gaulislam edisi 864/tahun ke-17 (5 Zulqaidah 1445 H/ 13 Mei 2024)
Kalo kamu merasa gagal move on dari masa lalu, tak kuasa melupakan apa yang pernah menjadi kenangan burukmu, maka bisa jadi kamu mengalami trauma berat dalam hidupmu. Ada yang bilang itu susah sembuh karena yang terluka adalah batinmu, perasaanmu. Tertekan dengan beban derita yang berat. Tak berkutik menghadapi gempuran bertubi-tubi yang melelahkan hati dan melemahkan akal sehatmu. Terpuruk dan terjerembab di lorong gelap nan dingin bernama trauma masa lalu. Sulit bangkit, meski banyak yang mengulurkan tangannya untuk menolong dan memberikan dorongan motivasi. Benarkah luka batin itu sulit sembuh? Mestinya ada cara agar lukamu tak terus menganga. Meski itu trauma mendalam, insya Allah ada harapan bisa sembuh asalkan ada keyakinan untuk mau sembuh dan berharap pertolongan Allah Ta’ala.
Banyak remaja sakit mentalnya. Entah karena perlakuan orang terdekatnya, atau teman pergaulannya. Beban berat dan target yang ditetapkan orang tua, ada yang bikin anak merasa tertekan. Tak bisa melawan, akhirnya memendamnya sekian purnama. Tak ada saluran, lalu menyiksa diri sendiri, kadang ditunjukkan dalam sikap yang tak mau tahu urusan orang lain. Ia hanya fokus pada dirinya sendiri, dan ketakutannya pada tekanan orang tua. Ini bisa bahaya. Waspadalah.
Pergaulan yang nggak sehat dengan teman sebaya, bisa juga memicu trauma dan luka batin. Ya, apa asiknya berteman dengan orang yang doyan nge-bully? Teman tapi preman. Ngeri banget kalo kita hidup di antara teman bergaul yang justru bikin nggak aman dan nggak nyaman. Secara fisik bisa jadi nggak ada luka, tetapi perasaan tertekan, diteror dengan kata-kata makian, atau dibacok dengan sumpah serapah, digebukin dengan kata-kata bernada merendahkan dan menghina. Apa enaknya hidup begitu? Melawan? Kalo kamu mampu silakan. But, nggak semua remaja punya nyali kuat. Sebaliknya udah down duluan karena merasa tak kuasa. Diem makin menjadi-jadi di-bully, mau melawan udah takut duluan. Hasilnya, dia menjadi remaja yang hidup tetapi terampas kedaulatannya. Dia terluka batinnya. Ini juga bahaya.
Trauma masa lalu pada setiap orang tak bisa disamakan. Faktanya memang berbeda-beda. Berbeda bentuk trauma, berbeda cara menghadapinya, tak sama cara menyelesaikan persoalannya, nggak bisa disamain level kekuataan dalam bertahan. Intinya, trauma atas berbagai perlakuan bisa berbeda pada setiap anak dan remaja. Ada yang biasa saja, kuat, bertahan. Ada yang panik, udah down duluan, dan akhirnya nggak sehat secara mental. Kasihan, sih. Tapi mau gimana lagi, secara fakta mentalnya nggak sehat. Namun demikian, tentu bukan akhir dari segalanya. Masih ada yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya. Tentu, nggak semudah membalikkan telapak kaki gajah, eh (berat itu sih!), maksudnya tak semudah membalikkan telapak tangan kayak pas lagi main hompimpah.
Hidup memang berat
Sobat gaulislam, hidup itu sendiri adalah ujian. Kita lahir, kita hidup, berkembang, dan akan ada akhirnya. Jangankan melakukan perjalanan jauh, agar bisa ke kamar mandi aja kita membutuhkan kemauan dan upaya, ada gerak. Ada kondisi yang harus dijalani, dilakukan. Nggak ujug-ujung kepengan ke kamar mandi, langsung seketika udah ada di dalam kamar mandi. Nggak gitu konsepnya. Kita kudu bangkit dari duduk, lalu jalan walau nggak jauh. Jalan menuju kamar mandi, tentunya. Itu butuh kemauan, memerlukan usaha. Apakah kemudian datang ujiannya? Kadang ada aja, sih. Misalnya, pas udah mau ke kamar mandi, eh, ternyata lagi dipakai kakakmu atau adikmu. Berarti kudu nunggu dulu. Sabar. Sama-sama punya hajat. Atau kalo pun nggak ada orang, pas nutup pintu kamar mandi, airnya nggak ada, nggak ngalir. Ujian itu namanya. Kudu cek apakah ada air cadangan atau nggak. Intinya, untuk hal biasa sehari-hari, kita bakalan nemu kendala. Apalagi bila itu masalah besar dalam hidupmu. Hadapi saja. Sabar. Cari solusinya.
