Friday, 18 October 2024, 09:52
pinjoljudol

gaulislam edisi 872/tahun ke-17 (2 Muharram 1446 H/ 8 Juli 2024)

Sungguh ini adalah pasangan maut. Ngutang demi judi. Ngutangnya online, judinya online. Malah ada di berita: Istri terjerat pinjol, suami kecanduan judol. Lengkap sudah malapetaka. Penderitaan berkelanjutan. Kok bisa, ya? Nekat bener dan ruwet amat hidupnya. Memang ada yang begitu? Jangan salah, ini udah jadi pembicaraan umum. Memang ada ternyata keterkaitan antara pinjol dan judol. Pinjem duit untuk judi. Ngeri!

Menurut pemerhati kebijakan publik Agus Pambagio, praktik judi dan pinjaman daring sudah menggerogoti masyarakat dan sangat berdampak buruk jika tidak segera ditangani.

“Judi online itu kaitannya dengan pinjaman online. Anda main judi online 2-3 kali menang, setelah itu Anda terus ditawarilah pinjol. Di situlah lingkaran setan yang harus diberantas,” kata Agus dalam program Sapa Indonesia Pagi di Kompas TV, seperti dikutip pada Rabu (19/6/2024).

Bisa gitu, ya? Masih menurut pemerhati tadi, ketika seorang individu sudah kecanduan judi online meski kerap kalah, maka dia akan berupaya mencari sumber dana cepat.

Salah satu sumber dana yang bisa diakses cepat adalah pinjaman daring yang saat ini juga merebak di masyarakat.

Oya, apakah ada di kalangan remaja atau anak muda yang terjerat pinjol? “Banyak generasi muda yang terjebak pada pinjol karena mengambil hutang untuk kebutuhan konsumtif dan keperluan yang tidak bijaksana,” tutur alumnus FEB UGM ini, Kamis (6/6) melalui video tapping dalam acara Bisnis Indonesia Goes to Campus (BGTC) 2024 di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.

Memang aneh ya, duet maut pinjol dan judol ini dipraktekkan banyak rakyat Indonesia. Sebanyak 60 persen pinjol disalurkan kepada usia 19-34 tahun. Ini artinya kepada generasi Y alias milenial dan Gen Z. Bahaya bener. Udah gitu, pinjolnya dipake buat judol. Jebol, deh!

Menurut laporan di laman cnbcindonesia.com, judi online alias judol masih meresahkan masyarakat Indonesia karena sudah banyak memakan korban. Perputaran uang yang tidak sedikit di judi online membuat judi online sulit dibersihkan di Tanah Air.

Judi online menyebabkan dampak buruk yang panjang mulai dari berkurangnya penghasilan hingga utang yang menumpuk. Demi membayar judi online, tidak jarang jika mereka berhutang di bank ataupun aplikasi pinjaman online (pinjol).

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat nilai transaksi judi online mencapai lebih dari Rp 600 triliun pada kuartal I-2024. Angka tersebut meningkat 83,5% dari tahun 2023 sebesar Rp327 triliun. (cnbcindonesia.com, 20/6/2024)

Kecurigaan penggunaan pinjol untuk judi online dikemukakan PPATK. Menurut mereka, banyak korban judi online yang membayar utang melalui pinjol. PPATK bahkan sudah memblokir sekitar 5.000 rekening dari 3,5 juta orang yang diduga menggunakan pinjol untuk bermain judi online.

Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah penyaluran pinjaman online (pinjol) dari fintech lending sebesar Rp21,67 triliun pada April 2024.

Kok bisa ketagihan ngutang?

Sobat gaulislam, sebenarnya ini udah biasa ya di kalangan kita sendiri. Ngutang di warung, ngutang ke teman, ngutang ke bank, ngutang ke negara untuk bayar listrik (pascabayar alias pake dulu baru bayar), dan lainnya. Jadi sepertinya udah jadi tradisi. Udah kebiasaan. Dianggap lumrah bin wajar. But, sebenarnya perlu diwaspadai. Sebab, kalo udah kecanduan, itu bikin bahaya. Sama kayak orang merokok. Udah kecanduan susah dihentikan.

Kalo ditanya kenapa orang bisa kencanduan bin ketagihan berhutang, ada beberapa alasan yang pernah saya baca sebagai berikut:

Menurut faktor psikologis, ada beberapa alasan, yakni: kepuasan instan; stres dan emosi; kurangnya pengendalian diri; serta perilaku dan kebiasaan.

Banyak orang mencari kepuasan instan dan berhutang memungkinkan mereka untuk mendapatkan barang atau layanan dengan segera, tanpa harus menunggu sampai mereka menabung cukup uang. Apalagi diimingi-imingi kemudahan cara ngutangnya. Ditambah lagi dia sudah mendapat barang inceran yang ingin segera dimiliki. Klop. Pengen barang inceran tapi nggak ada duit, eh ternyata ada yang mau minjemin dengan cara yang mudah dan instan mula.

Selain itu, perkara stres, kecemasan, dan depresi bisa memicu seseorang untuk berbelanja sebagai bentuk pelarian atau coping mechanism. Belanja dapat memberikan perasaan sementara yang menyenangkan, tetapi sering kali diikuti oleh rasa bersalah atau cemas akibat hutang. Mestinya ini dipikirkan di awal sebelum berhutang. Anehnya, baru ngerasa cemas setelah berhutang untuk beli barang inceran. Telat sih kategorinya. Mending kalo ada uang untuk bayarnya. Kalo nggak? Bisa jadi gali lobang tutup lobang. Pinjam uang untuk bayar hutang dan begitu seterusnya. Ruwet.

Alasan berikutnya mengapa orang bisa kencanduan berhutang, adalah terkait memiliki masalah dengan pengendalian diri atau impulsivitas. Jadinya, itu membuat mereka lebih rentan untuk berhutang tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang. Bahaya banget. Mikirnya cuma sampai di saat itu aja, nggak berpikir jauh ke depan, gimana cara melunasinya, gimana kalo nggak bisa melunasi utang.  

Oya, kebiasaan berhutang bisa berkembang dari waktu ke waktu. Jika seseorang terbiasa berhutang dan tidak mengelola keuangan dengan baik, ini bisa menjadi pola perilaku yang sulit diubah. Akan terus begitu. Ini terjadi juga pada utang negara. Sampai saat ini aja udah lebih dari Rp8000 triliun. Panik nggak, sih? Mestinya panik kalo pemimpin dan pejabat negaranya berpikir waras. Bahkan mungkin nggak ambil utang selama masih ada sumber daya alam yang bisa diandalkan agar tidak berhutang ke negara lain.

Bagaimana menurut faktor sosial dan ekonomi? Ini juga jadi penyebab orang kemudian nekat berhutang. Apa aja tuh?

Pertama, tekanan sosial. Ya, tekanan dari lingkungan sosial, seperti keinginan untuk hidup dengan standar tertentu atau mengikuti gaya hidup teman, bisa mendorong seseorang untuk berhutang. Temannya beli motor baru, pengen juga beli motor sejenis atau lebih bagus dari itu. Smartphone tertentu lagi tren dan banyak yang udah beli, kepengen juga beli model yang sama. Nggak punya duit, nekat berhutang. Aneh.

Kedua, kurangnya edukasi keuangan. Jadi, kurangnya pengetahuan tentang manajemen keuangan dan cara mengelola uang dengan baik bisa menyebabkan seseorang lebih mudah berhutang. Memang sepertinya mudah bin gampang, tinggal pinjam apalagi ada aplikasi pinjaman secara online. Syaratnya mudah, cairnya gampang. Nggak perlu melas ke ortu atau teman demi mendapat pinjaman atau utang. Biasanya sih, kalo teman itu saat minjem kelihatan melas, pas mau ngembaliin tiba-tiba males.

Ketiga, lingkungan ekonomi. Situasi ekonomi yang sulit, seperti biaya hidup yang tinggi atau pendapatan yang tidak mencukupi, bisa membuat seseorang terpaksa berhutang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Okelah kalo kebutuhan dasar. Tapi di zaman sekarang ini, bukan lagi berhutang untuk kebutuhan dasar, tetapi lebih kepada kebutuhan sekunder bahkan tersier, malah juga yang nggak produktif macam berhutang untuk judi online.

Mengapa bisa kencaduan judi?

Sobat gaulislam, ini memang perilaku buruk, ya. Nggak boleh dicontoh. Memang ada orang yang sampe kecanduan begitu. Sama kayak main game. Kalo udah kecanduan judi, karena ada rasa senang kalo menang. Walaupun kalahnya lebih banyak, tetap aja dijabanin. Menang ketagihan, kalah penasaran. Jadinya terus begitu meskipun pada akhirnya lebih banyak kalahnya ketimbang menangnya.

Kalo ditanya penyebabnya, ada beberapa literatur yang menuliskan sebagai berikut:

Pertama, soal kepuasan instan dan sensasi. Judi memberikan sensasi yang kuat dan kepuasan instan. Sensasi kemenangan, meskipun jarang, dapat sangat memperkuat perilaku berjudi. Menangnya 2 kali, kalahnya 12 kali. Tapi tetap aja dijabanin. Penasaran kok bisa kalah, akhirnya terus main meski berkali-kali kalah. Aneh memang, tapi begitulah kalo udah kecanduan.

Kedua, pelepasan dopamin. Judi merangsang sistem reward di otak, melepaskan dopamin yang memberikan perasaan euforia. Proses ini mirip dengan bagaimana otak bereaksi terhadap zat adiktif seperti narkoba. Termasuk juga ketika bermain game. Sama bahayanya. Nikmat sesat, sengsara dalam waktu lama.

Ketiga, kondisi emosional. Stres, kecemasan, dan depresi dapat mendorong seseorang untuk berjudi sebagai cara untuk melarikan diri dari perasaan negatif. Begitulah kalo tipis iman. Bukannya banyak berzikir, ini malah banyak berjudi. Agak laen, memang.

Keempat, keyakinan keliru. Keyakinan bahwa mereka dapat mengontrol hasil judi atau bahwa keberuntungan akan berpihak pada mereka (gambler’s fallacy) dapat mendorong perilaku berjudi. Dibikin penasaran kenapa bisa kalah, padahal dia udah coba sesuai perhitungannya. Kayak dulu ada judi terselubung zaman saya masih sekolah dasar (tahun 80-an), namanya Porkas dan SDSB. Orang dibikin penasaran nebak angka-angka yang bakal muncul dalam undian di hari tertentu. Berharap dapat duit banyak dari sejumlah uang yang udah dipakai sebagai taruhannya. Ngeri. Sampai tanya-tanya ke orang gila nyari nomor buntut yang pas dan jitu untuk dipasang. Ada juga pecandu judinya yang berakhir gila.

Kelima, faktor sosial. Lingkungan sosial, teman, dan keluarga yang juga berjudi dapat mempengaruhi seseorang untuk berjudi. Ini memang ada circle pertemanannya, ya. Berteman dengan yang biasa berjudi ya kebawa judi. Itu sudah rumusnya. Lagian, mau berteman dengan yang model begitu saja berati karena dirinya punya kecenderungan ke situ. Kalo nggak suka judi, maka pasti cari teman yang satu hati yang juga nggak suka judi. Rumusnya begitu. Maka, jangan salah pilih teman gaul.

Keenam, kondisi finansial. Masalah keuangan bisa membuat seseorang berjudi sebagai upaya untuk cepat mendapatkan uang, meskipun sering kali ini malah memperburuk situasi keuangan mereka. Makin tambah parah karena duit yang dipake judi juga dicari jadi utang. Sekarang udah zamannya online. Sehingganya judinya online, duit buat judinya didapat dari pinjaman online. Jadinya parah kuartik alias dua kalinya dari kuadrat.

Apa solusinya?

Sobat gaulislam, solusinya nggak cuma membenahi pelakunya saja, tetapi juga keluarga, masyarakat, dan negara. Takwa individu, kontrol masyarakat, dan penerapan aturan dan sanksi oleh negara. Itu satu paket. Nggak bisa dipisah-pisah atau jalan sendiri. Cuma, kalo harus memilih, maka penerapan aturan dan sanksi oleh negara bisa membereskan banyak persoalan. Meski ada individu yang nakal dan kontrol masyarakat yang lemah, tetapi adanya penerapan aturan dan sanksi oleh negara akan bikin jera. Idealnya, memang individu yang takwa, kontrol masyarakat yang ketat, juga dibarengi penerapan aturan dan sanksi oleh negara. Itu paket komplit dan jelas jitu solusinya. Sayangnya, negara belum mau memberesken judi online, dan memberantas pinjol (termasuk yang ilegal)

Selain itu, untuk ukuran pribadi, kita perlu belajar qanaah alias sikap rela menerima dan merasa cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidak puas dan perasaan kurang. Kalo sikap ini dimiliki banyak kaum muslimin, rasa-rasanya nggak ada yang tertarik berhutang atau malah mencari penghasilan dari judi. Ngutang itu bikin hati nggak tenang.

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata, “Aku wasiatkan kepada kalian agar tidak berutang, meskipun kalian merasakan kesulitan, karena sesungguhnya utang adalah kehinaan di siang hari kesengsaraan di malam hari, tinggalkanlah ia, niscaya martabat dan harga diri kalian akan selamat, dan masih tersisa kemuliaan bagi kalian di tengah-tengah manusia selama kalian hidup.” (dalam Umar bin Abdul Aziz Ma’alim al-Ishlah wa at-Tajdid, 2/71)

Jangan bernafsu ingin memiliki banyak harta lalu berhutang dan mengupayakan penghasilan dengan berjudi. Jangan kalap begitu. Mestinya berpikir ulang sebelum berhutang dan berjudi. Sebab banyak ruginya. Hiduplah apa adanya. Sabar dan qanaah.

Ada baiknya kita menyimak kisah Imam Abu Hanifah–Yazid bin Harun, dimana beliau berkata, “Saya belum pernah mendengar ada seseorang yang lebih wara’ dari pada Imam Abu Hanifah. Saya pernah melihat beliau pada suatu hari sedang duduk di bawah terik matahari di dekat pintu rumah seseorang. Lalu saya bertanya kepadanya, “Wahai Abu Hanifah! Apa tidak sebaiknya engkau berpindah ke tempat yang teduh?”

Beliau menjawab, “Pemilik rumah ini mempunyai hutang kepadaku beberapa dirham. Maka, saya tidak suka duduk di bawah naungan halaman rumahnya.”

Sikap seperti apa yang lebih wara daripada sikap ini? Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau ditanya mengapa enggan berdiam di tempat teduh, lalu Abu Abu Hanifah berkata kepadaku. “Pemilik rumah ini mempunyai sesuatu. Maka, saya tidak suka berteduh di bawah naungan dindingnya, sehingga hal tersebut menjadi upah suatu manfaat.” Saya tidak berpendapat bahwa hal tersebut wajib bagi semua orang, akan tetapi orang alim wajib menerapkan ilmu untuk dirinya sendiri lebih banyak daripada yang dia ajarkan kepada orang lain.

Sebagaimana pula Imam Abu Hanifah radhiyallahu ‘anhu pernah meninggalkan makan daging kambing selama tujuh tahun ketika seekor kambing milik baitul mal di Kufah hilang sehingga beliau yakin kambing tersebut telah mati. Sebab, beliau menanyakan berapa waktu paling lama kambing bisa bertahan hidup? Dikatakan kepadanya, “Tujuh tahun.” Maka beliau meninggalkan makan daging kambing selama 7 tahun karena untuk berhati-hati lantaran ada kemungkinan kambing haram itu masih hidup. Sehingga, bisa jadi kebetulan dia memakan sebagian dari kambing tersebut yang berarti menzhalimi hatinya. Meskipun sebenarnya tidak berdosa karena tidak mengetahui benda itulah yang haram. (dalam Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1).

So, qanaah jadi pilihan dalam hidup kita. Urusan dunia memandangnya ke bawah, bahwa ada banyak orang yang tak berkecukupan ketimbang kita. Sehingga tidak bernafsu untuk mengejar dunia, apalagi dengan cara berhutang dan berjudi demi mendapatkan harta. Yuk, setop pinjol dan judol. Sebab, keduanya bikin jebol. Banyak ruginya, dosa pula. Tentu, peran negara harus lebih kuat untuk memberantas judol dan menertibkan pinjol. Diberikan aturan dan sanksi. Tapi saya sih nggak yakin bisa tuntas selama sistem kehidupan bernegara yang diterapkan bukan dari Islam. Beneran. Demokrasi, sebagai instrumen politik dari sistem kapitalisme, hanya memperburuk kondisi. Seperti sekarang ini. [O. Solihin | TikTok @osolihin_]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *