri sendiri seringnya jadi pembokat orang kaya dengan gaji standar yang seringkali di bawah UMR (Upah Minimum Regional). Sudah bukan rahasia lagi kalo rata-rata orang Indonesia itu terkenal malasnya (terutama orang-orang berduit) untuk melakukan pekerjaan domestik semacam mencuci baju, piring, bersihin rumah, nyuci kendaraan, dll. Mereka cenderung mengambil pembantu rumah tangga yang seringkali diperlakukan semena-mena. Naudzhubillah.

Fakta TKW negeri sendiri juga banyak dijumpai di pabrik-pabrik sebagai buruh. Mereka bekerja enam hari seminggu dan lebih dari delapan jam per hari dengan upah yang sangat minim. Ketika UMR berkisar sekitar lima ratus ribu rupiah untuk saat ini, mereka para buruh itu menerima gaji jauh di bawah itu. Belum lagi apabila tidak masuk kerja karena alasan tententu, sakit atau keperluan keluarga misalnya, maka potongan gajinya jauh lebih besar daripada pendapatannya. Bisa-bisa mereka cuma kerja bakti selama menjadi buruh di pabrik itu. Mengenaskan banget!

Ini masih fenomena TKW yang bergerak di sektor domestik dan buruh. Belum lagi kita bicara tentang perempuan yang bergerak di sektor lain semisal guru, perawat, pegawai kantoran, atau bahkan eksekutif muda. Begitu banyak PR yang harus dipikirkan berkaitan dengan kondisi para tenaga kerja wanita ini.

Kenapa bisa begitu?
Sistem yang diterapkan atas kita saat ini adalah sistem kapitalisme dengan asas liberalisasinya. Inilah akar masalah munculnya fenomena TKW ini. Ketika semua ukurannya jadi materi, perempuan yang �sekadar’ menjadi ibu rumah tangga dianggap tidak produktif. Produktif dalam isi kepala kapitalis adalah mengerjakan sesuatu yang itu nantinya bisa menghasilkan uang.

Perempuan-perempuan yang semula bangga dan bahagia menjadi ibu rumah tangga diperdaya untuk keluar rumah atas nama emansipasi dan kesetaraan gender. Mereka tak lagi puas berdiam diri di rumah untuk mendidik anak dan menjadi pendamping setia sang suami. Bahkan ketika harta sudah berkecukupan pun serasa ada yang kurang bila ibu hanya tinggal di rumah. Jadilah mereka mulai mencari eksistensi dirinya dengan bekerja atau aktif di luar rumah.

Padahal di sisi lain, begitu banyak perempuan keluar rumah untuk bekerja bukan karena gengsi, tapi murni karena tuntutan ekonomi. Misalnya, karena terlahir dari keluarga yang miskin dan tidak ada saudara laki-laki yang menafkahi. Atau bila pun ada saudara laki-laki tetapi karena pemahaman Islam yang minim, sehingga tidak merasa wajib menghidupi adik atau kakak perempuannya.

Inilah lingkaran setan yang diciptakan oleh sistem sekularisme. Ketika agama hanya digunakan untuk mengurusi urusan manusia dengan tuhannya, dan kehidupan dunia diserahkan pada akal manusia untuk mengaturnya. Kacau bin balau, Neng.

Kondisi ini emang sengaja diciptakan untuk ada. Eksisnya sebuah ideologi tidak bisa bersanding dengan ideologi yang lain. Begitu juga dengan kapitalisme. Runtuhnya Sosialisme-Komunisme sebagai tandingannya, mereka menoleh pada Islam sebagai ancaman. Maka sebelum Islam sebagai ideologi ini muncul, diantisipasilah dengan cara menyeret para muslimahnya ke ruang publik. Demi sebuah eksistensi, kata kalangan atas. Demi sesuap nasi, kata kalangan bawah.

Lalu gimana dong Islam menyikapi persoalan TKW ini dengan benar dan bijak?

Islam juga mengurus TKW
Islam adalah aturan hidup yang lengkap, kita yakin itu. Tidak ada satu persoalan pun yang lepas dari solusi Islam. Termasuk masalah TKW ini. Perempuan dalam Islam begitu mulia dan dilindungi. Tidak ada kewajiban untuk bekerja sebagaimana dibebankan pada laki-laki. Bahkan kewajiban para laki-laki yang berstatus bapak, suami, kakak atau adik laki-laki untuk menafkahi perempuan.

Kewajiban laki-laki dan hak perempuan ini dibuat oleh Yang Maha Mengetahui tentang hakikat manusia. Perempuan dengan seluruh fitrahnya begitu halus dan lembut. Ia telah diberi amanah untuk mengandung dan melahirkan, sesuatu yang tidak dimiliki oleh kaum Adam. Sehingga karena fungsinya keperempuanannya inilah, Islam mengatur hukum bekerja baginya.

Dalam kehidupan Islam yang ideal, perempuan tidak ada kewajiban sedikit pun baginya untuk bekerja. Bila pun ia memang memiliki potensi yang bermanfaat untuk umat sesuai dengan fitrahnya, semisal dengan menjadi guru dan dokter, maka ada syarat-syarat yang harus diperhatikan ketika keluar rumah.