Kalo kamu ada kendala dalam berinteraksi dengan keluarga, bergaul dengan teman, atau kondisi lainnya bersama orang lain, hadapi saja. Jangan jadikan beban berat seolah hal itu adalah satu-satunya beban dan kamu merasa berat. Nggak kok. Kalo mau dirasa-rasa, ya memang berat. Tapi kalo hati kita lapang dalam menghadapinya, insya Allah nggak akan terasa berat. Prinsipnya, pekerjaan berat itu akan terasa ringan jika tidak dikerjakan. Eh, maksudnya, beban berat itu akan terasa ringan jika dikerjakan sesuai kemampuan diri, sedikit demi sedikit, sampai akhirnya selesai.
Ingat, dalam sebuah perjalanan jauh, jangan hanya fokus mengkalkulasi jumlah jarak yang harus ditempuh, lalu tak bergerak sedikit pun karena merasa enggan dan berat. Namun, yang kudu dilakukan adalah, coba paksakan mengayunkan kaki untuk langkah pertama dan seterusnya. Pelan-pelan, sesuai kemampuan. Jika udah terbiasa, akan terasa ringan dan persoalan jarak bukan lagi fokus utama, tetapi bergeser untuk menyiapkan tenaga dan strategi untuk tetap melangkah mencapai tujuan. Jika ada kendala, hadapi, sabar, dan cari solusinya.
Intinya, hidup itu ada ujiannya. Ada pengorbanan ketika hendak meraih pencapaian dalam perjalanan hidup kita. Rintangan pasti ada. Itu sebabnya, jangan lengah dan jangan takut. Hadapi. Seringkali itu menyakitkan. Bikin lelah dan akhirnya menyerah. Jangan sampe menyerah. Mestinya memang bertahan. Sebab, nyerah berarti tertinggal dan mungkin saja akan tercecer. Apalagi kalo baper. Semua hal dijadikan alasan untuk mengutuki diri sendiri. Kalo gagal jadi semacam hantaman berat. Nggak semangat, dan akhirnya nggak kuat menghadapi. Di perjalanan ada yang mengganggu dan mem-bully, jangan sampai bikin down. Jangan sampai melemah lalu kamu jadi trauma. Ada luka batin. Jangan sampai seperti itu.
Takdir kita, bagian kita
Sobat gaulislam, apa yang menimpa pada kita, itu adalah bagian dari ujian kita. Terimalah takdir kita dengan hati lapang. Jangan mengeluh, jangan menyalahkan diri sendiri, apalagi menyalahkan orang lain. Ridha atas takdir yang kita dapatkan. Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Siapa yang memenuhi hatinya dengan keridhaan terhadap takdir, maka Allah akan memenuhi dadanya dengan kecukupan, keamanan, serta rasa qana’ah, dan mengosongkan hatinya untuk mencintai-Nya, kembali kepada-Nya, dan bertawakkal kepada-Nya.” (dalam Madarijus Salikin, jilid 2, hlm. 202)
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah juga memberikan nasihatnya, “Seorang hamba selalu berbolak-balik antara ketetapan Allah yang berupa perintah (syariat -pent) dan ketetapan Allah berupa takdir (yang baik dan buruk -pent). Hamba membutuhkan -bahkan sifatnya darurat- pertolongan ketika menjalankan syariat dan membutuhkan kelembutan ketika menjalani takdir. Sejauh mana kesungguhannya dalam menjalankan perintah, maka sebesar itu pula kelembutan yang akan dia dapatkan ketika menghadapi takdir.” (dalam Al-Fawaa’id, terbitan Daarul ‘Aalamil Fawaa’id hlm. 293)
Oya, jangan iri dengan kondisi orang lain. Jangan mempermasalahan takdir orang lain yang menurut kita dia lebih enak dan lebih menyenangkan dari apa yang kita dapatkan. Jangan begitu. Semua sudah diatur oleh Allah Ta’ala. Lagian, jangan selalu melihat apa yang didapat orang lain, tetapi seringlah melihat diri sendiri, berapa banyak yang sudah didapatkan, dan bersyukurlah. Nggak boleh juga kita merasa dirugikan dengan takdir yang kita terima. Lalu dalam kondisi tertentu kita berbuat dosa dengan alasan bahwa kita nggak dikasih takdir yang baik. Misalnya aja, kita menderita tapi nggak terima. Lalu merasa harus melakukan pelanggaran dan dosa dengan dalih takdir. Bukannya bertaubat, ini malah terjerumus dalam maksiat. Waduh, jangan berpikiran begitu, deh.
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan, “Siapa pun yang bertaubat, maka ia serupa dengan ayahnya, Adam. Namun, barang siapa justru terus-menerus dalam dosa dan berdalih dengan takdir, berarti ia serupa dengan Iblis.” (dalam Majmu’ al-Fatawa, jilid 8, hlm. 108)
Dekatlah dengan Allah Ta’ala
Sobat gaulislam, kita senantiasa akan diberikan ujian selama kita masih hidup dan masih di dunia. Ujian akan datang silih berganti. Ada yang membuat luka mendalam dan trauma, sehingga merasa sulit untuk disembuhkan. Namun, sadarlah bahwa itu adalah takdir, jangan mengeluh jangan mencela diri. Justru momen yang tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan ibadah, berdoa, dan berzikir. Berkumpullah dengan orang-orang shalih di majelis-majelis ilmu.
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah menukilkan untaian mutiara nasihat sahabat yang mulia ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Carilah hatimu di tiga tempat ini: 1) Di saat engkau mendengarkan al-Quran; 2) Di saat engkau berada di majelis zikir (majelis ilmu); 3) Di waktu-waktu engkau menyendiri bersama Allah (yakni bermunajat kepada Allah).”
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah melanjutkan, “Jika engkau tidak temukan hatimu di sana, maka mintalah kepada Allah agar memberimu hati karena sesungguhnya engkau sudah tak punya hati lagi.” (dalam Al-Fawaid, hlm. 217)
Mengutuki keadaan diri dan bahkan merasa menderita sakit hati secara berlebihan dan trauma, itu ada tanda bahwa kamu tidak menerima takdirmu yang telah Allah Ta’ala berikan. Hatimu masih keras lalu merasa berhak untuk memembenarkan tindakan salahmu dalam merespon takdir. Itu bahaya, lho. Sebaliknya, ubah keras hatimu dengan memperbanyak zikir kepada Allah Ta’ala. Rutinkan untuk zikir pagi dan petang setiap hari. Memohon perlindungan Allah Ta’ala. Jadi, kalo merasa sakit hati dan trauma, obatnya adalah dekat dengan Allah Ta’ala dengan cara memperbanyak doa dan zikir.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan, “Sesungguhnya, pada kalbu itu ada sifat keras. Tidak ada yang bisa melunakkan kerasnya hati itu kecuali zikir kepada Allah Ta’ala. Itu sebabnya, seorang hamba semestinya berusaha mengobati kekerasan hatinya dengan berzikir kepada Allah.” (dalam al-Wabilush Shayyib, hlm. 103)
Sabar dan sabar. Bahkan perlu kamu tahu, bahwa adanya penderitaan dan kesusahan yang kamu dapatkan, selama kamu tetap beriman kepada Allah Ta’ala, maka itu ada jaminan dosa-dosamu akan diampuni.
Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, mereka mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang mukmin tertimpa suatu musibah berupa rasa sakit (yang tidak kunjung sembuh), rasa capek, rasa sakit, rasa sedih, dan kekhawatiran yang menerpa melainkan dosa-dosanya akan diampuni.” (HR Muslim no. 2573)
Dari Mu’awiyah, ia berkata bahwa ia mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah suatu musibah menimpa jasad seorang mukmin dan itu menyakitinya melainkan akan menghapuskan dosa-dosanya.” (HR Ahmad)
So, buang jauh-jauh kecewamu, jangan pendam terus luka batinmu, jika ada masalah dengan kawanmu atau orang terdekatmu, mulailah untuk menata kembali. Maafkan kesalahan mereka agar kamu dimudahkan oleh Allah Ta’ala. Jangan simpan terus penderitaanmu. Jangan putus asa, dan tetaplah berusaha untuk menjadi lebih baik dan mampu mengajak orang lain kepada kebaikan. Sadar diri, muhasabah,banyak berdoa, berzikir dan semoga bisa move on dari luka batinmu. Semangat! [O. Solihin | TikTok @osolihin_]