gaulislam edisi 863/tahun ke-17 (27 Syawal 1445 H/ 6 Mei 2024)
Di media sosial, kita disuguhi beragam berita dan informasi. Baik berita valid maupun hoax. Informasi bermanfaat maupun informasi sesat. Hampir selalu dikomentari para netizen. Ada yang serius menanggapi dengan menyajikan fakta untuk memberikan dukungan atau penolakan. Nggak sedikit juga sih yang asal njeplak kagak dipikir lagi yang penting jari menari memilih tuts keyboard merangkai kata dan kalimat sesuai selera pikir dan rasanya. Bahasanya beragam pula. Ada yang santun, ada yang kasar. Ada yang langsung tuding tanpa bukti, nggak sedikit yang nyerang secara pribadi. Begitulah, kalo mau ditulis belum tentu kelar semua disebut. Namun setidaknya, contoh tadi bisa mewakili isi kepala dan hati para pemberi komentar di media sosial.
Nah, sesuai judul edisi pekan ini, maka pembahasan buletin ini fokus menyoroti perilaku tak patut itu. Mengejek, mengolok-olok lawan debat, melabeli dengan sebutan yang tak pantas, bahkan yang buruk. Ngeri banget, sih. Silakan kamu bisa cek timeline media sosialmu. Di Tiktok, Instagram, Facebook, X (Twitter), Youtube, dan lainnya. Isi komennya saling serang saling hujat. Padahal, mayoritas yang melakukannya adalah muslim, dan sesama muslim pula yang “musuhan”. Duh, nggak malu tah? Orang kafir pun bisa jadi bingung dengan kelakuan sebagian dari kita yang begitu karakternya. Mungkin juga mereka malah tertawa dan nggak perlu capek-capek memerangi kita, karena di antara kita aja justeru berantem. Jarinya nggak digerakkan untuk berdakwah, tetapi malah menuliskan sumpah serapah sambil merobek ikatan ukhuwah islamiyah.
Sobat gaulislam, ini kayak udah merata di semua jenjang usia. Namun sepertinya lebih dominan yang usia remaja, ya. Pengguna media sosial umumnya memang anak muda. Kalo dipetakan berdasarkan umur, pengguna medsos terbanyak di rentang usia 13-34 tahun. Ada juga di atas usia itu, tetapi jarang. Dan, mereka fokusnya berbeda. Biasanya lebih memilih untuk mencari informasi yang berguna bagi mereka, dan cenderung menghindari perdebatan atau komentar yang tak perlu.
Jangankan soal agama, soal sepakbola aja berantem, kok. Masih ingat kan saat Timnas Indonesia berkompetisi di ajang AFC U-23 Qatar? Umumnya netizen, para penikmat (atau penggila) pertandingan sepakbola, hanya punya satu kata: menang. Ya, harus selalu menang. Maka, ketika timnas dipecundangi Uzbekistan, langsung geram. Wasit juga disalahkan (walau memang konon kabarnya beberapa kali keputusannya merugikan timnas), beberapa pemain juga di-bully dengan kata-kata sumpah serapah, STY (Shin Tae-yong) sang pelatih juga kena muncratan caci maki. Ya, intinya, perilaku tak patut seperti itu seperti dianggap lumrah di medsos. Mengerikan.
Kalo soal agama, udah lama sering dinyiyirin bukan saja sama orang kafir, tetapi justru yang nyinyir juga adalah mereka yang ngaku muslim. Ah, kalo cuma ngaku, bisa jadi sebenarnya munafik. Medsos udah jadi tempat sampah berisi sumpah serapah. Sungguh perilaku yang tak patut.
Belum lagi soal perilaku lainnya, seperti joget-joget para wanita muslimah yang justru menampilan aurat, ada juga yang pake hijab tapi ya gitu deh, sebatas simbol atau identitas, tetapi perilaku minus adab. Persoalan lainnya dalam perilaku tak patut adalah mereka yang bangga dengan tato di tubuhnya, juga ada yang doyan pacaran dan bahkan memamerkan plus bangga bahwa dia sudah berzina. Aduh, ngeri. Maksiat kok bangga?
Mengapa bisa begitu?
Sobat gaulislam, berdasarkan informasi yang pernah saya baca, ada banyak faktor yang bisa memengaruhi perilaku buruk atau nggak pantas bin tak patut, termasuk faktor psikologis.
Pertama, pengaruh lingkungan. Lingkungan di sekitar seseorang bisa sangat memengaruhi perilaku mereka. Misalnya, jika seseorang tumbuh di lingkungan yang keras dan tidak mendukung, mereka mungkin cenderung menunjukkan perilaku yang tidak pantas sebagai respons terhadap stres atau tekanan yang mereka alami. Kata-kata kasar yang sering didengarnya, makian dan apa pun ketika merespon sesuatu akan terekam kuat. Kamu bisa lihat deh, di medsos itu banyak orang saling terpengaruh, saling memengaruhi satu sama lain. Apalagi hidup bersama di satu komunitas, baik di dunia maya maupun di dunia nyata.
Kedua, faktor genetik. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa faktor genetik juga dapat berperan dalam menentukan perilaku seseorang. Misalnya, ada predisposisi genetik terhadap perilaku impulsif atau agresif. Predisposisi genetik adalah kecenderungan bawaan seseorang untuk mengembangkan karakteristik atau perilaku tertentu berdasarkan warisan genetik mereka dari orang tua atau leluhur mereka. Dalam hal perilaku impulsif atau agresif, predisposisi genetik mengacu pada kemungkinan seseorang memiliki kecenderungan untuk menunjukkan perilaku tersebut karena faktor genetik yang mereka warisi. Artinya, potensi untuk begitu ada karena faktor keturunan, walau faktor lingkungan bisa saja mengubahnya menjadi lebih baik.
Ketiga, faktor psikologis. Seperti apa? Jadi, faktor-faktor psikologis seperti gangguan mental, trauma masa lalu, atau masalah emosional dapat memainkan peran penting dalam perilaku yang tidak pantas. Seseorang mungkin menggunakan perilaku buruk sebagai cara untuk mengatasi atau melarikan diri dari masalah psikologis yang mereka hadapi. Nah, ini bahaya banget, sih. Solusinya salah pula.
Keempat, pengaruh teman sebaya. Nah, remaja tuh seringkali sangat dipengaruhi oleh teman sebayanya. Jika mereka berada di sekitar teman-teman yang terlibat dalam perilaku buruk, mereka mungkin lebih cenderung untuk ikut serta dalam perilaku tersebut agar merasa diterima atau termasuk dalam kelompok. Solider boleh aja ama temen. But, jangan diikuti dong kalo perilakunya jelek.
Kelima, kurangnya keterampilan sosial. Seseorang yang kurang memiliki keterampilan sosial yang baik mungkin kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain atau menyelesaikan konflik dengan cara yang sehat. Hal ini bisa menyebabkan mereka menggunakan perilaku buruk sebagai cara untuk mengatasi situasi sosial yang sulit. Ini kudu dikawal jangan sampe salah jalan.
Keenam, ketidakmatangan emosional. Remaja dan bahkan beberapa orang dewasa mungkin belum sepenuhnya berkembang dalam hal kematangan emosional. Mereka mungkin belum memiliki kemampuan untuk mengelola emosi mereka dengan baik, yang dapat menyebabkan mereka menunjukkan perilaku yang tidak pantas.
Ketujuh, kurangnya pengawasan dan pengarahan. Betul. Kurangnya pengawasan dari orang tua atau figur otoritas lainnya dapat memungkinkan perilaku buruk berkembang tanpa pengarahan yang tepat. Nggak ada yang ngarahin bisa bahaya. Bahkan sudah ada yang mengarahkan pun, tetapi bagi mereka yang udah terbiasa berperilaku buruk tetap sulit dinasihat dan diarahkan. Mungkin awalnya “iya iya aja”. Eh, pas dilepas, beneran nggak balik lagi. Ngeri.
Kedelapan, pengaruh media dan budaya. Budaya populer dan media massa juga dapat memengaruhi perilaku seseorang. Konten yang menampilkan perilaku buruk atau tidak pantas dapat mempengaruhi persepsi seseorang tentang apa yang diterima secara sosial. Ini sudah sering dilihat faktanya, bahkan mungkin di antara kita kadang ikutan berkomentar di medsos untuk perkara-perkara yang sedang viral, dengan komentar pro dan kontra. Perhatikan deh, pasti terjadi benturan terus antara dua kubu. Lingkungannya kasar, besar kemungkinan akan berkata kasar. Waspadalah!
Perbaiki dengan Islam
Sobat gaulislam, akidah jadi solusi utama orang Islam agar paham betul dengan Islam. Nggak sekadar ikut-ikutan apalagi membenci hanya karena kemakan informasi yang hoax.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR Bukhari dan Muslim)
Jadi, sepantasnya memang seseorang berpikir dulu sebelum berbicara. Jangan asal njeplak. Pikirkan akibatnya kalo ngomong begini dan begitu. Ditimbang-timbang, akan manfaat atau malah mafsadat. Siapa tahu karena lisannya, dia akan dilempar ke neraka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” (HR Muslim)
Perlu kamu tahu, ulama besar Syafi’iyyah (Mazhab Syafi’i), yakni Imam an-Nawawi rahimahullah dalam kitab Syarh Muslim tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, “Ini merupakan dalil yang mendorong setiap orang agar selalu menjaga lisannya (termasuk tulisan kalo ngetik di media sosial, ya) sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ‘Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.’ (HR Bukhari dan Muslim)
Itu sebabnya, lanjut Imam an-Nawawi, “Selayaknya setiap orang yang berbicara dengan suatu perkataan atau kalimat, hendaknya merenungkan dalam dirinya sebelum berucap. Jika memang ada manfaatnya, maka dia baru berbicara. Namun jika tidak, hendaklah dia menahan lisannya.”
Itulah manusia, dia menganggap perkataannya seperti itu tidak apa-apa, namun di sisi Allah itu adalah suatu perkara yang bukan sepele. Allah Ta’ala berfirman, “Kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS an-Nur [24]: 15)
Dalam Tafsir al-Jalalain dikatakan bahwa orang-orang biasa menganggap perkara ini ringan. Namun, di sisi Allah perkara ini dosanya amatlah besar. Jadi, ati-ati jangan sampe kepleset atau kian jauh dari adab Islam. Selain itu, perilaku tak patut kita bisa jadi malah dicontek oleh generasi berikutnya. Ngeri. Jadi, kalo pernah berperilaku tak patut di media sosial (termasuk di dunia nyata), apa pun bentuknya, segera kita hapus. Jangan diumbar, khawatir nanti ada yang berusaha nyari dan terinspirasi, lalu mengikuti kesalahan kita. Bahaya banget!
Jadi, sudahi perilaku tak patut. Sebab, itu bikin rugi dan sudah jelas terkategori dosa. Jauhi, tinggalkan, dan bertaubatlah. Perbanyak amal shalih yang kualitasnya terus meningkat saban hari. Insya Allah. [O. Solihin | Tiktok @osolihin_]