Menutup aurat dengan berkerudung dan berjilbab adalah wajib bagi perempuan. Lalu diperhatikan pula lingkungan tempatnya bekerja apakah ikhtilat/campur baur ataukah tidak. Bidang pekerjaan apa yang ditekuninya, sesuai dengan fitrahnya ataukah tidak. Jangan sampai sudah menutup aurat dan tidak ikhtilat tapi pekerjaannya ternyata mengayuh becak. Duh… tega nian. Bukan bermaksud meremehkan satu pekerjaan tertentu, tapi lihatlah perempuan secara fitrah, fisiknya tidak sekuat laki-laki. Perhatikan tekstur kulit dan tulangnya, beda banget. Belum lagi setiap bulan harus dikunjungi �tamu’ tertentu yang akan semakin menambah lemah tubuhnya.

Karena itulah Islam tahu betul tentang hal ini. Dalam pandangan Islam, perempuan tuh mubah hukumnya untuk bekerja. Selama aktivitas mubah ini dilakukan dengan tidak mengabaikan yang wajib seperti menjadi pengurus rumah tangga dan pendidik utama bagi anak-anaknya, maka bekerja adalah sah-sah aja bagi perempuan.

Bandingkan dengan sistem kapitalisme yang begitu kejam dengan perempuan tapi berkedok emansipasi. Perempuan-perempuan ditarik ke sektor publik, digiring ke pabrik-pabrik untuk menjadi penggerak roda perindustrian. Mereka dibayar dengan gaji lebih murah daripada laki-laki, Tau nggak kamu fakta di lapangan bahwa betapa banyak perempuan yang tidak boleh ambil cuti ketika nyeri masa haid datang. Belum lagi cuti melahirkan yang begitu singkat. Hanya dengan dua atau tiga bulan mereka harus kembali bekerja lagi. Anak yang seharusnya mendapat ASI hingga 2 tahun akhirnya harus menjadi �anak sapi’ karena terlalu banyak minum susu sapi.

Belum lagi pendidikan anak yang diserahkan begitu saja kepada pembantu dan televisi karena sibuknya sang ibu. Kalo udah begini kondisinya, lalu kualitas generasi mendatang kayak apa neh yang bisa kita harapkan?

Memang sih perempuan boleh bekerja. Tapi yang utama haruslah mendapat ijin dari walinya dulu. Kalo masih gadis berarti ayahnya yang menjadi wali. Bila sudah menikah maka suaminya adalah wali dari si perempuan. Tanpa ijin dari walinya, maka sesungguhnya haramlah bagi perempuan untuk keluar rumah.

Kalo boleh nyaranin nih yah, profesi �aman’ sebagai wiraswastawati (ingat ibunda Khadijah kan?) atau sebagai penulis (seperti saya ini.. hehehe… pede banget!) adalah alternatif untuk perempuan memilih profesi. Atau bisa juga sebagai guru, dosen, perawat, dokter dan profesi lain yang sesuai dengan fitrah perempuan. Tentunya dengan tidak meninggalkan kewajiban utamanya sebagai “ibu dan pengatur rumah tangganya�.

Sayangnya, ketika tidak diterapkannya sstem Islam, semua memang serba salah. Ketika wali mengijinkan perempuan untuk keluar rumah, kondisi situasi kerja yang tidak kondusif bagi perempuan adalah kenyataan yang harus dihadapi. Penjagaan dan perlindungan perempuan ketika keluar rumah minim sekali. Sedangkan bila ayah atau suami sendiri yang?  banting tulang mencari nafkah, masih saja belum mencukupi untuk keperluan rumah tangga. Jadilah perempuan juga ambil bagian untuk menjaga agar dapur rumah tetap mengepul.

So, ternyata masalah TKW atau working women ini bukan melulu masalah ekonomi atau sekadar aktualisasi diri. Tapi ada masalah mendasar alias sistem yang melingkupinya. Ini juga kalo gak bisa dibilang malah akar permasalahan dari semua keruwetan yang ada. Trus, gimana dong?

Apa iya, meski miskin perempuan gak usah kerja dan harus pasrah aja? Apa iya, mereka yang diberi anugerah Allah dengan segudang potensi disimpan aja di dalam rumah dengan alasan kondisi gak sesuai syara’? Apa iya, gak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubah kondisi ini? Padahal dalam al-Quran, Allah sendiri yang berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib (keadaan) sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.� (QS ar-Ra’d [13]: 11)

Ngaji dan dakwahkan jawabnya. Di mana pun kamu para muslimah bekerja, entah karena tuntutan ekonomi keluarga ataupun memaksimalkan potensi diri, yang penting jangan berdiam diri. Jangan sampai waktumu hanya habis untuk bekerja saja. Tapi yang utama kemauan untuk mengubah kondisi tidak ideal ini (sistem kapitalisme yang melingkupi kita) dengan sistem ideal yaitu sistem Islam.

Benar juga apa yang dituliskan Pierre Crabbites, dalam artikel �Paham Muhammad terhadap Kaum Wanita’: “Tiga belas abad silam, Muhammad memberikan jaminan kepada kaum ibu, para isteri, dan anak-anak perempuan muslimah dengan mengangkat derajat mereka, yang pada galibnya belum pernah diterapkan terhadap kaum wanita pada sistem perundang-undangan yang berlaku di Barat!�

Oya, untuk berjuang mengubah kondisi ini gak mungkin bisa kamu lakukan tanpa kamu sendiri tahu gimana Islam ngasih solusi. Dan itu semua gak bisa kamu dapatkan tanpa ngaji. Tanpa belajar. So, yok ayok kita kaji Islam sebagai bekal mengubah nasib TKW yang banyak kisah pilunya ini menjadi kondisi ideal dengan Islam saja sebagai ideologinya. Setuju kan? Harus itu! [riafariana]

(Buletin STUDIA – Edisi 254/Tahun ke-6/25 Juli 2005)