Wednesday, 2 April 2025, 09:54
badhabbits

gaulislam edisi 910/tahun ke-18 (2 Syawal 1446 H/ 31 Maret 2025)

Ramadhan baru aja pamit, tapi yang hilang bukan cuma bulan penuh berkah itu, tetapi kesadaran banyak di antara kita juga ikutan lenyap. Tadinya berlomba-lomba ngejar pahala, sekarang malah balapan kembali ke kebiasaan lama. Mereka yang tadinya rajin tahajud, sekarang tahajudnya cuma di instastory, pake background lagu galau. Ia yang tadinya bilang, “Demi Allah, aku berubah,” eh sekarang berubah lagi ke mode “duniawi is life”.

Dulu, pas Ramadhan, tiap Subuh berlomba ke masjid, sekarang lebih milih lomba scroll TikTok sampe azan zuhur. Dulu semangat baca al-Quran sehari satu juz, sekarang sehari satu thread gosip politik di X (Twitter). Waktu bulan puasa, tiap buka medsos isinya ajakan kebaikan, pengingat hijrah, dan tausiyah. Tapi begitu lebaran kelar, puff!–hilang semua. Berganti konten flexing baju lebaran (“OOTD halal, guys!”), video mukbang THR, atau malah joget-joget dengan caption “Nggak puasa, tapi tetep kece”–seolah-olah iman cuma dipakai pas musim Ramadhan doang. Please, muhasabah, yuk.

Lebih ironi lagi, pas Ramadhan rajin self reminder, ngingetin orang buat sabar, jaga lisan, jauhi ghibah. Sekarang? Jadi admin grup WA alumni sekolah yang paling sering ngirim berita hoax dan mulai lagi hobi ghibah sambil bilang, “Aku sih nggak mau ngomongin, tapi ya….”. Giliran bulan puasa, makanan serba sederhana biar berkah, eh begitu Ramadhan kelar, sejak lebaran dan hari-hari berikutnya malah dompet auto jebol buat all-you-can-eat tiap minggu.

Sobat gaulislam, kayaknya banyak yang lupa kalo Ramadhan itu kayak training camp, bukan trial version buat jadi baik cuma sebulan. Kalo ibadah cuma kenceng pas Ramadhan tapi setelahnya back to kebiasaan lama, berarti kita bukan sukses meraih kemenangan, tapi cuma lulus jadi seasonal Muslim.

Ya, Ramadhan baru aja tamat, dan seperti biasa, ada dua tipe orang: yang keimanannya makin kuat, dan yang kebiasaan buruknya malah kumat. Padahal, sebulan penuh kita digembleng buat jadi pribadi yang lebih baik–lebih dekat sama Allah, lebih peduli dengan sesama, dan lebih peka sama kebaikan. Tapi anehnya, begitu Syawal datang, banyak yang kayak kena tombol reset: shalat mulai bolong, maksiat jalan lagi, nyinyiran aktif kembali.

Fenomena ini nggak cuma soal ibadah pribadi, tapi juga soal cara kita memandang dunia. Ketika ada berita bahwa pengusaha muslim yang bangga dengan identitas Islamnya, bukannya didoakan sukses, malah dicibir “jualan agama”. Kenapa, sih? Kok yang berusaha baik malah sering dihujat, sementara yang receh-receh justru diberikan dukungan?

Ini bukan sekadar kebiasaan buruk yang kumat, tapi tanda bahwa kesadaran kita gampang hilang. Kesadaran untuk istiqamah, kesadaran untuk peduli, dan kesadaran untuk mendukung kebaikan. Kalo setelah Ramadhan kita malah balik lagi ke pola pikir dan kebiasaan lama, mungkin saatnya kita tanya ke diri sendiri: Ramadhan kemarin benar-benar mengubah kita, atau cuma numpang lewat?

Lifestyle di medsos

Oya, waktu Ramadhan kemarin, nuansa dan suasana bulan suci nggak ngefek pada perilaku sebagian besar remaja. Terutama lifestyle di media sosial. Ada sih yang menyesuaikan, tetapi kesannya tempelan aja. Sebagian besar tetap pada gaya hidup yang kayak udah susah diubah. Itu sebabnya, usai Ramadhan rentan untuk balik ke kebiasaan lama.

Baca juga:  Aurat dan Syariat

So, di zaman now makin banyak remaja (dan juga orang dewasa lainnya) yang lebih mikirin algoritma media sosial ketimbang akhlak. Prinsip mereka yang lifestyle-nya model begitu, “yang penting FYP”. Nggak peduli harus ngelakuin challenge nggak jelas, pura-pura putus demi konten, atau nyuruh emak sendiri pura-pura jatuh biar dapat views. Miris? Banget!

Belum lagi para netizen yang kalo lihat sesuatu yang berbau Islam langsung auto julid. Ada pengusaha jualan produk dengan nama Islami? “Ih, jualan agama pasti laku.” Tapi anehnya, kalo ada produk dengan nama kebarat-baratan dikit, langsung dielu-elukan. Lupa kali ya kalo di KTP ada kolom agama?

Lucunya, kalo ada brand luar negeri yang jelas-jelas nyumbang buat penjahat perang dan genosida, mereka malah bungkam. Bukan cuma tetep beli, malah bangga seakan jadi bagian dari high class society. Pas ada gerakan boikot? Mereka nyinyir juga, “Ah, boikot mah nggak ngaruh.” Lah, giliran bisnis muslim sukses, langsung dibilang jualan agama. Sadar nggak sih, ini penyakit hati namanya? Hasad. Bukannya ikut mendoakan, malah julid seakan rezeki orang lain itu ancaman buat hidup mereka.

Coba kalo ada bisnis yang pake nama ala-ala Barat, misal “Williams Coffee”, langsung dibilang premium. Tapi begitu ada “Kopi Barakah”, langsung ada yang komen: “Duh, pake embel-embel Islami biar laku, ya?” Padahal kalo dipikir, kenapa sih seorang muslim nggak boleh bangga dengan identitasnya? Bukannya justru bagus kalo bisnis muslim membawa keberkahan dan menebar nilai-nilai baik? Iya, kan?

Anehnya lagi, kalo ada produk lokal yang menonjolkan budaya asing, mereka malah bangga. Ada restoran pakai nama Le Petit Bonjour, langsung dipuji aesthetic. Tapi kalo ada warung Makan Halal Berkah, dicibir norak. Padahal, yang satu cuma branding, yang satu lagi doa supaya usaha berkah. Tapi ya gitu, kalo yang Islami malah dianggap kampungan, kalo yang kebule-bulean malah dianggap keren. Dunia terbalik!

Giliran ada influencer non-muslim ikut-ikutan jualan produk halal, mereka nggak masalah. Malah dibela dengan bilang, “Namanya juga bisnis, bebas dong!” Tapi kalo ada pengusaha muslim bikin brand dengan identitas Islam, langsung ada yang komen, “Dasar jualan agama.” Logika macam apa ini? Beneran deh, nggak abis pikir. Apalagi kalo itu dilakukan oleh orang yang ngaku muslim. Aneh pake banget.

Jadi sebenarnya masalahnya di mana? Bukan di produknya, bukan di branding-nya, tapi di hati mereka sendiri. Hasad, iri, nggak rela lihat sesama muslim sukses. Itu sebabnya, sebelum nyinyir ke orang lain, coba cek dulu, jangan-jangan penyakit hati kamu yang perlu diobatin.

Ini baru contoh kecil dari betapa absurd-nya kehidupan orang-orang di negeri ini. Negeri di mana orang lebih takut dosa sosial (ketinggalan tren) daripada dosa beneran. Negeri di mana yang sadar malah dianggap aneh, sementara yang ngawur justru dijadikan panutan.

Tunjukkan identitas muslim kita

Sobat gaulislam, kalo kita lihat dari sisi akidah dan syariat Islam, menunjukkan identitas sebagai seorang muslim itu bukan sekadar pilihan gaya hidup, tapi kewajiban. Islam bukan cuma urusan di masjid atau di kolom KTP, tapi harus terlihat dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam bisnis dan ekonomi. Allah Ta’ala sudah menegaskan dalam al-Quran, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS al-An`aam [6]: 82)

Baca juga:  Musik Asyik, Tapi…

Jadi, selama tauhid kita masih setengah-setengah, selama hati kita masih terjangkit al-wahn (penyakit cinta dunia dan takut mati), jangan heran kalo keberanian malah ada di pihak yang salah. Allah Ta’ala nggak bakal ngasih kemenangan ke kaum yang imannya masih maju-mundur kayak sinyal WiFi gratisan.

Kalo kita masih ragu sama identitas Islam kita sendiri, ya wajar aja kalo musuh-musuh Islam (orang kafir dan munafik) makin percaya diri. Kita yang harus berubah! Bukan cuma sekadar bangga ngaku muslim di KTP, tapi benar-benar nunjukin Islam dalam cara berpikir, bersikap, dan bertindak. Jangan cuma pakai Islam buat caption IG pas Ramadhan, tapi habis itu balik lagi ke kebiasaan lama. Jangan cuma teriak “Allahu Akbar” pas lihat diskon besar-besaran, tapi diam membisu waktu Islam dan kaum muslimin dihina.

Sudah waktunya kita sadar, bahwa gantungan hidup kita bukan di cuan, bukan di validasi sosial, tapi kepada Allah Ta’ala semata. Saatnya kita tegaskan dalam hati dan perbuatan: “Isyhadu bi anna muslimun”. Ya, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Islam!” Bukan Islam musiman, bukan Islam kalo lagi butuh doang, tapi Islam yang tegak dalam setiap aspek hidup.

Benar. Islam itu bukan sesuatu yang perlu disembunyikan atau dianggap tabu dalam urusan duniawi, termasuk jualan. Justru, seorang muslim harus bangga dengan identitasnya dan menjadikan bisnisnya sebagai sarana untuk berdakwah dan mencari keberkahan. Bukan berarti semua bisnis muslim harus pakai nama Islami, tapi kalo ada yang memilih begitu, seharusnya didukung, bukan dicibir.

Lagi pula, dalam Islam, bisnis bukan sekadar soal untung dan rugi di dunia. Ada tanggung jawab moral di dalamnya. Seorang muslim harus memastikan usahanya halal, jujur, dan membawa manfaat bagi banyak orang. Bahkan, Nabi Muhammad ? sendiri di masa mudanya adalah seorang pedagang yang terkenal dengan kejujurannya. Jika ada muslim yang berusaha meneladani prinsip bisnis Islami, itu bukan “jualan agama”, tapi sedang menjalankan agama.

Oya, ada kondisi yang lebih aneh, banyak yang nyinyir dengan bisnis muslim, tapi mereka sendiri nggak masalah kalo tiap hari pakai produk yang logonya terang-terangan mendukung kebebasan yang bertentangan dengan Islam. Kaos dengan slogan sekuler dipakai bangga, tapi kalo ada baju bertuliskan “Halal Lifestyle”, langsung ada yang komen: “Riya banget, deh”. Seakan-akan makin dekat dengan Islam itu aib.

Padahal, dalam Islam, jelas bahwa seorang muslim harus saling mendukung dalam kebaikan. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS al-Ma’idah [5]: 2)

Jadi, daripada sibuk nyinyir ke bisnis punya muslim, kenapa nggak ikut mendukung atau minimal diam kalo nggak mau beli? Karena pada akhirnya, Islam mengajarkan bahwa setiap usaha yang dilakukan dengan niat mencari ridha Allah Ta’ala pasti akan membawa keberkahan, sementara nyinyiran dan hasad hanya akan menggerogoti hati sendiri dan lenyapnya amal baik yang udah disemai.

Baca juga:  Dilema Transgender

Makin takwa usai Ramadhan

Sobat gauislam, kembali ke kebiasaan lama setelah Ramadhan itu bukan cuma masalah disiplin atau kebiasaan, tapi ada sesuatu yang lebih dalam, yakni kualitas iman. Ramadhan itu bukan sekadar bulan puasa, tapi bulan training camp untuk menjadikan kita hamba yang lebih bertakwa. Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah [2]: 183)

Jadi, kalo setelah Ramadhan malah balik lagi ke kebiasaan lama–maksiat jalan terus, ibadah malas-malasan–berarti ada yang salah dalam cara kita memahami esensi Ramadhan. Kita puasa, kita shalat, kita tilawah al-Quran, tapi kalo akhirnya cuma jadi ritual tahunan tanpa perubahan hati, tandanya kita belum benar-benar mengambil pelajaran.

Lebih ironis lagi, ada yang selama Ramadhan rajin banget shalat sunah tarawih, tapi begitu bulan Syawal, shalat lima waktunya (yang wajib) malah mulai bolong-bolong lagi. Pas puasa semangat bersedekah, begitu lebaran, malah boros buat hal-hal nggak penting. Pas Ramadhan self reminder buat jaga lisan, setelahnya malah jadi aktivisi ghibah dan spesialis komentar julid.

Padahal, tanda ibadah diterima itu bukan dilihat dari seberapa khusyuk kita di bulan Ramadhan, tapi seberapa banyak perubahan yang bertahan setelahnya. Jika Allah Ta’ala menerima amalan seorang hamba, maka Dia akan menunjuki pada amalan shalih selanjutnya. Hal ini diambil dari perkataan sebagian salaf, “Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.” (Tafsir al-Quran al-‘Azhim)

Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan hal di atas dengan perkataan salaf lainnya, ”Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barang siapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barang siapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.” (dalam Latha-if al-Ma’arif).

Jadi kalo setelah Ramadhan kita malah makin jauh dari Allah Ta’ala, bisa jadi bukan karena sedikitnya kita beramal shalih selama Ramadhan, tetapi hati kita yang nggak benar-benar terbuka untuk menerima hidayah. Islam mengajarkan kita untuk istiqamah, bukan seasonal Muslim yang cuma baik di bulan tertentu.

Kalo kita bisa rajin ibadah selama sebulan penuh, berarti kita sebenarnya mampu, kan? Tinggal masalah kemauan untuk memperbaiki diri. Rasulullah ? bersabda, “Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni.” (HR Ahmad)

Jadi, masih mau balik ke kebiasaan lama atau mulai serius jaga iman? Jangan sampe Ramadhan tamat, kebiasaan buruk kumat. Itu mah gawat! [O. Solihin | IG @osolihin]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *